JAKARTA. Tahun ini adalah tahun yang berat bagi industri rokok. Selain tekanan kenaikan pajak dan cukai, daya beli masyarakat menurun. Sepanjang sembilan bulan tahun ini, penjualan rokok menurun 1,3%
year on year (yoy) menjadi 232 miliar batang rokok. Tahun depan, masih banyak tantangan mengadang industri "asap" ini, khususnya kenaikan pajak dan cukai. Tapi masih ada hal lain juga yang menjadi katalis positif. Harry Su, Kepala Riset Bahana Securities, menjelaskan, rokok dengan kategori sigaret kretek mesin (SKM) menjadi salah satu segmen yang paling cepat pertumbuhannya. Ini bisa dilihat dari pangsa pasar SKM yang mencapai 75%.
Sementara, pangsa pasar rokok kretek dan rokok putih masing-masing 19% dan 6%. Pemerintah akan memperluas dan menaikkan cukai untuk semua jenis rokok. Hingga kini, cukai rokok kretek masih menjadi yang terendah, tujuannya, menekan risiko pengangguran. Rokok kretek masih memerlukan tenaga manusia untuk produksi. Jika cukai rokok kretek naik, harga per batang rokok tersebut turut terkerek. Di tahap awal, perusahaan rokok akan menahan harga. Artinya, margin perusahaan bakal tertekan. Jika hal ini terus terjadi, sementara kemampuan perusahaan menjaga level margin terbatas, akhirnya efisiensi berupa pengurangan karyawan harus dilakukan. Ini berlaku bagi semua emiten saham rokok, seperti PT HM Sampoerna Tbk (HMSP), PT Gudang Garam Tbk (GGRM), PT Wismilak Inti Makmur (WIIM), dan PT Bentoel Internasional Investama Tbk (RMBA). Harry paling menyukai GGRM karena fundamental relatif stabil. "Sejak 2010, pangsa pasar selalu terjaga di kisaran 23%," ujar Harry. Dengan prediksi kenaikan cukai rokok 15%, GGRM berpotensi menaikan harga jual antara 7% - 8% untuk menjaga margin kotor. Tapi, kenaikan harga ini juga dibarengi dengan proyeksi daya beli masyarakat yang meningkat, sehingga bisa menjaga stabilitas kinerja GGRM. Dari sisi harga, saham GGRM juga memiliki harga lebih murah pada
price earning (PE) 2016 di angka 21 kali ketimbang HMSP pada PE 48 kali. HMSP memang masih menjadi yang terbesar, bahkan menjadi salah satu penentu pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Tapi, ketatnya persaingan menyebabkan pangsa pasar HMSP secara perlahan tergerus. Serunya ersaingan industri rokok juga menyebabkan kinerja HMSP mulai tertekan, bahkan margin kotor berada dalam tren turun sejak tahun 2013. Di tahun 2013, margin kotor HMSP sebesar 26,8%. Angka itu terus turun menjadi 25,4% pada 2014 dan diperkirakan menjadi 24,3% tahun ini. Tren penurunan ini diprediksi akan berlanjut. Reza Priyambada, Kepala Riset NH Korindo Securities, menuturkan, WIIM sedang berkutat dengan rendahnya margin yang dihasilkan. Apalagi WIIM membukukan penurunan margin laba akibat kenaikan cukai rokok.
Menaikkan harga merupakan cara yang paling logis mengembalikan margin. Masalahnya, WIIM juga tidak memiliki ruang luas mengerek harga. Sebab, masyarakat masih memilih produk rokok dari merek Gudang Garam dan Sampoerna ketimbang Wismilak. Harga produk rokok kelas premium WIIM, Diplomat 16, di pasaran Rp 20.000. Jika nanti harga jual naik 10%, maka harga menjadi Rp 22.000. "Kalau dibandingkan dengan rokok lain, harga rokok WIIM sedikit lebih mahal," jelas Reza. WIIM bisa saja menaikkan harga dengan promosi yang lebih intensif. Masalahnya, promosi juga salah satu faktor penekan margin. RMBA masih belum menunjukan taji fundamentalnya. Ketatnya persaingan membuat RMBA belum bisa lepas dari kerugian. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie