JAKARTA. Kebijakan transparansi suku bunga dasar kredit (SBDK) belum memberikan dampak positif. Bunga kredit saat ini nyaris tidak bergerak dibanding akhir Maret 2011, saat Bank Indonesia (BI) mulai memberlakukan kebijakan tersebut. Pembuat kebijakan sebelumnya membayangkan, karena harus buka-bukaan di hadapan nasabah, maka bank akan berupaya tampil cantik. Dari proses inilah bunga kredit diharapkan bisa susut dengan sendirinya. Mirza Adityaswara, Ekonom Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), menduga, SBDK belum memberikan efek sesuai harapan karena banyak bank tidak menggunakan SBDK dalam menetapkan bunga kredit. "Bank baru sebatas mengumumkan. Tapi dalam menetapkan bunga, mereka mempunyai patokan sendiri," katanya.
Bisa dibilang, ada atau tidak kebijakan SBDK, bunga kredit bank, ya, segitu-gitu saja. Ada kesan, publikasi SBDK hanya demi memenuhi ketentuan. "Bank belum menerapkan pengumuman SBDK dalam kenyataan," kata Mirza. Agar SBDK terlihat rendah tapi bunga kredit tinggi, bank biasanya menggetok di premi risiko. Misalnya SBDK konsumsi 10%, bisa saja bunga kredit si bank 14%. Selisih 4% ini sebagai premi risiko. Premi risiko merupakan salah satu komponen pembentuk bunga kredit, selain biaya dana, operasional dan margin. Dalam SBDK, bank hanya menyebutkan tiga unsur, tidak memasukkan premi risiko. Faktor inflasi Premi risiko tergantung kebijakan bank. Rumusnya: semakin tinggi profil risiko debitur, semakin mahal preminya. Inilah menyebabkan bunga kredit mikro selalu di atas 17% bahkan 20% per tahun, padahal SBDK-nya 10% - 12%. Wimboh Santoso, Direktur Direktorat dan Pengaturan Perbankan BI, mengatakan, bank sentral tengah memverifikasi laporan bank. "Setelah itu kami evaluasi ulang angka-angka tersebut. Bank kita luruskan, sehingga mempunyai pemahaman yang sama akan angka itu," kata Wimboh. Esensi kebijakan ini adalah meningkatkan efisiensi bank. Untuk mencapai tujuan itu, BI akan membandingkan struktur biaya setiap bank. Jika lebih boros ketimbang bank sejenis, BI akan meminta bank menekan biaya hingga batas wajar. Proses ini membuat bunga turun. "Jadi, efeknya jangka panjang dan bertahap," kata Wimboh. Menurutnya, bunga kredit, lebih banyak ditentukan faktor inflasi. Jika kondisi mengharuskan bunga naik, ya memang harus naik. Bukan berarti kebijakan SBDK gagal.
Muliaman D. Hadad, Deputi Gubernur BI, mengatakan, pengumuman SBDK bisa menurunkan suku bunga kredit. Efek ini akan terlihat pada 3 - 6 bulan setelah kebijakan berjalan. Dia mengklaim, kini bunga sudah lebih murah. "Cuma turunnya tidak sebanyak yang kita harapkan. Rata-rata 5 basis poin (bps)," ujarnya. Sejumlah bankir menyatakan, ke depan SBDK tetap stagnan. Bahkan, ada kecenderungan naik. Bank Tabungan Negara (BTN) misalnya, berencana menaikkan SBDK pada semester II-2011, dengan catatan suku bunga acuan (BI
rate) naik imbas tekanan inflasi. "Kalau BI
rate naik 25 bps, suku bunga juga akan naik," kata Evi Firmansyah, Wakil Direktur Utama BTN. Senada, Catherine Hadiman, Wakil Presiden Direktur CIMB Niaga, mengatakan, beberapa bulan ke depan SBDK tidak akan beranjak jauh dibandingkan saat ini. Per 13 Juni 2011, CIMB Niaga menetapkan SBDK kredit korporasi, ritel dan konsumsi masing-masing sebesar 11,25%, 11,150% dan 11,25%. Angka ini sama persis dengan data SBDK bank yang mayoritas sahamnya milik Malaysia ini pada 31 Maret 2011. n Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: