Selama ini, tanaman Indigofera yang biasa tumbuh di tanah berpasir dan lahan kritis tidak dimanfaatkan. Padahal, jika bisa mengolahnya, tanaman ini bisa bernilai jual tinggi. Misalnya, tanaman yang memiliki daun berwarna hijau tua dan berbentuk oval ini bisa diolah menjadi pewarna kain batik dan kain tekstil lainnya. Shinta Pertiwi, mahasiswi Strata 2 (S-2) Jurusan Teknik Kimia Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, bersama dua rekannya berhasil mengolah daun Indigofera menjadi zat pewarna kain tekstil khusus berwarna biru. "Kami sudah memperkenalkannya sejak tahun lalu. Dan tahun ini akan mulai kami komersialkan," kata Shinta.Menurut dia, kendati saat ini belum dijual secara komersial, peminat zat pewarna olahannya cukup banyak. Tidak hanya pembeli lokal, peminatnya juga ada yang dari luar negeri. Di antaranya Jepang dan Korea. "Saat ini pembeli dari Jepang minta antara 200 kilogram (kg) sampai 300 kg," ujar perempuan 26 tahun ini.Sayangnya, lanjut Shinta, mereka baru bisa memproduksi maksimal 100 kg per bulan. Penyebabnya, keterbatasan sumber daya. Dengan demikian, sampai saat ini Shinta belum mampu memenuhi semua permintaan yang datang. Termasuk, permintaan pembeli dari Jepang dan Korea.Shinta dan teman-temannya menjual pewarna yang diberi nama Gama Indigo Natural Dye tersebut dengan harga Rp 700.000 per kg. Dus, dengan harga jual sebesar ini, dalam sebulan tiga sekawan itu meraup omzet Rp 70 juta.Melihat besarnya potensi pendapatan dan pesanan, di akhir tahun ini, Shinta berencana meningkatkan produksinya minimal dua kali lipat dari kapasitas saat ini. "Kami sudah dapat pabrik yang mau memproduksinya. Minimal nanti produksinya bisa bertambah menjadi 200 kg," katanya. Pabrik itu sendiri memiliki kapasitas produksi hingga 6,5 ton per tahun. Mengenai pasokan bahan baku tanaman Indigofera, Shinta sudah memiliki pemasok langganan, yang memiliki area penanaman seluas 9 hektare. Terdiri atas tiga hektare di Bantul, Yogyakarta, dan enam hektare di Brebes. "Bisnis zat pewarna alami ini juga bisa mendatangkan peluang usaha baru bagi petani yang mau menanam pohon Indigofera di lahan tidak terpakai," imbuhnya.Untuk membuat 1 kg serbuk zat pewarna Gama Indigo dibutuhkan sekitar 250 kg daun Indogofera. Otomatis, jika ingin memproduksi secara besar-besaran, dibutuhkan banyak pasokan daun Indigofera. Kendati butuh pasokan bahan baku yang banyak, hasil yang didapat dari zat pewarna ini memuaskan. Sebanyak 25 gram serbuk Gama Indigo bisa digunakan mewarnai dua lembar kain batik berukuran standar 3x1,5 meter.Delapan kali prosesShinta tidak menampik, banyaknya pasokan bahan baku yang dibutuhkan turut mempengaruhi mahalnya harga jual zat pewarna buatannya. Ini jika dibandingkan dengan zat pewarna kimia yang banyak beredar di pasaran seharga Rp 60.000 per kg. Tapi, dia menyakini bahwa dari sisi kualitas, warna alami Gama Indigo tergolong lebih lembut dan tahan lama.Yang tak kalah penting, zat pewarna ini lebih aman digunakan dan tidak menghasilkan limbah ketika melakukan proses pewarnaan pada kain. Karena terbuat dari bahan alami. Berbeda dengan zat pewarna kimia yang dapat mencemari lingkungan dan menimbulkan berbagai penyakit kulit, seperti kanker kulit. "Karena menggunakan zat pewarna kimia, produk batik kami juga sulit diekspor ke Eropa," kata Shinta.Asal tahu saja, ada sejumlah tahapan yang dilakukan Shinta dan rekan-rekannya dalam memproduksi zat pewarna Gama Indigo. Pertama, mereka memilih daun Indigofera berumur 5-6 bulan atau yang sudah dianggap tua. Salah satu ciri yang menandakan daun Indigofera sudah tua biasanya berwarna hijau kebiruan dengan biji berwarna cokelat kehitaman. Setelah itu, daun direndam di dalam bak selama beberapa waktu hingga daun menjadi layu. Selanjutnya, ada delapan tahapan proses yang memakan waktu sekitar 18 jam. Di antaranya, proses hidrolisis, yaitu penguraian zat warna glukosa indikan sampai proses oksidasi selama sekitar 12 jam di dalam bak. Hingga akhirnya, semua proses tersebut menghasilkan endapan pewarna biru dari Indigofera. Agar bisa menjadi serbuk, sebelumnya endapan itu harus melalui proses pemanasan hingga kering. Baru setelah itu melakukan proses fermentasi hingga menjadi serbuk zat pewarna.Shinta mengaku baru belakangan ini memproduksi zat pewarna indigo dalam bentuk serbuk. Sebelumnya, dia memproduksi dalam bentuk pasta. Namun, karena bentuk pasta tidak bisa bertahan lama akibat munculnya jamur, dia memilih bentuk serbuk. Shinta berharap, produknya bisa lebih diterima pasar melalui inovasi tersebut. "Saya berharap, dengan hadirnya zat pewarna alami, produk tekstil kita lebih diterima di mancanegara. Sehingga, potensi ekspor tekstil kembali terangkat," kata Shinta, yang kini menjabat Manajer Produksi dan Pemasaran Gama Indigo. Berdasarkan risetnya, saat ini kebutuhan zat pewarna di dalam negeri sekitar 10.000 ton per tahun.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Mengolah daun indigofera menjadi zat pewarna alami
Selama ini, tanaman Indigofera yang biasa tumbuh di tanah berpasir dan lahan kritis tidak dimanfaatkan. Padahal, jika bisa mengolahnya, tanaman ini bisa bernilai jual tinggi. Misalnya, tanaman yang memiliki daun berwarna hijau tua dan berbentuk oval ini bisa diolah menjadi pewarna kain batik dan kain tekstil lainnya. Shinta Pertiwi, mahasiswi Strata 2 (S-2) Jurusan Teknik Kimia Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, bersama dua rekannya berhasil mengolah daun Indigofera menjadi zat pewarna kain tekstil khusus berwarna biru. "Kami sudah memperkenalkannya sejak tahun lalu. Dan tahun ini akan mulai kami komersialkan," kata Shinta.Menurut dia, kendati saat ini belum dijual secara komersial, peminat zat pewarna olahannya cukup banyak. Tidak hanya pembeli lokal, peminatnya juga ada yang dari luar negeri. Di antaranya Jepang dan Korea. "Saat ini pembeli dari Jepang minta antara 200 kilogram (kg) sampai 300 kg," ujar perempuan 26 tahun ini.Sayangnya, lanjut Shinta, mereka baru bisa memproduksi maksimal 100 kg per bulan. Penyebabnya, keterbatasan sumber daya. Dengan demikian, sampai saat ini Shinta belum mampu memenuhi semua permintaan yang datang. Termasuk, permintaan pembeli dari Jepang dan Korea.Shinta dan teman-temannya menjual pewarna yang diberi nama Gama Indigo Natural Dye tersebut dengan harga Rp 700.000 per kg. Dus, dengan harga jual sebesar ini, dalam sebulan tiga sekawan itu meraup omzet Rp 70 juta.Melihat besarnya potensi pendapatan dan pesanan, di akhir tahun ini, Shinta berencana meningkatkan produksinya minimal dua kali lipat dari kapasitas saat ini. "Kami sudah dapat pabrik yang mau memproduksinya. Minimal nanti produksinya bisa bertambah menjadi 200 kg," katanya. Pabrik itu sendiri memiliki kapasitas produksi hingga 6,5 ton per tahun. Mengenai pasokan bahan baku tanaman Indigofera, Shinta sudah memiliki pemasok langganan, yang memiliki area penanaman seluas 9 hektare. Terdiri atas tiga hektare di Bantul, Yogyakarta, dan enam hektare di Brebes. "Bisnis zat pewarna alami ini juga bisa mendatangkan peluang usaha baru bagi petani yang mau menanam pohon Indigofera di lahan tidak terpakai," imbuhnya.Untuk membuat 1 kg serbuk zat pewarna Gama Indigo dibutuhkan sekitar 250 kg daun Indogofera. Otomatis, jika ingin memproduksi secara besar-besaran, dibutuhkan banyak pasokan daun Indigofera. Kendati butuh pasokan bahan baku yang banyak, hasil yang didapat dari zat pewarna ini memuaskan. Sebanyak 25 gram serbuk Gama Indigo bisa digunakan mewarnai dua lembar kain batik berukuran standar 3x1,5 meter.Delapan kali prosesShinta tidak menampik, banyaknya pasokan bahan baku yang dibutuhkan turut mempengaruhi mahalnya harga jual zat pewarna buatannya. Ini jika dibandingkan dengan zat pewarna kimia yang banyak beredar di pasaran seharga Rp 60.000 per kg. Tapi, dia menyakini bahwa dari sisi kualitas, warna alami Gama Indigo tergolong lebih lembut dan tahan lama.Yang tak kalah penting, zat pewarna ini lebih aman digunakan dan tidak menghasilkan limbah ketika melakukan proses pewarnaan pada kain. Karena terbuat dari bahan alami. Berbeda dengan zat pewarna kimia yang dapat mencemari lingkungan dan menimbulkan berbagai penyakit kulit, seperti kanker kulit. "Karena menggunakan zat pewarna kimia, produk batik kami juga sulit diekspor ke Eropa," kata Shinta.Asal tahu saja, ada sejumlah tahapan yang dilakukan Shinta dan rekan-rekannya dalam memproduksi zat pewarna Gama Indigo. Pertama, mereka memilih daun Indigofera berumur 5-6 bulan atau yang sudah dianggap tua. Salah satu ciri yang menandakan daun Indigofera sudah tua biasanya berwarna hijau kebiruan dengan biji berwarna cokelat kehitaman. Setelah itu, daun direndam di dalam bak selama beberapa waktu hingga daun menjadi layu. Selanjutnya, ada delapan tahapan proses yang memakan waktu sekitar 18 jam. Di antaranya, proses hidrolisis, yaitu penguraian zat warna glukosa indikan sampai proses oksidasi selama sekitar 12 jam di dalam bak. Hingga akhirnya, semua proses tersebut menghasilkan endapan pewarna biru dari Indigofera. Agar bisa menjadi serbuk, sebelumnya endapan itu harus melalui proses pemanasan hingga kering. Baru setelah itu melakukan proses fermentasi hingga menjadi serbuk zat pewarna.Shinta mengaku baru belakangan ini memproduksi zat pewarna indigo dalam bentuk serbuk. Sebelumnya, dia memproduksi dalam bentuk pasta. Namun, karena bentuk pasta tidak bisa bertahan lama akibat munculnya jamur, dia memilih bentuk serbuk. Shinta berharap, produknya bisa lebih diterima pasar melalui inovasi tersebut. "Saya berharap, dengan hadirnya zat pewarna alami, produk tekstil kita lebih diterima di mancanegara. Sehingga, potensi ekspor tekstil kembali terangkat," kata Shinta, yang kini menjabat Manajer Produksi dan Pemasaran Gama Indigo. Berdasarkan risetnya, saat ini kebutuhan zat pewarna di dalam negeri sekitar 10.000 ton per tahun.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News