KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perusahaan-perusahaan baik di Indonesia dan di dunia saat ini tengah "dikepung" untuk segera mengadopsi dan mengimplementasikan prinsip-prinsip
sustainability atau keberlanjutan ke dalam aktivitas operasional dan proses pengambilan keputusan bisnis mereka. Pasalnya,
sustainability sudah menjadi sebuah
urgency dan komitmen global untuk memastikan kelangsungan hidup dan kualitas hidup saat ini dan di masa depan. Hal itu dikatakan
Collaborative Partner for Sustainability Strategy, Reporting and Assurance dari National Center for Sustainability Reporting (NCSR) Indonesia, Stella Septania, dalam sebuah webinar bertajuk
Action, Advocacy, and Trust: Strategies for Communicating Sustainability yang diadakan pada Selasa (6/4) dan dihadiri oleh hampir 200 perserta, termasuk mahasiswa dari Universitas Indonesia (UI), Universitas Padjajaran (Unpad) dan Universitas Gajah Mada (UGM).
Webinar tersebut adalah salah satu rangkaian acara dari PR Vaganza Pekan Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI yang digelar pada 5 – 8 April 2021.
Baca Juga: Schroders integrasikan sustainability dan EGS dalam reksadana saham global syariah Dalam webinar itu, Stella menjelaskan pemahaman dan harapan dari pemangku kepentingan yang sudah sangat berbeda turut mendorong komunitas bisnis ke arah
sustainability. “Mungkin 15 tahun yang lalu adopsi dan implementasi
sustainability oleh perusahaan masih dianggap sebagai sesuatu yang
nice-to-have. Sekarang ini,
sustainability sudah menjadi sesuatu yang
have-to-be-done, karena semakin banyak kelompok pemangku kepentingan dan semakin besar tekanan dari mereka yang meminta
sustainability diintegrasikan ke dalam proses bisnis, aktivitas, dan pengambilan keputusan oleh komunitas bisnis,” Jelas praktisi yang sudah berkecimpung selama lebih dari 14 tahun di bidang
sustainability itu lebih lanjut seperti dikutip, Kamis (8/4). Sebelumnya adopsi dan implementasi
sustainability oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia masih terbatas di beberapa sektor dan oleh perusahaan-perusahaan yang secara regulasi memang diharuskan atau yang diminta oleh pelanggan,
principal, dan pemegang sahamnya. “Sekarang, perusahaan-perusahaan sudah dikepung dari berbagai sisi. Ada
peer pressure dari publik, media, dan LSM. Ada
financial pressure dari investor dan kreditor, dan ada
regulatory pressure dari regulator dan pemerintah. Semuanya mendorong kolaborasi lintas sektor dan lintas pemangku kepentingan untuk mewujudkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau
Sustainable Development Goals (SDGs),” jelasnya. Oleh karena itu, menurut Stella, saat ini sudah tidak bisa tidak,
sustainability harus segera diintegrasikan ke dalam proses bisnis dan operasional sehari hari jika perusahaan tidak ingin tertinggal dan ditinggal oleh pemangku kepentingannya.
Baca Juga: Gandeng IDH, RLU berdayakan masyarakat di kawasan hutan Kabupaten Tebo Sebagai informasi, pada tahun 2016 Indonesia bersama dengan 171 negara-negara di dunia menandatangani Kesepakatan Paris (Paris Agreement) tentang perusahaan iklim di Markas Besar Persatuan Bangsa-Bangsa, New York, Amerika Serikat. Kemudian di tahun 2017, Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan sebagai wujud dari komitmen Indonesia agar pelaksanaan dan pencapaian SDGs secara partisipatif dan melibatkan seluruh pihak. Di tahun yang sama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan Peraturan OJK nomor 51 Tahun 2017 tentang
Sustainable Finance yang mewajibkan seluruh Lembaga Jasa Keuangan dan emiten di Indonesia untuk memiliki Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan dan menerbitkan
Sustainability Report agar kinerja ekonomi, sosial, dan lingkungannya dapat dimonitor secara transparan. Lebih lanjut, wanita yang memiliki spesialisasi di
Operational Management, Business Process Re-engineering, Robotika dan Automasi Industri itu, memaparkan bahwa
sustainability tidak hanya soal kegiatan sosial, donasi, filantropi ataupun soal lingkungan.
Editor: Noverius Laoli