KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Start up yang fokus mengolah limbah industri ini bernama Mycotech. Ronaldiaz, salah satu
Co-founder Mycotech menceritakan, ide mengolah limbah ini muncul saat ia melihat proses pembuatan tempe. Karena itu ia berkeinginan menciptakan bahan material baru yang ramah lingkungan. "Selama ini industri banyak menggunakan
unsustainable material yang sifatnya tidak berkelanjutan. Kami berpikir untuk menciptakan material yang bersifat berkelanjutan," ujarnya kepada KONTAN. Usaha ini, kata dia, antara lain terinspirasi oleh proses pembuatan tempe hasil fermentasi kedelai. Dia pun terpikir untuk mengolah limbah agrikultur dengan metode yang sama.
Tahun 2016, Mycotech memulai proyek prototipe bekerja sama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Mereka meracik material baru berbahan dasar limbah. Tak puas hanya dengan membuat prototipe, Mycotech telah berhasil mengembangkan skala produksinya menjadi
semi-mass production. Kini limbah-limbah agrikultur tersebut sudah berhasil diubah menjadi 1.000
square feet kulit dan 2.000
square feet papan setiap bulannya. Untuk membuat produknya, Mycotech menjalin kerja sama dengan petani jamur di daerah Bandung. Pihak Mycotech memberikan bibit dan setelah satu bulan fase inkubasi, jamur tersebut dipanen dan dibeli dari para petani. Jamur yang sudah jadi tersebut kemudian masuk ke proses berikutnya, yaitu pembuatan material yang memerlukan waktu 7–14 hari. Proses ini menggabungkan jamur dengan limbah agrikultur ke dalam wadah cetakan, jamur nantinya akan mengikuti bentuk cetakan. Kalau limbah agrikultur, pihaknya pernah mencoba pakai 15 jenis limbah, mulai dari tebu, kelapa sawit, serbuk kayu, gabah, hingga sabut kelapa. Limbah ini bisa diperoleh dengan cuma-cuma, bahkan ada perusahaan yang membayar Mycotech untuk mengolah limbah ini. Papan yang telah jadi tersebut dijual di pasaran dengan harga berkisar Rp 300.000 per meter persegi (m²). Diaz, sapaan akrab Ronaldiaz menuturkan, harga ini menjadi cukup mahal karena pihaknya yang masih memproduksi secara kecil. Bila produksi dilakukan secara massal dan besar, harganya tentu akan ikut semakin menjadi murah.
Saat ini Mycotech mengusung model
business to business, artinya Mycotech membuat produk berkolaborasi dengan pelaku bisnis lainnya seperti pelaku
fashion dan furnitur. Kurang lebih 15
brand akan berkolaborasi dengan Mycotech dan membuat 30–40 jenis produk berbahan limbah agrikultur dan miselium. Pembelian produk ini bisa melalui laman Kickstarter yang tertera di Instagram Mycotech. "Kami menggunakan jasa
crowdfunding untuk proses produksi, bagi yang tertarik bisa buka Instagram Mycotech. Rencananya akan kami mulai pada 8 Maret nanti, beberapa produknya ada jam tangan, sepatu, tas, dompet, dan sebagainya," ujar Diaz. Sepanjang tahun 2018 kemarin, Mycotech berhasil mengumpulkan pendapatan hingga Rp 9 miliar. Catatan tersebut naik hampir 50% dibanding kan dengan 2017. Kini fokus yang ingin dicapai Mycotech adalah memaksimalkan bisnis yang sudah ada. Sebab, model bisnis ini bisa menaikkan
brand value dan
brand awareness. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Markus Sumartomjon