Menguatkan manajemen destinasi wisata



Terdapat beribu destinasi wisata di Indonesia, mulai dari Sabang sampai Merauke. Keberadaan destinasi tersebut secara berangsur-angsur memberikan efek sosial ekonomi kepada Indonesia. Kontribusi sektor pariwisata terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional mulai menggeliat signifikan sejak beberapa tahun terakhir.

Begitu juga kontribusinya pada perolehan devisa nasional yang terus mengejar perolehan devisa minyak sawit atau crude palm oil (CPO). Tak lupa pula, kontribusi penyerapan tenaga kerja sektor pariwisata nasional juga tak bisa dipandang sebelah mata. Daya serap tenaga kerja sektor pariwisata membentang di berbagai sektor lain yang ikut menikmati geliat ekonomi kepariwisataan.

Dengan kata lain, sektor pariwisata adalah salah satu sektor masa depan ekonomi nasional. Namun, pemerintah perlu memberikan keberpihakan lebih kepada sektor ini, baik secara fiskal maupun secara regulasi.


Destinasi yang ada tak bisa dibiarkan begitu saja, atau diserahkan begitu saja kepada hukum permintaan dan penawaran, tanpa ada kejelasan soal keberlanjutan sosial ekonomi dan lingkungan, serta soal redistribusi kue ekonomi pariwisata untuk masyarakat banyak. Untuk itu, destinasi wisata harus dikelola secara profesional dengan "body of organization" yang jelas. Pengelola ini dalam kacamata kepariwisataan disebut dengan istilah Destination Managament Organisation (DMO).

Menurut UNWTO (2008), DMO memiliki fungsi untuk memimpin dan mengkoordinasikan elemen destinasi (atraksi, amenitas, aksesibilitas, Sumber Daya Manusia (SDM), citra/image, harga), pemasaran, maupun lingkungan yang berkelanjutan (sustainable). Dalam hal ini, DMO menjadi sebuah perspektif yang hendak memberikan ruang partisipasi bagi semua pihak untuk terlibat dalam mengelola sebuah destinasi pariwisata.

DMO tidak hanya berperan dalam pengembangan produk, pemasaran dan promosi, serta perencanaan dan penelitian saja, tapi memainkan peran sebagai pembentukan tim dan kemitraan, jalinan komunikasi interaktif dengan masyarakat (community relation), serta koordinasi dan kepemimpinan. (Destination Consultancy Group, 2010).

Dalam publikasi pembentukan dan pengembangan DMO yang dikeluarkan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kembudpar) (sekarang Kementerian Pariwisata), DMO didefinisikan sebagai: Tata kelola destinasi pariwisata yang terstruktur dan sinergis yang mencakup fungsi koordinasi, perencanaan, implementasi, dan pengendalian organisasi destinasi secara inovatif dan sistemik melalui pemanfaatan jejaring, informasi dan teknologi, yang terpimpin secara terpadu dengan peran serta masyarakat, pelaku/asosiasi, industri, akademisi dan pemerintah yang memiliki tujuan, proses dan kepentingan bersama dalam rangka meningkatkan kualitas pengelolaan, volume kunjungan wisata, lama tinggal dan besaran pengeluaran wisatawan serta manfaat bagi masyarakat lokal.

Untuk mencapai tahapan tertinggi dalam manajemen destinasi ini, Alastair Morrison dalam Konferensi Nasional DMO di Jakarta (Agustus, 2010), menjelaskan bahwa panduan DMO dimulai dari pengembangan produk, pemasaran, riset, komunikasi, community relations, pengembangan sumber daya, hingga kemudian tahapan pengelolaan (governance) dan pelaporan.

Untuk mengaplikasikan konsep-konsep pengembangan yang berkelanjutan melalui DMO, terdapat pembagian tiga skala, meliputi skala lokal, nasional, dan regional. Tak berbeda jauh dengan penjelasan dan panduan mengenai DMO yang telah lebih dulu dipaparkan oleh UNWTO, DMO versi Kembudpar pun menerapkan prinsip partisipatif, keterpaduan, kolaboratif, dan berkelanjutan.

Sementara itu, Cesar Castaneda (2010) dalam papernya The Role of DMO menjelaskan, keuntungan yang bisa digali dari DMO adalah establishing a competitive edge, ensuring tourism sustainability, spreading the benefits of tourism, improving tourism yield, dan building a strong and vibrant brand identity.

Di Indonesia sendiri DMO diarahkan untuk bisa berfungsi sebagai penggerak ekonomi lokal, pemasar lokal, koordinator industri, lembaga yang mewakili pengelola, dan membangun nilai unik (kebanggaan) komunitas lokal.

Singkatnya, DMO memang ditujukan untuk menjawab berbagai tantangan industri pariwisata ke depannya. Namun, untuk menjadikan DMO sebagai suatu paradigma dan strategi tentu tidak akan terlepas dari upaya tentang bagaimana seharusnya menjadikan industri pariwisata lebih berkelanjutan (ekonomi, sosial-budaya, dan lingkungan).

Pariwisata sebagai industri yang bersifat multidimensi dan lintas sektoral membutuhkan kerja sama dari semua pihak, mulai dari pemerintah, swasta, masyarakat, akademisi, aktivis (organisasi non-pemerintah), serta media massa untuk terlibat ke dalam sebuah kapal dengan keberlanjutan industri sebagai dermaganya.

Bagi negara berkembang seperti Indonesia, dengan kekayaan alam dan budaya yang begitu besar, konsep pengembangan pariwisata melalui DMO benar-benar diperlukan untuk menjaga keberlangsungan sektor pariwisata bagi semua pihak, baik yang terkait langsung maupun yang tidak terkait secara langsung.

Untuk itu, kendala-kendala yang dihadapi oleh pengelola atau DMO destinasi mau tak mau perlu diringankan. Masalah yang sering muncul antara lain adalah masalah penuntasan status lahan destinasi. Memang, beberapa DMO mapan dengan destinasi yang sudah terkenal sudah tak bermasalah dengan status lahan yang mereka kelola, sebut saja misalnya Borobudur, Prambanan, Tangkuban Perahu, dan banyak lagi.

Tapi, bagi destinasi wisata baru, apalagi yang berada dalam kawasan pariwisata yang dijadikan prioritas pemerintah, status lahannya rata-rata masih menjadi pekerjaan rumah yang melelahkan. Bagi DMO baru yang telah mendapatkannya, ternyata waktu yang mereka habiskan sangatlah lama, lebih dari dua tahun.

Risiko lanjutan dari ketidakpastian status hukum lahan adalah kesulitan dalam mengembangkan kawasan dan akan sangat susah untuk mendapatkan komitmen investasi dari calon investor. Karena, bagi pelaku bisnis pariwisata, status lahan menjadi salah satu faktor utama dalam berinvestasi, apalagi jika kemudian mereka berurusan dengan dunia perbankan. Untuk itu, pemerintah selayaknya memberikan kemudahan bagi DMO baru dalam memperoleh kepastian status hukum lahan yang mereka kelola.

Selain masalah status hukum lahan, DMO juga terkendala minimnya koordinasi para pemangku kepentingan pariwisata di wilayah mereka beroperasi. Urusan terkait dengan status lahan, rancangan strategis kepariwisataan sebuah wilayah, koordinasi lintas sektoral, dan sejenisnya belum dinaungi sebuah institusi khusus.

Sementara itu, Kempar lebih banyak fokus pada promosi, pemasaran, dan berjualan destinasi yang sudah layak dijual. Dalam kondisi yang demikian, kehadiran sebuah badan khusus seperti board of tourism layak untuk dipertimbangkan pemerintah bila sektor pariwisata akan dijadikan sektor andalan.♦

Dityas Nandareztyani Sekretaris Kelompok Kerja Pariwisata Nasional KEIN RI

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi