Sebelumnya: Menguak masalah gas industri yang masih mahal (1) Mengerem Laju Harga Gas
Banyak janji yang sudah diucapkan oleh pemerintah. Sebagian bisa ditepati, namun tidak sedikit yang masih diingkari. Satu niat baik pemerintah yang belum bisa ditunaikan secara tuntas hingga detik ini adalah penurunan harga gas industri. Janji tersebut sudah berumur lebih dari setahun. Pertama kali janji dicetuskan dalam paket kebijakan ekonomi jilid III yang dirilis pada 7 Oktober 2015. Lantas, paket kebijakan ekonomi tersebut diturunkan dalam bentuk Peraturan Presiden Nomor 40 tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi.
Di dalam beleid tersebut, presiden mengatur agar harga gas bagi tujuh sektor industri dipangkas menjadi US$ 6 per MMBTU (Million British Thermal Unit). Penerapannya di industri pupuk, petrokimia, oleochemical, industri baja, industri keramik, industri kaca, dan industri sarung tangan karet. Namun, yang bisa dipenuhi cuma untuk industri pupuk, petrokimia, dan baja. Itu pun kebanyakan hanya dinikmati oleh perusahaan-perusahaan pelat merah. Perusahaan swasta nasional yang ikut menikmati harga gas lebih murah adalah PT Kaltim Parna Industri. Harga gas dalam komponen biaya produksi ketiga sektor tadi memang dominan. Lantaran digunakan sebagai bahan baku, kontribusinya ke biaya produksi bisa di atas 70%. Tapi jika digunakan sebagai energi, seperti yang terjadi di industri keramik dan kaca, kontribusi harga gas rata-rata 20% ke biaya produksi. Direktur Industri Kimia Hulu Kementerian Perindustrian, Muhammad Khayam bilang, pihaknya mengusulkan tambahan dua sektor lagi yang akan mendapat keringanan harga gas, yakni industri keramik dan kaca. Jika sudah berhasil dieksekusi, pemerintah akan beranjak ke dua sektor berikutnya. Namun, sejauh ini belum jelas juga bagaimana kelanjutan cerita penurunan harga gas tersebut. “Sudah ada perpresnya, permennya pun sudah, seharusnya kan bisa terlaksana. Cuma kita diminta untuk sabar, karena dari forum komunikasi industri pengguna gas ini lapor dan bikin surat ke ombudsman,” kata Khayam. Sikap pemerintah yang seperti tidak serius menjalankan keputusannya sendiri, juga tampak dari perjalanan revisi Peraturan Menteri Nomor 19 tahun 2009. Ada dua poin penting dalam revisi beleid tersebut. Pertama, pemerintah akan membagi wilayah jaringan distribusi (WJD) dan menetapkan badan usaha yang memegang WJD. Jika di suatu WJD telah ada badan usaha eksisting, maka institusi tersebut akan masuk dalam jaringan pipa gas badan usaha pemilik WJD. “Pemegang WJD wajib menunjuk badan usaha eksisting sebagai pengelola sub wilayah niaga tertentu untuk melakukan kegiatan usaha niaga gas bumi pada sebagian wilayah jaringan distribusinya,” kata Dadan Kusdiana, Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian ESDM. Dadan mengatakan, badan pemegang izin usaha niaga migas yang beroperasi sebelum ditetapkan BU-WJD tetap dapat melaksanakan usahanya hingga kontraknya berakhir. Fanshurullah Asa, Kepala Badan Pengatur Hulu Minyak dan Gas (BPH Migas) menyebut, badan usaha yang jaringannya paling luas dan produksinya paling tinggi akan menjadi pusat jalur distribusi. Dus, bisa disimpulkan, PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk-lah yang bakal diuntungkan dari ketentuan ini. Sebab, sebagai pionir penguasaan jaringan pipa gas PGN paling besar di di Indonesia. Saat ini, PGN telah mengoperasikan 7450 km, setara dengan 80% pipa gas bumi hilir nasional. Pipa sepanjang ini sudah termasuk tambahan sepanjang lebih dari 175 km yang ditorehkan pada kuartal III-2017. Ketentuan ini akan membuat praktik pembangunan jaringan pipa gas yang tumpang-tindih di wilayah tertentu bisa dibatasi. Fahmy Radhi, pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) menyebut, persoalan ini juga bisa diatasi lewat merger antara PGN dan Pertagas. Dengan begitu, keduanya bisa berbagi peran membangun jaringan pipa gas. Tidak lagi hanya jor-joran membangun jaringan di Jawa, sehingga acapkali terjadi persilangan jaringan pipa gas. Pangkas margin Poin revisi kedua yang tidak kalah pentingnya adalah soal pipa dedicated hilir. Ini adalah pipa gas bumi yang dibangun dan dimanfaatkan oleh badan usaha untuk mengangkut gas bumi milik sendiri. Nantinya, tidak akan ada lagi izin baru untuk pembangunan pipa dedicated hilir. Langkah ini dilakukan agar harga gas yang dialirkan lewat pipa itu lebih transparan dan murah. Selain itu, pemerintah menetapkan batas margin sebesar 7% bagi penjual gas. Lalu angka pengembalian investasi (internal rate of return/IRR) juga dibatasi sebesar 11% bagi badan usaha pengantar gas untuk pipa dedicated hilir. “Dengan permen hilir migas ini paling enggak bisa mengendalikan harga gas. Mungkin tetap mahal tapi enggak semahal yang sekarnag,” tukas Khayam. Namun, lagi-lagi nasib revisi permen ini juga masih digantung. Bahkan, draftnya sempat mandek di Kementerian Koordinator Bidang Maritim hampir dua bulan, sebelum diambil-alih kembali oleh Menteri ESDM Ignasius Jonan. KONTAN menanyakan hal ini ke pihak Kementerian ESDM. Namun hingga berita ini naik cetak belum mendapat respon. Beragam dugaan mencuat soal alasan susahnya harga gas diturunkan. Seorang pelaku di industri gas yang tidak ingin disebutkan namanya bilang, harga gas yang tidak kunjung turun tak lepas dari keengganan pemerintah kehilangan pendapatan negara. Jika harga gas diturunkan atau margin pemilik pipa dibatasi, otomatis penerimaan negara dari sektor ini juga turun. “Penerimaan negara ini juga menjadi KPI mereka. Padahal, kalau sekarang hilang Rp 30 triliun, nanti akan diganti lebih banyak kalau industri pengguna gas juga lebih berkembang,” jelas sang sumber. Terkait soal penerimaan negara, Khayam rupanya punya cerita menarik. Dulu, ia pernah berkarier di Badan Pelaksana (BP) Migas, sekarang bersulih nama menjadi Satuan Kerja Khusus (SKK) Migas. Pada tahun 2003, seorang pejabat di BP Migas bercerita soal lapangan gas di Natuna Barat yang dioperatori oleh Conocophillips. Gas tersebut lalu dialirkan melalui pipa ke Malaysia dan dibeli oleh Petronas. Pada tahun 2003, harga beli Petronas saat itu US$ 2,3 MMBTU. Namun, Petronas menjual gas ke industri dalam negeri Malaysia hanya US$ 1,5 MMBTU. Menelan rugi di muka, namun pemerintah Malaysia meraih pendapatan pajak berkali-kali lipat lantaran industri dalam negerinya maju pesat. Dugaan berikutnya soal lambatnya keputusan pemerintah memangkas harga gas datang dari Fahmy. Ia pernah menjadi anggota tim reformasi tata kelola sektor migas yang dibentuk pemerintah pada tahun 2014. Tim yang lebih dikenal dengan nama Satgas Anti Mafia Migas ini bertujuan untuk memberantas mafia migas. Saat masih di satgas, mereka menemukan praktik pemburuan rente di sektor gas. Banyak trader yang tidak memiliki infrastruktur pipa bisa mendapat jatah dari lelang yang dilakukan SKK Migas. Setahun lalu, trader non-pipa ini masih ada sekitar 72 perusahaan. “Pemburuan rente tumbuh karena lemahnya tata-kelola dan kedekatan dengan penguasa,” tandasnya. Dus, ia mendorong revisi UU Migas Nomor 22 tahun 2001 segera dirampungkan. Nah, revisi UU Migas mesti memperketat syarat pihak yang bisa terlibat dalam sektor gas. Dengan begitu, peran para pemburu rente bisa disapu. Jika tidak diakomodasi di UU Migas, sulit bagi pemerintah untuk menekan harga jual gas di Indonesia. “Kalau sampai akhir tahun ini tidak selesai di DPR, Presiden bisa berinisiatif membuat Perpu,” sarannya. Trader terjepit Namun, Anggota Komite Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas Jugi Prajogio menyebut, trader non-pipa saat ini sedang dalam posisi terjepit. Pasalnya, harga gas di pasar sudah terbentuk. Pengguna gas juga sudah pintar dan tahu berapa harga wajar gas yang ditawarkan padanya. Sudah sulit bagi trader bertingkat ini untuk mencari untung besar. Di Jawa Timur misalnya, harga pasaran di sekitar US$ 8 per MMBTU dan di Jawa Barat harganya sekitar US$ 9 per MMBTU. “Mereka memang menyumbang ke kenaikan harga gas. Tapi keuntungannya paling sen-senan dollar. Nggak ada lagi yang bisa dapet untung di atas US$ 1 per MMBTU,” ujar Jugi. Dus, penghapusan peran para trader bertingkat ini tidak lagi urgen di matanya. BPH Migas lebih memilih strategi merasionalisasi toll fee demi memangkas harga gas. Penghujung Agustus tahun ini ada satu ruas pipa yang toll fee-nya direvisi BPH Migas, yakni di ruas transmisi Arun hingga Belawan. Toll fee yang tadinya US$ 2,53 per mscf (seribu standar kaki kubik) diturunkan menjadi US$ 1,546 per mscf. “Arun-Belawan ini turun drastis, mohon maaf, karena capex yang dulu terlalu berlebihan. Sehingga waktu di-review ulang harganya langsung turun,” tandas Jugi. Berikutnya, revisi toll fee akan dilakukan terhadap ruas pipa PT Majuko Utama di Cilegon. Perusahaan ini melayani 10 konsumen industri. Penetapan toll fee yang baru, tinggal menunggu ketok palu di sidang komite BPH Migas. Sebelum tahun 2017 berakhir, BPH Migas juga akan menyelesaikan review toll fee pipa transmisi South Sumatera—West Java 1 (SSWJ 1) dan SSWJ 2 milik PGN. Ia menyebut, volume gas dari Conocophillips cukup bagus dan penggunanya juga banyak. Sehingga revisi harga akan terasa dampaknya ke industri pengguna gas. Berapa toll fee Majuko, SSWJ 1, dan SSWJ 2 yang akan ditetapkan BPH Migas, Jugi belum mau buka suara. “Satu lagi yang enggak keburu tahun ini dan akan diputuskan tahun depan adalah revisi ruas pipa Pertagas yang ada di Jawa Barat. Tahun depan harapan saya 5–10 ruas pipa yang bisa di-review toll fee-nya,” imbuh Jugi. Hatim Ilwan, Manajer Humas Pertagas menyebut, pihaknya mendukung apapun keputusan pemerintah. Baik terkait revisi toll fee jaringan pipa gas maupun revisi Permen 19/2009 menyangkut pembatasan margin. Pembatasan margin memang bakal berpengaruh ke pendapatan perusahaan. Namun, tujuan pemerintah untuk menciptakan tata niaga gas yang lebih baik mesti didukung. Lagipula, perubahan ketentuan tersebut sudah melalui pembicaraan dengan pemangku kepentingan, termasuk Pertagas. Aturan ini akan membuat harga gas lebih kompetitif dan transparan. “Kalau banyak industri tertarik menggunakan gas karena dari sisi harga bisa lebih murah dan ramah lingkungan, otomatis akan membuat volume naik,” tandasnya. Meski begitu, upaya pemangkasan harga gas sebaiknya tidak berhenti hanya sampai di situ. Sebab, komponen harga juga ditentukan oleh harga gas di hulu dan keuntungan di niaga. Review secara menyeluruh terhadap ketiga sisi ini bisa memberikan gambaran yang utuh soal harga gas. Mahal tidaknya harga gas juga tidak bisa dibandingkan satu daerah dengan daerah lain. Sebab akan sangat tergantung dengan jarak antara pengguna gas dengan sumber gas.
Daerah yang dekat dengan sumber gas harganya akan lebih murah. Tapi jika jaraknya terlalu jauh dan sukar dijangkau dengan pipa, harganya bakal lebih mahal. Sebab, gas mesti dikompres dulu menjadi LNG lalu dikapalkan. Begitu sampai di daerah tujuan, di-regasifikasi dan baru disalurkan ke pengguna. Setiap rantai proses ini akan berkontribusi terhadap harga gas. Benahi seluruhnya, ya!
* Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Laporan Utama Tabloid KONTAN edisi 27 November - 3 Desember 2017. Artikel selengkapnya berikut data dan infografis selengkapnya silakan klik link berikut: "Mengerem Laju Harga Gas" Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Mesti Sinaga