KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pergerakan nilai tukar rupiah sepekan ini, dinilai Kepala Riset Monex Investindo Futures Ariston Tjendra bergerak stagnan dibandingkan pekan sebelumnya. Begitu juga dengan pekan depan, rupiah diprediksi masih akan bergerak tipis, dengan kemungkinan masih bisa menguat. Berdasarkan catatan Bloomberg pada perdagangan Jumat (1/11) pukul 16.34 WIB, rupiah tercatat menguat 0,03% ke level Rp 14.038 per dolar AS dari penutupan sebelumnya. Sebaliknya, kurs tengah Bank Indonesia (BI) atau JISDOR, justru terkoreksi sebanyak 58 poin atau 0,41% menjadi Rp 14.066 per dolar AS. Baca Juga: IHSG terkoreksi karena investor profit taking, begini prediksinya pekan depan
Menurut Ariston, sentimen perang dagang antara AS dan China menjadi sentimen pengganjal bagi rupiah untuk menguat terhadap dollar AS. Pasar sempat optimis akan ada kesepakatan dagang antara AS dan China di November, sampai akhirnya China keluarkan pernyataan baru bahwa kesepakatan masih sulit dicapai. "Kondisi tersebut, tentunya menimbulkan ketidakpastian, sehingga membuat rupiah kembali melemah," ujar Ariston kepada Kontan.co.id, Jumat (1/11) Meski mengalami pelemahan, Kepala Riset Monex mengaku pergerakannya masih dalam batas wajar. Ini karena, sentimen pemangkasan suku bunga acuan yang dilakukan Bank Sentral AS (The Fed) turut berkontribusi menahan pelemahan rupiah lebih dalam. Untuk sentimen pekan depan, Ariston mengaku pergerakan rupiah masih sulit diprediksi. Sentimen-sentimen tak terduga masih bisa muncul, khususnya dari Presiden AS Donald Trump terkait perkembangan perang dagang antara AS dan China. Baca Juga: Topang pertumbuhan ekonomi, BI sampai pangkas suku bunga empat kali "Pekan depan, rupiah kelihatannya masih susah ditebak. Kalau dari pelaku pasar sendiri, fokus pada perjanjian dagang, perkembangan Brexit yang mereda dan Inggris bakal keluar dari dengan kesepakatan," ungkapnya. Dengan begitu, Ariston melihat adanya kemungkinan bagi rupiah menguat terhadap dolar AS pekan depan. Hanya saja, pergerakannya cenderung tipis mengingat masih banyaknya sentimen yang berisiko menekan pergerakan rupiah.