Mengkritisi kebiasaan marah Presiden SBY



JAKARTA. Sepekan lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) marah besar. Ia merasa pribadinya diserang oleh mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq karena bersaksi bahwa Bunda Putri memiliki kedekatan dengan kalangan Istana termasuk sang Presiden.

Saking marahnya, usai lawatan dari Brunei Darussalam, mimik dan wajah SBY saat memberikan pernyataan pers di Lanud Halim Perdana Kusuma, begitu tegang dan kaku. Sejatinya, bukan kali ini saja SBY marah besar bila masalah pribadi dan keluarganya diserang. Bahkan, jika ketenangannya terganggu, SBY selalu cepat memberikan respons.

Ambil contoh, pada Senin 16 September 2013 lalu, para demonstran melakukan orasi di depan Istana. Karena suara yang keluar dari mikrofonnya cukup keras. SBY pun merasa terganggu. Kepada para pimpinan DPR yang waktu itu rapat konsultasi dengan Presiden di kantornya mengatakan, perlu ada aturan agar demonstran tidak sembarangan menggunakan mikrofon.


"Kalau ada unjuk rasa dan loudspeaker-nya besar sekali. Kalau ada tamu negara, ada even yang penting, pasti terganggu. Di luar negeri, unjuk rasa dengan megaphone. Itu di negara mana pun," tutur SBY kala itu. Masih dalam kasus demonstran, SBY juga marah besar ketika mereka membawa kerbau sebagai simbol sang kepala negara yang dinilai lamban dalam merespons berbagai isu di dalam negeri.

Reaksi SBY terhadap demonstran

SBY pun bereaksi. Ia meminta pihak kepolisian menindak para demonstran yang membawa binatang saat melakukan aksi demonstrasi. Demikian juga ketika putra bungsunya, Edhie Baskoro alias Ibas mengundurkan diri sebagai Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akibat acap kali bolos rapat di DPR, meski menyempatkan diri absen di Gedung DPR.

SBY waktu itu memberikan keterangan kepada pers secara 'doorstop' mendadak. Di kalangan wartawan istana, wawancara secara doorstop, lazimnya sudah disiapkan oleh protokoler.

Dalam aturan protokoler, biasanya Presiden dan Wakil Presiden tidak bisa melakukan wawancara secara doorstop. Namun, ketika itu, SBY bisa di doorstop para awak media di halaman Kantor Presiden.

Dalam pengantarnya, SBY mengatakan, bahwa ia mendengar dari Juru Bicara Presiden Julian Aldrin Pasha bahwa awak media ingin mendengar tanggapannya terkait pengunduran diri Ibas.

Pada waktu itu, SBY memuji sikap kesatria anaknya yang mengundurkan diri karena sibuk mengurus partai.

Selesai? Belum. Pada Rabu malam 25 Mei 2011, SBY juga marah besar dalam pertemuan para petinggi Partai Demokrat di Puri Cikeas.

Dalam pertemuan itu, SBY sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat dikabarkan naik pitam alias marah kepada seluruh kadernya. Ketika itu, Ketua DPP Partai Demokrat Kastorius Sinaga mengungkapkan, kemarahan SBY muncul lantaran bawahannya kurang menjaga etika dan aturan organisasi sejak kasus Nazaruddin muncul.

Dia mengatakan, kasus Nazaruddin tersebut merugikan citra Partai Demokrat. "SBY juga menyebut peristiwa Nazaruddin sebagai musibah politik Demokrat," jelas Kastorius. SBY merasa kader Demokrat kurang waspada. "Sebenarnya persoalan ini sudah merugikan kredibilitas SBY, beliau meminta Demokrat kompak solid," katanya.

Masih banyak catatan KONTAN kebiasaan marah sang Presiden dalam menangani berbagai masalah, yang dinilai bisa mengganggu citra pribadinya atau partai politiknya.

Mengapa SBY tak marah dalam kasus TKI?

Lalu bagaimana reaksi Presiden terhadap masalah-masalah publik. Mari kita lihat sudah banyak Warga Negara Indonesia (WNI) yang mengalami kekerasan dan bahkan dihukum mati dan ditembak mati di luar negeri. Mirisnya, sejauh ini, publik belum melihat SBY marah besar seperti saat masalah pribadinya diserang atau diganggu.

Ambil contoh penembakan terhadap empat orang WNI di Malaysia. Sudah berlangsung lebih dari dua hari, tetapi sang Presiden tidak memberi respons sama sekali. Juru Bicara Presiden Julian yang dihubungi KONTAN juga tidak merespons ketika ditanya soal reaksi SBY terkait penembakan TKI di Malaysia ini. Contoh yang paling terakhir lagi, adalah salah seorang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) terancam hukuman mati di Malaysia bernama Wilfrida.

Sejumlah tokoh dalam negeri berusaha membela sang TKI, termasuk Prabowo Subianto, Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra.

Namun, hingga kini reaksi dari negara sebagai institusi resmi yang seharusnya melindungi warganya tak terdengar.

Yang sering terjadi, Presiden SBY baru bereaksi ketika publik dan media massa seolah harus i memaksa Presiden untuk bereaksi menanggapi masalah publik. Contoh yang paling konkret adalah ketika terjadi perseteruan antara Kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait masalah dugaan korupsi Simulator SIM.

SBY waktu itu hanya memilih diam saja. Sampai sejumlah demonstran menyindir SBY dengan membawa spanduk yang bertuliskan: ke mana Presiden kita?

Barulah, ketika demonstran turun, SBY juga turun tangan memberikan reaksinya terhadap masalah itu. Sebab, spanduk demonstran tersebut seolah menyerang pribadi sang kepala negara. Jika demikian, wajar saja bila muncul pertanyaan: Apakah SBY lebih peduli kepada citra pribadi, partai, dan keluarga dibandingkan masalah rakyat yang justru memilihnya menjadi Presiden RI selama dua periode?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dikky Setiawan