Mengitip Prospek dan Tantangan Emiten Logam ditengah Lesunya Perekonomian China



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Lesunya ekonomi China diperkirakan masih akan berpengaruh terhadap nasib emiten logam di Tanah Air. Meski masih ada yang memili peluang positif, tetapi tetap saja ada sejumlah tantangan yang dihadapi.

Analis Kiwoom Sekuritas Indonesia, Miftahul Khaer masih menyakini timah dan nikel memiliki prospek yang cukup menarik. Harganya cenderung meningkat sejak awal tahun (Ytd). Berdasarkan data Trading Economics hingga Jumat (18/10), harga timah mencatatkan peningkatan 22,83% Ytd ke US$ 31.218 per ton. Sementara nikel naik 3,71% Ytd ke US$ 16.982 per ton.

Menurut pria yang kerap disapa Khaer ini, peningkatan harga menjadi sentimen yang cukup positif pada sektor timah dalam negeri. Selain itu untuk sektor nikel juga prospeknya dinilai menarik dikarenakan kebutuhan pada EV dan energi hijau yang diproyeksikan akan semakin besar ke depan.


"Selain itu sentimen stimulus ekonomi China merupakan katalis positif juga pada kedua segmen logam ini," ujarnya.

Baca Juga: Ekonomi China Masih Lesu, Intip Prospek Emiten Logam

Disisi lain, analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Rizkia Darmawan menuturkan pada akhir September 2024, People's Republic of China (PBOC) mengumumkan paket stimulus kebijakan moneter komprehensif yang melebihi ekspektasi pasar.

Pada tanggal 26 September, pertemuan Politbiro yang pertama diadakan untuk fokus mendukung sektor swasta dan memprioritaskan kebangkitan ekonomi. Saat ini, China telah merilis langkah-langkah stimulus yang menargetkan pasar saham, pasar perumahan, dan telah mengimplementasikan pemotongan RRR (Reserve Requirement Ratio) dan suku bunga kebijakan.

Meski begitu, dampak keseluruhan terhadap perekonomian China masih menjadi bahan diskusi yang terus berlanjut. "Pertanyaan-pertanyaan mengenai apakah upaya-upaya ini akan cukup menstimulasi pertumbuhan lebih lanjut," sebutnya.

Pria yang disapa Darma ini melihat, keterpaparan Indonesia terhadap perekonomian China cukup signifikan. Karenanya, ia menilai risiko tetap ada pada industri nikel, terlebih China sebagai konsumen utama nikel Indonesia masih menghadapi tantangan di tengah perlambatan ekonomi yang sedang berlangsung.

"Ditambah tarif yang diberlakukan oleh Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa telah dinaikkan dari 10% menjadi 45%," paparnya.

Di sisi lain, harga nikel masih menguat ia meyakini kenaikan harga ini kemungkinan bersifat sementara. "Karena dinamika perdagangan saat ini dan kondisi kelebihan pasokan mungkin tidak mendukung kenaikan harga yang berkelanjutan," tutupnya.

Emiten baja masih tertekan

Sayangnya hal sebaliknya terjadi pada sektor logam. Miftahul Khaer berpandangan bahwa kinerja emiten baja domestik di semester II 2024 masih akan tertekan. Sebabnya, masih akan dipengaruhi oleh  persaingan industri yang ketat, mengingat kondisi oversupply pada pasar domestik yang masih cukup besar.

Tercermin dari kinerja PT Steel Pipe Industry of Indonesia Tbk (ISSP), masih mencatatkan penurunan pendapatan hingga semester I 2024. ISSP membukukan pendapatan Rp 2,79 triliun, turun 9,7% jika dibandingkan pendapatan periode sama tahun sebelumnya yang senilai Rp 3,09 triliun.

"Kinerja ISSP pada periode tersebut terlihat dipengaruhi oleh penurunan volume penjualan di kuartal I yang terkait dengan penurunan harga baja dunia," ujarnya kepada Kontan.co.id, Jumat (18/10).

Lalu, PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) juga mencatatakan pelemahan pendapatan pada periode yang sama. Hal itu disebabkan oleh kondisi pasar global yang masih volatile.

Meski begitu, pembangunan IKN yang terus berlanjut diharapkan dapat berkontribusi pada penyerapan baja dan logam domestik dengan harapan normalisasi permintaan kepadanya. Selain itu stimulus ekonomi yang baru baru digelontorkan oleh pemerintah China dipandang dapat memberikan efek positif pada industri baja domestik.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Putri Werdiningsih