KONTAN.CO.ID - Kinerja perekonomian suatu negara selama ini sering kali diukur berdasarkan nilai produk domestik bruto (PDB). Hal ini mencerminkan pertumbuhan ekonomi (
economic growth) suatu negara. Namun pengukuran kinerja ekonomi suatu negara dengan menggunakan PDB ini dianggap masih belum mampu mencerminkan kinerja ekonomi suatu negara secara menyeluruh. Kerap kegiatan perekonomian yang terekam dalam PDB hanya mencerminkan sebagian saja, sementara berbagai kegiatan ekonomi lainnya terutama yang kecil dan ilegal luput dari pencatatan.
Kalau di Indonesia hal itu termasuk misalnya kegiatan judi online, penangkapan ikan ilegal, tambang ilegal, bisnis minuman keras ilegal, hiburan malam ilegal, cukai rokok palsu dan rokok tanpa cukai. Artinya kegiatan ekonomi yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi karena dilarang hukum. Atau aktivitas bisnis yang sengaja ditutupi untuk menghindari pembayaran pajak.
Baca Juga: Akan Diburu Pajak, Berapa Potensi Pajak dari Kegiatan Ekonomi Bawah Tanah? Nah kegiatan yang berlangsung di dalam perekonomian namun tidak termasuk dalam perhitungan PDB tersebut kerap kali dianggap sebagai kegiatan ekonomi bawah tanah
(underground economy). Kegiatan ini telah berlangsung lama dan merupakan kecenderungan yang terjadi di hampir semua negara, baik di negara-negara miskin ataupun negara-negara berkembang dan negara-negara kaya. Ekonom dari Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, mencoba menghitung potensi ekonomi
underground economy ini. Ia menduga aktivitas ekonomi bawah tanah ini bisa setara 15%-20% dari PDB Indonesia. Sementara itu di negara-negara dengan penegakan hukumnya buruk aktivitas
underground economy ini proporsinya bisa mencapai hingga 60% dari PDB. Namun di negara-negara berkembang bisa mencapai 10%-120%. "Tapi saya rasa jauh lebih besar dari itu bisa 15%-20% dari PDB," tegasnya.
Baca Juga: Pemajakan Underground Economy Jangan Cuma Gimmick Nah untuk Indonesia, dengan asumsi nilainya setara 15% saja dari PDB Indonesia, maka kegiatan ekonomi bawah tanah ini nilainya mencapai sekitar Rp 3.600 triliun. "Lalu dengan asumsi
tax ratio 10,4%, maka potensi penerimaan pajak bisa mencapai Rp 375 triliun," ujar Wijayan kepada KONTAN belum lama ini.
Berpotensi Dongkrak Penerimaan Pajak
Pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto mulai menggulirkan langkah dan upaya untuk memanfaatkan dan menggali potensi pajak ekonomi bawah tanah ini. Hal ini sejalan dengan semakin meningkatnya kebutuhan pendanaan pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Selama ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan di level 5%, sementara Prabowo menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa kepemimpinannya sebesar 8%. Untuk itu, potensi-potensi penerimaan negara yang belum tergali selama ini dicoba dimaksimalkan.
Baca Juga: CTAS Dianggap Efektif Deteksi Transaksi Ekonomi Bawah Tanah Salah satunya langkahnya adalah dengan menambah jumlah wakil menteri keuangan menjadi tiga orang. Salah satu tugas wakil menteri itu adalah menggali potensi penerimaan pajak bawah tanah. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, saat ini, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan terus berkoordinasi untuk memetakan kegiatan-kegiatan ekonomi bawah tanah, aktivitas bisnis informal dan aktivitas bisnis ilegal. "Untuk berbagai tindakan
illegal activity kita akan terus melakukan
mapping, bersama kementerian terkait," ujar Sri Mulyani. Sri Mulyani menegaskan bahwa
underground economy adalah kegiatan yang sifatnya menghindari pajak, ilegal dan bahkan kriminal seperti judi online. Untuk menghadapi kegiatan ini, Kemenkeu akan berkoordinasi dengan Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan. Namun untuk kegiatan bisnis informal, termasuk di dalamnya kegiatan dengan skala usaha lebih kecil. Untuk itu, Kemenkeu akan bekerja sama dengan Kementerian Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), Kementerian Koperasi, hingga Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Baca Juga: Segini Potensi Pajak dari Kegiatan Bawah Tanah Untuk itu, Kemenkeu telah menugaskan Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu untuk menggali potensi penerimaan pajak dari kegiatan ekonomi bawah tanah tersebut. Pemerintah juga tengah menyusun
roadmap, termasuk dalam upaya menggenjot
tax ratio atau rasio pajak. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat nilai transaksi aktivitas ekonomi bawah tanah mencapai ratusan triliun per tahunnya. Sebagai contoh, PPATK melaporkan nilai transaksi judi daring di Indonesia saja hingga November 2024 mencapai Rp 283 triliun. Kemudian dari perkara dugaan korupsi pengelolaan timah di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah Tbk 2015-2020 saja potensi kerugian negara mencapai Rp 271 triliun. Nilai tersebut berasal dari berbagai jenis kerugian yang perlu ditanggung, yaitu kerugian lingkungan dan ekonomi serta biaya pemulihan. Konsultan Pajak Botax Consulting Indonesia, Raden Agus Suparman mengatakan jika sektor ekonomi bawah tanah berhasil dibenahi an dipungut pajak, maka kontribusinya terhadap pendapatan negara bisa mencapai angka fantastis.
Baca Juga: Sri Mulyani Ungkap Strategi Hadapi Utang Jatuh Tempo Rp 434,29 Triliun di 2024 Dari perhitungan raden, potensi penerimaan pajak dari judi online saja mencapai Rp 100 triliun dengan asumsi perputaran uang judi online mencapai Rp 300 triliun per tahun. Apalagi menurut Raden, judi online itu dinikmati wajib pajak orang pribadi yang bisa dikenai tarif Pajak Penghasilan (PPh) hingga 35%. Selain itu, transaksi narkoba juga memberikan potensi pajak yang tidak kalah besar. Sebagai contoh penghasilan bisnis narkoba yang dikendalikan sindikat Fredy Pratama bisa mencapai Rp 50 triliun bila dikenakan pajak dapat menghasilkan pendapatan negara sebesar Rp 35 triliun.
Tantangan Pajak Ekonomi Bawah Tanah
Potensi penarikan pajak dari ekonomi bawah tanah memang cukup besar, namun hal itu tidak mudah dilakukan. Apalagi bukan kali ini saja pemerintah mencoba membidik potensi pajak tersebut, namun hingga kini belum juga berhasil. Pengamat Pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar membagi sektor ekonomi bawah tanah menjadi empat bagian.
Pertama underground production,
kedua produksi ilegal,
ketiga sektor informal dan
keempat produksi rumah tangga untuk penggunaan pribadi.
Baca Juga: Terkait Underground Economy, Begini Penjelasan Sri Mulyani Dari keempat sektor tersebut, Fajry mengatakan potensi yang paling bisa dimanfaatkan pemerintah adalah sektor
underground production yaitu aktivitas legal yang tidak tercatat oleh otoritas pajak lantaran upaya menghindari pajak atau regulasi. Sementara itu, penarikan pajak dari aktivitas judi online, dan tambang ilegal bisa dilakukan melalui Undang-Undang (UU) Pajak Penghasilan (PPh). Namun ia mengingatkan pemajakan dari aktivitas tersebut tidak berkelanjutan kecuali aktivitas ilegal tersebut dilegalkan. Meskipun demikian, Fajry mengingatkan bahwa aktivitas judi online misalnya kalau dilegalkan, lebih besar mudaratnya ketimbang manfaatnya. Sementara itu kalau sawit ilegal, tambang ilegal, kedua aktivitas itu bisa dilegalkan, tapi aparat penegak hukum harus lebih dulu membereskannya. Tantangan lainnya adalah memajaki aktivitas bisnis sektor informal yang sering disebut sebagai
hard to tax sector, karena biaya administrasinya lebih tinggi daripada potensi penerimannya.
Baca Juga: Sri Mulyani Tugaskan Wamen Anggito Kejar Potensi Pajak dari Aktivitas Ilegal Untuk itu, perlu terobosan administrasi agar sektor tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sumber penerimaan pajak. Fajry menambahkan pentingnya data pihak ketiga dalam mengoptimalkan pengumpulan ajak dari ekonomi bawah tanah atau
non observed economy. Bisa dengan mengoptimalkan peran Badan Intelijen Keuangan dalam mendukung Kemenkeu menggali data dari ektor ini.
Nah apakah pemerintah berhasil menggali potensi ekonomi bawah tanah ini? Keseriusan pemerintah menjadi salah satu penentunya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli