KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bagi industri lokal yang masih mengandalkan banyak material impor, kenaikan dollar AS kali ini dipastikan memberatkan kinerja bisnisnya. Untuk itu pelaku bisnis harus pandai-pandai dalam menentukan strategi menghadapi fluktuasi kurs ini. Adapun untuk industri baja, selama ini sebagian pasokan bahan baku masih didapat dari luar negeri. Purwono Widodo, Direktur Pemasaran PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) mengatakan industri baja hilir sudah saatnya untuk memaksimalkan bahan baku domestik yang dibanderol dalam rupiah. "Meski ada kenaikan harga sedikit tetapi jatuhnya masih lebih murah dan ada kepastian harga dibanding impor yang berfluktuasi dan terkait langsung ke nilai tukar," ujarnya kepada Kontan.co.id, Selasa (9/10).
Sementara itu, menurut Purwono yang juga menjadi pengurus The Indonesian Iron & Steel Association (IISIA), bagi industri baja hulu yang memerlukan pasokan bahan baku dari luar negeri, seperti
iron ore, cooking coal, billet dan lainnya tidak ada pilihan lain kecuali melakukan efisiensi secara menyeluruh di proses produksi. Selain memaksimalkan efisiensi, KRAS diketahui mencoba meraup untung dari penguatan dollar AS dengan memperlebar pasar ekspornya di tahun ini. Target perseroan untuk ekspor sampai akhir tahun senilai US$ 100 juta, dimana realisasinya sampai September 2018 ini telah mencapai US$ 77 juta. Sedangkan bagi industri farmasi, kenaikan dollar AS bukan satu-satunya penyebab mahalnya bahan baku pabrikan, di mana saat ini
raw material obat di Indonesia 90% diperoleh dari impor. Vincent Harijanto, Ketua Litbang Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia (GPFI) mengatakan bahwa pabrikan
raw material obat di China saat ini tengah berhadapan dengan regulasi proteksi lingkungan yang baru, sehingga ada kewajiban memindahkan pabrik dan berefek meningkatnya
cost produksi di sana. Sementara itu, langkah awal yang dilakukan pabrikan ialah melakukan efisiensi di bidang-bidang tertentu. "Sebab bagi industri farmasi kami tidak bisa semena-mena menaikkan harga," ungkap Vincent kepada Kontan.co.id, Selasa (9/10). Apalagi untuk obat resep generik yang sebagian besar melewati proses lelang sistem
e-catalogue LKPP. Meski demikian, GPFI sempat mengusulkan agar ada kenaikan harga sekitar 5%-7% yang diharapkan terwujud tahun ini. Karena kebutuhan bahan baku obat beragam tergantung variasi produk, pabrikan farmasi melakukan subsidi silang demi tetap menjaga keuntungan. Menurut Vincent, hasil dari subsidi silang ini seringkali hanya menghasilkan keuntungan yang cukup mepet. Bagi produsen
personal care PT Kino Indonesia Tbk (KINO), kenaikan dollar AS mau tak mau berdampak pada margin keuntungan perseroan. Harry Sanusi, Presiden Direktur PT KINO mengatakan eksposur perusahaan dalam dollar AS sekitar 50% nya berasal dari bahan baku. "Tentu ada tekanan terhadap margin, maka yang kami lakukan adalah efisiensi sementara sembari melihat tahun depan apakah memungkinkan untuk menyesuaikan harga jual," sebutnya kepada Kontan.co.id, Selasa (9/10).
Menurutnya, industri personal care sangat memperhatikan daya beli dalam setiap perhitungan kenaikan harga produk, tak jarang perseroan tetap bertahan untuk menjaga agar daya beli tetap terkendali. Sementara itu, metode
hedging tampaknya tidak menjadi pilihan bagi industri. Sebab kata Harry,
hedging cost dirasa cukup besar dan spekulatif. Mengintip laporan keuangan semester-I 2018, penjualan KINO tumbuh 19% menjadi Rp 1,7 triliun
year on year. Mayoritas penjualan perseroan 47% dari total revenue atau senilai Rp 815 miliar berasal dari
personal care, sisanya dari kosmetik, makanan dan minuman. Efisiensi KINO dilakukan di berbagai lini, sehingga perseroan berhasil membukukan laba bersih Rp 71 miliar, naik lebih dari 2 kali lipat dibandingkan laba bersih paruh pertama 2017 yang senilai Rp 22 miliar. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie