Menghitung efek tax amnesty bagi BBCA



JAKARTA. Pemerintah telah menunjuk tujuh bank nasional termasuk Bank Central Asia Tbk (BBCA) untuk menjadi bank persepsi yang menampung dana repatriasi dari tax amnesty. Potensi dana repatriasi hasil tax amnesty diperkirakan bisa mencapai minimal Rp 1.000 triliun.

Milka Mutiara, Analis Philip Securities memprediksi, BBCA bisa menampung sekitar Rp 100 triliun dari total dana yang masuk, karena termasuk bank BUKU IV. "Seberapa besar efeknya saya tidak bisa komentar, karena peraturan menteri keuangan (PMK) belum keluar," kata Milka kepada KONTAN, Kamis (14/7).

Ia beranggapan, perbankan cenderung konservatif memandang program ini. Pasalnya, belum ada gambaran dan detail peraturan. Alhasil, perbankan tidak menyiapkan produk khusus untuk menampung dana repatriasi.


"Karena untuk membuat produk baru membutuhkan approval OJK dan prosesnya sangat panjang. Jadi perbankan tidak mau ambil risiko karena takutnya dana yang masuk tidak sebanding," ujar Milka.

Hal sama diungkapkan oleh Frederik Rasali, Analis Minna Padi Investama. Ia mengatakan, tidak ada produk khusus dari BBCA untuk menadah dana dari tax amnesty. "Dana dari tax amnesty akan mencari investasi yang lebih berisiko dahulu untuk memaksimalkan performa," kata Frederik.

Analis MNC Securities Nurulita Harwaningrum mengatakan, meski berpeluang penambahan dana, BBCA menghadapi tantangan, yakni berupa peningkatan non performing loan (NPL) akibat perlambatan ekonomi.

Kabar baiknya, NPL BBCA masih terhitung rendah dibandingkan industri. Di kuartal I-2016, NPL BBCA hanya 1,1%. Raymond Budiman, analis Panin Sekuritas dalam riset sektor perbankan 12 Juli 2016 menyebut, BBCA memiliki profil biaya dana yang rendah. Ini menyebabkan BBCA bisa mempertahankan margin.

Raymond memperkirakan, margin bunga bersih alias net interest margin (NIM) BBCA tahun ini bisa 6,66%, turun ketimbang tahun lalu di angka 6,72%. Tapi, angka ini lebih tinggi ketimbang NIM tahun 2014 sebesar 6,53%. Raymond memperkirakan, BBCA akan mencetak pendapatan bunga Rp 50,10 triliun tahun ini dengan laba bersih Rp 19,99 triliun.

Pendapatan bunga dan laba ini tumbuh masing-masing 6,40% dan 10,93% ketimbang tahun lalu. Nurul melihat, pertumbuhan laba BBCA masih di atas rata-rata industri. Di tengah penurunan suku bunga, BBCA berpeluang menambah pendapatan komisi alias fee based income.

"Fee based income diperkirakan akan naik karena BBCA berinovasi terkait digital banking seperti Sakuku," tambah Nurul. Frederik menambahkan, saving account BCA masih sangat digemari karena memang bisnis utamanya adalah untuk menjadi bank transaksi.

Bila BBCA bisa mengambil kesempatan untuk memfasilitasi teknologi finansial, fee based income bisa digenjot. Milka dan Nurul merekomendasikan hold BBCA karena harga sudah terlalu mahal dengan target harga masing-masing Rp 13.250 dan Rp 14.000.

Frederik merekomendasikan buy on weakness dengan target harga Rp 14.800 hingga tutup tahun. Raymond mengerek rekomendasi BBCA dari netral menjadi beli dengan target harga Rp 15.000 per saham.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie