KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Beberapa waktu lalu, pemegang saham independen PT Bentoel Internasional Investama Tbk (
RMBA) menyetujui rencana untuk
go private melalui penghapusan pencatatan sukarela alias
voluntary delisting. Emiten rokok itu akan melakukan
tender offer atau membeli saham publik yang masih ada di pasar saham. British American Tobacco (BAT) selaku pengendali Bentoel akan membeli sisa saham publik yang ada di pasar saham dengan harga Rp 1.000 per saham. Harga tersebut tergolong premium karena lebih mahal 226,8% dibandingkan dengan harga saat penutupan terakhir saham RMBA. Sebelum terkena suspensi, harga saham RMBA berada di Rp 306 per saham pada 5 Agustus 2021.
Baca Juga: Go Private, Pengendali Bentoel Internasional (RMBA) Tender Offer di Harga Rp 1.000 Head of Investment Research Infovesta Utama, Wawan Hendrayana mengamati,
voluntary delisting cenderung memiliki dampak negatif yang minim ke investornya. Mengingat ada
tender offer yang memungkinkan saham-saham investor diserap di harga yang layak atau bahkan premium. "
Voluntary delisting biasanya ada dana besar di belakangnya. Kemungkinan investor rugi karena
voluntary delisting kecil sekali," kata Wawan kepada Kontan.co.id, Jumat (1/10). Wawan menambahkan, pemicu
go private suatu perusahaan beragam. Mulai dari model bisnis yang tidak sesuai jika dijalankan secara
go public, rencana merger, hingga diakuisisi oleh perusahaan lain. Sebelumnya, Corporate Brand & ESG Manager Bentoel Group Maria Melissa Riyani Putri mengungkapkan, alasan
go private RMBA mempertimbangkan simplifikasi dan efisiensi bisnis.
Baca Juga: Bentoel (RMBA) bakal go private, berikut sejumlah alasannya Berbeda dengan
voluntary delisting, Wawan mengungkapkan,
forced delisting biasanya melibatkan kondisi emiten yang bermasalah. Bisa jadi operasional yang tidak berjalan, kondisi yang terus merugi, hingga perusahaan dalam proses sengketa. Kondisi-kondisi inilah yang menyebabkan saham-saham dikenai penghentian sementara perdagangan atau suspensi oleh bursa. Direktur Penilaian BEI I Gede Nyoman Yetna mengungkapkan, berdasarkan Peraturan Bursa Nomor I-I tentang Penghapusan Pencatatan (Delisting) dan Pencatatan Kembali (Relisting) Saham di Bursa,
delisting saham perusahaan tercatat oleh bursa dapat dilakukan karena
going concern perusahaan dan dilakukan suspensi di Pasar Reguler dan Pasar Tunai atau hanya diperdagangkan di Pasar Negosiasi sekurang-kurangnya selama 24 bulan terakhir. Adapun dalam perjalanannya, sebelum melakukan
delisting, bursa tetap melakukan pemantauan dan pembinaan terhadap perusahaan tercatat termasuk upaya perbaikan yang dijalankan emiten. Sejauh ini terdapat beberapa saham yang sudah mengalami suspensi hampir selama 24 bulan, bahkan lebih seperti
BTEL,
PLAS, dan
GOLL. "Berkaitan dengan BTEL, PLAS, GOLL, saat ini dalam kondisi suspensi karena terdapat keraguan kelangsungan usaha dan belum dipenuhinya beberapa kewajiban sesuai ketentuan," kata Nyoman beberapa waktu lalu.
Baca Juga: Bank KB Bukopin (BBKP) lakukan partial delisting, hapus saham Bosowa dan Kopkapindo Nyoman menambahkan, POJK No.3/POJK.04/2021 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal menjelaskan, BEI dapat melakukan
delisting perusahaan tercatat salah satunya apabila terdapat permasalahan kelangsungan usaha. Berdasarkan hal tersebut, selama tidak ada perbaikan kondisi atas penyebab terjadinya suspensi, maka perusahaan tercatat masih dalam proses
delisting. Bursa akan mempertimbangkan upaya perbaikan kinerja yang dilakukan sebelum perusahaan tercatat tersebut ditetapkan
delisting oleh BEI. "Bursa akan terus memantau kondisi serta perkembangan terkini dari perusahaan tercatat dan Bursa meminta kepada para pemangku kepentingan untuk memperhatikan dan mencermati segala bentuk keterbukaan informasi yang disampaikan oleh Bursa dan Perusahaan Tercatat," imbuh Nyoman. Adapun sebagai salah satu bentuk perlindungan investor di pasar modal, perusahaan tercatat yang di-
delisting wajib mengubah statusnya dari perusahaan terbuka menjadi perusahaan tertutup, dengan membeli kembali atas seluruh saham yang dimiliki oleh pemegang saham publik atau
buyback. Menanggapi hal ini, Wawan mengungkapkan, mayoritas emiten
forced delisting biasanya kesulitan dalam hal keuangan. Sehingga menurut dia, akan kesulitan untuk memenuhi
buyback saham. Kecuali, memang ada pihak yang bersedia menyuntikkan dana sehingga perusahaan tercatat tersebut mampu melakukan
buyback.
Baca Juga: Terancam delisting, ini yang dilakukan AirAsia Indonesia (CMPP) Wawan menambahkan, opsi lain yang bisa ditempuh investor yang terlanjur masuk dalam saham-saham berpotensi
delisting adalah dengan menjualnya di pasar negosiasi. Alternatif ini bisa dipilih daripada saham kehilangan nilainya sama sekali.
Untuk menghindari masuk ke saham-saham
delisting, Wawan menekankan agar investor memiliki langkah-langkah mitigasi. Salah satunya, mencermati betul kondisi fundamental emiten. Termasuk memahami bisnis perusahaan, risiko, dan keberlangsungan perusahaan. Hal ini diperlukan sehingga investor bisa menentukan
cut loss point suatu saham. Di sisi lain, investor bisa masuk ke saham-saham yang memiliki likuiditas baik. Mempertimbangkan hal ini, investor bisa masuk ke saham-saham indeks LQ45 maupun IDX30. "Jika ada saham keluar dari indeks likuiditas tersebut, bisa jadi pertimbangan. Porsinya bisa dikurangi," pungkas Wawan.
Baca Juga: Mengincar Cuan dari Pembagian Dividen Emiten Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati