KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Nilai tukar rupiah di pasar spot bergerak tipis hingga akhir perdagangan Rabu (12/10), rupiah spot ditutup di level Rp 15.357 per dolar Amerika Serikat (AS). Ini membuat rupiah spot menguat tipis 0,007% dibanding penutupan hari sebelumnya yang berada di level Rp 15.358 per dolar AS. Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira meramal, nilai tukar rupiah akan bergerak pada kisaran Rp 15.700 hingga Rp 16.100 per dolar AS pada tahun 2023.
Ia mengatakan, apabila mata uang Garuda melemah hingga ke level Rp 16.000 per dolar AS dan berjalan dalam waktu yang cukup lama, tentu akan memunculkan efek
imported inflation atau inflasi yang didorong naiknya biaya impor.
Baca Juga: Rupiah Diproyeksi Melemah pada Perdagangan Kamis (13/10) "Problemnya adalah sebagian konsumen masih tergantung kepada impor cukup tinggi. Gandum, garam, gula, daging sapi atau lembu kemudian juga bawang putih itu kan konteks impornya cukup besar sehingga relatif riskan ketika terjadi pelemahan kurs maka akan terjadi inflasi dari bahan pangan," ujar Bhima kepada Kontan.co.id, Rabu (12/10). Tidak hanya itu, Bhima juga mengatakan bahwa efek pelemahan rupiah tersebut juga dikhawatirkan akan menyebabkan tekanan dan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Hal ini dikarenakan perusahaan mau tidak mau harus melakukan efisiensi apabila tidak bisa mengimbangkan antara naiknya beban biaya operasional dan beban biaya produksi dengan sisi penerimaan konsumen.
Di sisi lain, pelemahan nilai tukar rupiah juga bisa berdampak terhadap beban bunga utang dan cicilan pokok yang harus dibayarkan perusahaan swasta. Menurutnya, apabila perusahaan swasta masih berorientasi kepada ekspor, mungkin selisih kurs masih bisa dimitigasi dikarenakan pendapatannya juga berasal dari valas.
Baca Juga: Rupiah Berada di Rp 15.379 per Dolar AS, Melemah Total 1,26% Dalam 4 Hari Namun apabila perusahaan swasta melakukan pinjaman dalam bentuk valas sementara pendapatan atau omzetnya diperoleh dari rupiah di pasar dalam negeri, maka menurutnya hal tersebut yang akan menjadi masalah. "
Currency mismatch ini lah yang bisa menjadi tekanan pada likuiditas dan
cash flow dan bisa berakibat juga nantinya kepada kredit macet di perbankan," katanya.
Editor: Noverius Laoli