Menghitung Beban Subsidi Energi dari Kebijakan Menahan Harga Pertalite



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengungkapkan, pemerintah belum berencana untuk menaikan harga BBM khususnya pertalite dan juga tarif listrik. Namun konsekuensinya adalah anggaran subsidi bisa membengkak.

Menanggapi hal tersebut, Ekonom Bank Permata Josua memperkirakan beban tambahan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk subsidi energi bisa mencapai Rp 170 triliun hingga Rp 200 triliun. Beban ini setara dengan kurang lebih 7% total belanja negara di tahun 2022.

“Kami perkirakan salah satu pos yang dapat mengisi beban subsidi ini adalah hasil Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) maupun pendapatan pajak dari komoditas yang harganya lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2021, sehingga berpotensi mengulang pertumbuhan penerimaan di tahun lalu,” ujar Josua kepada Kontan.co.id, Rabu (18/5).

Menurut Josua, kebijakan menahan harga pertalite sudah tepat, sebab apabila pemerintah melepas harga pertalite ke level keekonomiannya, dikhawatirkan inflasi Indonesia akan kembali meningkat melebihi 4% di tahun 2022. Sehingga hal ini dapat mendorong pelemahan daya beli masyarakat.

Baca Juga: Konsumsi Meningkat, Subsidi Energi Berpotensi Melonjak

“Kebijakan untuk tetap menjaga harga pertalite saat ini sudah cukup tepat, terutama ketika risiko inflasi masih tinggi,” kata Josua.

Senada dengan Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira yang menilai keputusan pemerintah untuk menahan harga pertalite sangat tepat mendukung pemulihan ekonomi. Adanya pelonggaran dengan aturan baru mengenai kebebasan masker di ruang terbuka, menurutnya ada implikasi ke belanja rumah tangga dan transportasi yang akan naik.

“Kebutuhan pertalite yang naik tapi harga tetap stabil membuat disposable income rumah tangga meningkat. Akhirnya sisa pendapatan bisa digunakan untuk belanja lainnya,” ujar Bhima.

Bhima menghitung kenaikan subsidi energi akan berkisar Rp 200 triliun hingga Rp 250 triliun dari anggaran awal sebesar Rp 134 triliun. Meski terjadi kenaikan, namun menurutnya pemerintah masih bisa melakukan berbagai penyesuaian pos anggaran lain. Misalnya pada pos belanja infrastruktur yang masih bisa dihemat kendati ada risiko cost averun di beberapa proyek strategis.

Dihubungi terpisah, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet mengatakan dengan asumsi harga minyak global yang mencapai US$ 100 per barel dan setiap kenaikan US$ 1 per barel dapat menyumbang belanja subsidi hingga Rp 1,9 triliun sampai Rp 2,1 triliun, maka berdasarkan perhitungannya potensi belanja subsidi energi bisa mencapai Rp 180 triliun hingga Rp 200 triliun lebih tinggi dari pagu anggaran subsidi energi yang mencapai Rp 134 triliun.

Baca Juga: Harga Pertalite dan Listrik Belum Naik, Pemerintah Siapkan Tambahan Subsidi Energi

“Saya kira peningkatan subsidi masih bisa diharapkan untuk menjadi salah satu instrumen untuk meningkatkan atau setidaknya menjaga daya beli terutama kelompok masyarakat menengah bawah,” tutur Yusuf.

Menurut Yusuf, dengan subsidi yang meningkat maka ongkos terutama yang dikeluarkan masyarakat untuk membayar komoditas energi seperti listrik atau pun pertalite bisa dialokasikan untuk konsumsi yang lain dikarenakan biaya subsidi energinya ditanggung oleh pemerintah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi