Mengenalkan uang lewat manajemen uang saku (1)



JAKARTA. Libur lebaran nan panjang telah usai. Para pekerja telah kembali beraktivitas ke kantor, anak-anak juga kembali berangkat ke sekolah. Bagi sebagian besar orang yang merayakan Hari Raya Idul Fitri, Lebaran juga berarti tentang keseruan membagi dan menerima angpau. Terutama bagi anak-anak.  Menerima angpau melahirkan keceriaan sendiri yang menjadikan kenangan mereka tentang Lebaran lebih berkesan. Itu pula yang dialami Kayla, anak usia 8 tahun, ketika merayakan Lebaran kemarin. Gadis kecil itu mengantongi ratusan ribu dari angpau yang dibagi-bagikan oleh keluarga besarnya di Jawa Timur. 

Hanya, kendati menerimanya dengan riang gembira, setumpuk uang angpau itu dia biarkan saja seolah tidak khawatir kehilangan. Selidik punya selidik, rupanya dia belum terlalu paham fungsi uang. Ya, memang tidak semua anak telah memahami makna uang. Beberapa orangtua berprinsip, anak-anak tidak perlu memahami fungsi uang sebagaimana orang dewasa. Kebanyakan dari mereka khawatir anak-anaknya terlalu dini mengenal materi, hingga ketakutan menjadikan anak terjerumus sifat materialistis. Sebagian yang lain justru berpendapat bahwa pengenalan uang pada anak-anak perlu dilakukan sejak dini agar mereka tidak menjadi sosok materialistis serta bisa diajari berhemat serta berbagi. 

Nah, mana yang lebih tepat? Sebagian besar perencana keuangan berpendapat, anak-anak perlu dikenalkan dengan makna uang mulai usia sekolah dasar. Pasalnya, di usia itu, anak-anak umumnya sudah mulai mengenal uang saku. Risza Bambang, perencana keuangan dan Chairman One-Shildt Financial Planning, menilai, pengenalan terhadap nilai dan manfaat uang penting dilakukan orangtua. "Kalau enggak, bisa repot nanti," jelas dia. 


Mungkin, Anda kerap menemui kejadian ketika anak-anak merongrong orangtuanya agar membelikan barang tertentu tanpa peduli kondisi kantong orangtuanya. Jangan salahkan anak jika perilaku itu muncul secara berulang sampai remaja, hanya karena kealpaan orangtua mengajarkan makna uang. 

Risza menyebut, ada empat hal penting yang harus diajarkan para orangtua kepada anak-anak tentang uang. Pertama, "Anak harus tahu bagaimana perjuangan mendapatkan uang," jelas Risza. Melalui permainan monopoli, Anda bisa mengajarkan poin tersebut. 

Kedua, anak perlu belajar menghargai nilai uang. Ketiga, anak perlu diajarkan mensyukuri berapa pun uang yang mereka miliki. Keempat, anak harus dibiasakan untuk menyisihkan kepemilikan uang mereka bagi orang lain yang membutuhkan. 

Manajemen uang saku 

Lantas, bagaimana cara tepat mengajarkan makna uang dan pengaturannya kepada anak-anak? Sejatinya, banyak cara untuk mengenalkan makna uang pada anak-anak. Salah satu strategi yang bisa Anda tempuh adalah melalui permainan monopoli. Cara ini menyenangkan karena berbentuk permainan yang sifatnya edukatif. "Melalui permainan monopoli, anak belajar mengenal nilai uang dan sistem jual beli," kata Risza. 

Farah Dini Novita, Senior Financial Executor Zeus Consulting, menambahkan, anak-anak bisa mulai dikenalkan dengan uang dan pengaturan keuangan dengan cara melibatkan mereka dalam aktivitas-aktivitas keuangan. Misalnya, mengajak anak-anak ke bank membuka rekening khusus anak yang banyak ditawarkan oleh bank. Bisa juga mengajak mereka berbelanja ke pasar modern ataupun tradisional agar tahu proses transaksi yang Anda lakukan. 

Cara lain yang bisa Anda coba adalah melalui penerapan uang saku. Cara ini adalah praktik langsung yang bisa anak alami untuk masalah pengaturan keuangan. "Kelas 1 SD, anak sudah bisa mulai diberikan uang saku," kata Farah. 

Nah, bagaimana strategi manajemen uang saku yang tepat untuk anak agar mereka memahami prinsip keuangan yang sehat? Berikut advis dari para perencana keuangan: 

Frekuensi uang saku  Usia anak adalah pertimbangan utama dalam menentukan frekuensi uang saku. Farah menyarankan, sebagai awal perkenalan, orangtua bisa memberikan uang saku harian. "Kelak jika usianya bertambah, frekuensinya bisa kita perpanjang menjadi tiap tiga hari, seminggu sekali, bahkan hingga sebulan sekali," jelas dia. 

Menurut Farah, orangtua perlu menghindari membiasakan pemberian uang saku harian hingga anak remaja. Mengapa? Pemberian uang saku secara harian secara terus-menerus akan membentuk pola pikir anak bahwa uang hari ini boleh dihabiskan karena besok pasti akan diberi lagi. 

Idealnya, di usia SD uang saku Anda beri harian. Menginjak usia SMP, uang saku mulai bisa Anda berikan seminggu sekali. Begitu SMA atau kuliah, frekuensi pemberian uang saku memanjang menjadi sebulan sekali. "Makin bertambah usia anak, pos kebutuhan makin variatif sehingga orangtua bisa berikan lebih banyak otoritas," kata Mike Rini, perencana keuangan MRE Consulting. 

Selain itu, frekuensi pemberian uang saku yang semakin panjang memberikan kesempatan pada anak untuk belajar mengelola keuangannya sendiri. 

Nilai uang saku  Kebutuhan uang saku setiap anak berbeda-beda, bahkan bagi anak yang berada pada usia yang sama. Untuk menentukan berapa nilai tepat uang saku anak Anda, silakan menimbang beberapa hal berikut. 

Pertama, aktivitas anak. Uang saku, menurut Farah, pada prinsipnya diberikan untuk mengkaver kebutuhan transportasi, jajan atau makan minum, lalu tabungan. Jika dalam rangka pergi dan pulang sekolah, anak Anda sudah mendapat fasilitas antar jemput, membawa bekal makan siang dari rumah atau jatah dari sekolah,  besar uang saku bagi anak relatif terbatas, secukupnya untuk jajan makanan kecil di kantin sekolah saja. 

Oleh karena itu, Anda kudu mengetahui harga jajanan di kantin sekolah anak sebelum tahu besar uang saku yang pantas. Jangan sampai kebanyakan sehingga si kecil kekenyangan jajanan. 

Selain itu, kepadatan aktivitas anak bertambah seiring umurnya. Anak usia SD biasanya terbatas kegiatannya di lingkungan sekolah dan rumah. Kegiatan Anak usia SMP ke atas jauh lebih padat dengan kegiatan ekstrakurikuler, kursus, atau diskusi peer group. Dengan begitu, kebutuhan uang sakunya juga lebih besar. "Jadi taruh kata adiknya cukup diberikan Rp 5.000 per hari, maka si sulung bisa diberikan Rp 20.000 per hari sehingga setiap minggu Rp 100.000," imbuh Risza. 

Kedua, durasi kegiatan anak. Semakin lama kegiatan anak di luar rumah, kebutuhan uang sakunya akan semakin besar. Mengajak diskusi anak tentang kegiatan mereka akan memudahkan Anda mengenali besar kebutuhan uang saku mereka. Oh, iya, jangan lupakan anggaran anak untuk komunikasi. Uang pulsa perlu Anda berikan bagi anak yang sudah pegang ponsel sendiri. 

Risza menilai, kendati menimbang kebutuhan anak, orangtua tetap harus berperan sebagai pengatur uang anak. Memberi uang saku terlalu banyak membuka risiko kehilangan, mengundang kejahatan, serta mendorong anak ceroboh dengan berlaku boros.  (Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Cipta Wahyana