Mengintip perbandingan spread SUN dengan obligasi negara tetangga



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Spread alias selisih yield Surat Utang Negara (SUN) Indonesia dengan yield US Treasury memang tergolong lebar dibandingkan negara-negara di kawasan regional. Walau hal tersebut mengindikasikan betapa tingginya yield SUN Indonesia, namun faktor volatilitas nilai tukar rupiah tetap tak bisa dikesampingkan.

Sebagaimana yang diketahui, Jumat (14/9) lalu yield SUN 10 tahun Indonesia berada di level 8,36% sementara yield US Treasury untuk tenor yang sama berada di level 2,98%. Dengan demikian, spread yield SUN Indonesia dengan US Treasury mencapai 5,38% atau 538 bps.

Di periode yang sama, yield SUN 10 tahun Filipina bertengger di level 6,85% dan memiliki spread sebesar 3,87% atau 387 bps dengan US Treasury. Adapun yield SUN 10 tahun India bergerak di level 8,12% yang artinya memiliki spread dengan US Treasury sebesar 5,14% atau 514 bps.


Asal tahu saja, Filipina dan India memiliki peringkat utang yang mirip dengan Indonesia. Menurut Moody’s Investor Service, ketiga negara tersebut saat ini sama-sama menyandang peringkat Baa2.

Analis Fixed Income MNC Sekuritas, I Made Adi Saputra menjelaskan, dalam 10 tahun spread rata-rata SUN Indonesia dan India dibandingkan US Treasury sama-sama mencapai 500 bps. Tepatnya, 546 bps untuk SUN Indonesia dan 520 untuk SUN India. Adapun spread rata-rata SUN Filipina dalam satu dasawarsa terakhir mentok di angka 290 bps dibandingkan US Treasury.

Pelebaran spread dapat mencerminkan tingginya posisi yield SUN di suatu negara. Hal ini sebenarnya dapat menjadi katalis positif bagi suatu negara untuk menarik dana investasi asing ke pasar obligasinya.

Namun demikian, Made menyebut nilai tukar mata uang tetap menjadi acuan utama bagi investor asing sebelum berinvestasi di pasar obligasi.

Jika ditelusuri, kurs rupiah sudah terkoreksi 9,24% (ytd) terhadap dollar AS hingga akhir pekan lalu. Posisi rupiah sebenarnya lebih baik ketimbang rupee India yang telah terdepresiasi 12,50% (ytd) dihadapan dollar AS, tapi tidak dengan peso Filipina yang baru terkikis 8,21% (ytd).

Dari data tersebut, bukan berarti kondisi pasar obligasi Indonesia mutlak akan lebih baik ketimbang India ataupun lebih buruk dari Filipina. Ini mengingat dampak volatilitas nilai tukar mata uang juga bergantung pada struktur pasar obligasi di ketiga negara tersebut.

Di Indonesia misalnya, investor asing bebas keluar-masuk pasar kapan pun mereka mau. “Kalau di India, investor asing harus memegang instrumen surat utangnya minimal 6 bulan baru setelah itu bisa dijual,” kata Made, Jumat (14/9).

Di sisi lain, Made bilang nilai kepemilikan asing di pasar obligasi negara Filipina tidak sebesar Indonesia dan India. Alhasil, dampak yang dirasakan pasar obligasi Filipina akibat pergerakan nilai tukar mata uang relatif berbeda dengan kedua negara tadi.

Senior VP & Head of Investment Recapital Asset Management, Rio Ariansyah berpendapat, secara jangka panjang yield SUN Indonesia maupun negara-negara lainnya seperti India dan Filipina masih berpotensi naik. Sebab, kenaikan suku bunga acuan AS yang hampir dipastikan terjadi dua kali di sisa tahun ini dapat membuat yield US Treasury ikut bergerak naik.

Otomatis, yield SUN di negara emerging market juga akan menyesuaikan kenaikan tersebut sehingga ujung-ujungnya potensi pelebaran spread bakal kembali terjadi. “Kalau pelebaran spread tidak diimbangi pergerakan rupiah yang stabil, efeknya tidak akan terlalu terasa bagi Indonesia,” tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia