Mengerem bonanza para bankir



Laju mesin ekonomi kita masih menyisakan ironi. Manakala Indonesia dengan susah payah mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 5,17% di tahun lalu, di sisi lain dan di periode yang sama para bankir menikmati bonanza laba besar.

Tengok saja laporan keuangan sejumlah bank yang baru-baru ini dirilis. Banyak di antaranya yang mencetak pertumbuhan laba belasan persen hingga puluhan persen besarnya. Bahkan bank milik pemerintah tercatat dalam daftar terdepan sebagai pencetak untung besar-besar. Laba bersih Bank Mandiri, misalnya, tumbuh 21% dibanding dengan tahun 2017. Sedangkan BBRI dan BBNI masing-masing naik 11,59% dan 10,20% pada periode serupa.

Tentu mencari untung sebesar-besarnya adalah hal lumrah dalam dunia bisnis. Bahkan kalau perlu semua keuntungan disapu bersih tanpa menyisakan bagi pemain lainnya.


Persoalannya, kehadiran perbankan di tengah-tengah kita bukan semata-mata untuk menanggung untung. Ia mengemban misi idealisme bernama intermediasi yang sangat erat kaitannya dengan ekonomi suatu negara.

Fungsi intermediasi ini merupakan khittah bank sebagai jembatan penghubung antara mereka yang punya duit dengan dunia usaha. Bank berperan mengalirkan energi ke dalam sistem ekonomi kita melalui penyaluran kredit ke sektor riil. Perbankan menjadi jantung yang memompakan darah segar ke setiap sendi-sendi perekonomian sebuah negara.

Pendek kata, semakin besar aliran darah yang digelontorkan oleh perbankan merupakan pertanda geliat  ekonomi di sebuah negara. Logika sebaliknya juga berlaku. Jika perjalanan ekonomi sebuah negara tidak secepat yang diharapkan, pertanda kerak penyumbat aliran pendanaan dari perbankannya.

Oleh karena itu, kini kita patut bertanya ihwal komitmen intermediasi terhadap para pemangku kepentingan industri perbankan. Bagaimana mungkin industri perbankan mencetak untung sedemikian besar di saat laju pertumbuhan ekonomi Indonesia pas banderol saja?

Apalagi, bonanza laba bank makin banyak ditopang dari hasil perburuan rente sebesar-besarnya di instrumen surat berharga. Entah masuk Surat Utang Negara (SUN) yang bisa memberi bunga di atas 7% per tahun. Jelek-jeleknya menubruk Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang memberikan hasil 6% setahun.

Ceruk inilah yang kini benar-benar dimanfaatkan oleh para bankir untuk memupuk laba. Maklum, penempatan dana bank di surat berharga merupakan cara paling mudah dan jalan pintas menangguk untung. Ibarat kata, cukup ongkang-ongkang kaki, laba tumbuh dengan sendirinya.

Pun nyaris tanpa risiko. Tak ada ceritanya BI maupun pemerintah mengemplang kecuali Indonesia bubar. Semua bunga dibayar lunas dan tepat waktu.

Tidak mengherankan, makin bejibun duit bank yang parkir di SBI maupun SUN. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, total penempatan dana bank di surat perbendaharaan negara (SPN) tumbuh 31,28% year on year (yoy) menjadi Rp 67,45 triliun per November 2018. Adapun di SBI tumbuh 96,37% yoy menjadi Rp 45,46 triliun.

Bahkan jika merujuk data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, per akhir Januari 2019, kepemilikan bank di obligasi negara mencapai Rp 652,81 triliun. Nilai itu naik Rp 171 triliun dari akhir tahun tahun yang masih sekitar Rp 481 triliun.

Begitulah cerita sedihnya. Saat ekonomi riil benar-benar perlu darah segar pendanaan, bank ternyata asyik mengejar rente dari pasar surat utang. Celakanya, dalam situasi ini tidak ada instrumen atau regulasi yang secara tegas bisa memaksa dan mengerem bonanza bank dari pasar obligasi ini.

Sekali lagi, tidak salah mencari profit dalam berbisnis. Tapi jangan lupa pula bahwa jika para bankir hanya berlomba-lomba memburu laba, ekonomi kita, ya, bakal tetap begini-begini saja.•     

Barly Haliem Noe

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi