JAKARTA. Seiring menanjaknya popularitas kain batik, pamor berbagai produk kerajinan berbau batik pun terangkat naik. Setelah muncul barang kerajinan berupa topeng batik, kini mulai lahir kerajinan mebel batik berujud meja, ranjang, dan meja rias yang bermotif batik. Seperti halnya bisnis kain batik, usaha mebel batik pun memberikan untung menggiurkan. Muhamad Abduh, kini 40 tahun, sudah menikmatinya. Pria separuh baya ini mengaku ide awal membuat furnitur batik datang dari keinginannya menciptakan produk batik yang masih jarang di pasar. Dari situ, pada 2007 lalu, dia menemukan ide membatik perkakas furnitur. Abduh mengaku, saat memulai usaha ini, ia tak terlalu memusingkan soal modal. "Modal saya cuma foto furnitur batik yang saya pinjam dari para perajin di Solo. Jadi saya menawarkan foto saya kepada pembeli, setelah itu baru memproduksi kalau ada pemesan yang setor uang," ujar Abduh, tergelak. Bisa miliaran rupiah Abduh mengaku, saat ini, 90% furnitur batiknya terserap pasar lokal. "Saya masih baru dan belum melakukan pemasaran yang tepat dan besar-besaran," ungkapnya. Meski terbilang pemain anyar, soal omzet bisa dibilang lumayan besar. Saban bulan, minimal Abduh mengantongi Rp 20 juta. Di luar itu masih ada pesanan khusus. Contohnya, beberapa waktu yang lalu Abduh sempat kebanjiran order. Nilai transaksinya cukup fantastis, sampai sepuluh digit. Menurut Abduh, rata-rata konsumennya datang dari kalangan menengah ke atas. Maklum, lantaran pembuatannya cukup rumit, harga jual produk ini juga terbilang mahal. Pembelinya kebanyakan orang yang benar-benar hobi mengoleksi alias kolektor dan berduit. "Harga furnitur paling murah Rp 2 juta berupa meja kecil," beber Abduh. Banderol harga paling mahal sebesar Rp 25 juta, yakni meja tidur seperti yang biasa dipakai bangsawan. Dalam sebulan Abduh memproduksi antara 10 hingga 20 item mebel batik. Tak banyak memang karena proses pengerjaan furnitur batik memakan waktu cukup panjang. "Kurang lebih membikin lima furnitur untuk satu minggu," ungkap Abduh. Untuk menyanggupi banyaknya permintaan pelanggan, Abduh yang awalnya memperkerjakan dua pekerja kini menampung lima orang pekerja. "Kalau order sedang banyak bahkan bisa 15 pekerja," ungkapnya. Soal margin keuntungan alias laba bersih, tanpa basa-basi Abduh menuturkan, keuntungan dari bisnis furnitur batik ini bisa mencapai 60% hingga 70% dari harga jual. Lebih menyenangkan lagi, selain marginnya yang tebal, pemainnya masih dikit. "Di bawah 10 pemain. Di pameran kerajinan pun masih jarang sekali," papar Abduh. Soal pemasaran, pada awalnya Abduh hanya mengandalkan gethok tular alias pemasaran dari mulut ke mulut. Namun sekarang Abdul sudah memakai internet agar pasarnya bisa mendunia. "Pemasaran harus tepat karena furnitur tidak sama dengan kerajinan batik lainnya," katanya. Perihal proses produksi, Abduh menjelaskan bahwa proses pembatikannya sama persis dengan pembatikan bahan bahan kain. Perbedaanya hanya terletak pada komposisi kimia cairan lilin dan cairan pelorot. Sejauh ini dia baru berani membatik pada furnitur berbahan kayu jati. "Sebab, di kayu jati batik bisa menempel dan kualitasnya lebih bagus dibandingkan membatik pada kayu lain," tandasnya.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Mengukir Laba dari Bisnis Furnitur Batik
JAKARTA. Seiring menanjaknya popularitas kain batik, pamor berbagai produk kerajinan berbau batik pun terangkat naik. Setelah muncul barang kerajinan berupa topeng batik, kini mulai lahir kerajinan mebel batik berujud meja, ranjang, dan meja rias yang bermotif batik. Seperti halnya bisnis kain batik, usaha mebel batik pun memberikan untung menggiurkan. Muhamad Abduh, kini 40 tahun, sudah menikmatinya. Pria separuh baya ini mengaku ide awal membuat furnitur batik datang dari keinginannya menciptakan produk batik yang masih jarang di pasar. Dari situ, pada 2007 lalu, dia menemukan ide membatik perkakas furnitur. Abduh mengaku, saat memulai usaha ini, ia tak terlalu memusingkan soal modal. "Modal saya cuma foto furnitur batik yang saya pinjam dari para perajin di Solo. Jadi saya menawarkan foto saya kepada pembeli, setelah itu baru memproduksi kalau ada pemesan yang setor uang," ujar Abduh, tergelak. Bisa miliaran rupiah Abduh mengaku, saat ini, 90% furnitur batiknya terserap pasar lokal. "Saya masih baru dan belum melakukan pemasaran yang tepat dan besar-besaran," ungkapnya. Meski terbilang pemain anyar, soal omzet bisa dibilang lumayan besar. Saban bulan, minimal Abduh mengantongi Rp 20 juta. Di luar itu masih ada pesanan khusus. Contohnya, beberapa waktu yang lalu Abduh sempat kebanjiran order. Nilai transaksinya cukup fantastis, sampai sepuluh digit. Menurut Abduh, rata-rata konsumennya datang dari kalangan menengah ke atas. Maklum, lantaran pembuatannya cukup rumit, harga jual produk ini juga terbilang mahal. Pembelinya kebanyakan orang yang benar-benar hobi mengoleksi alias kolektor dan berduit. "Harga furnitur paling murah Rp 2 juta berupa meja kecil," beber Abduh. Banderol harga paling mahal sebesar Rp 25 juta, yakni meja tidur seperti yang biasa dipakai bangsawan. Dalam sebulan Abduh memproduksi antara 10 hingga 20 item mebel batik. Tak banyak memang karena proses pengerjaan furnitur batik memakan waktu cukup panjang. "Kurang lebih membikin lima furnitur untuk satu minggu," ungkap Abduh. Untuk menyanggupi banyaknya permintaan pelanggan, Abduh yang awalnya memperkerjakan dua pekerja kini menampung lima orang pekerja. "Kalau order sedang banyak bahkan bisa 15 pekerja," ungkapnya. Soal margin keuntungan alias laba bersih, tanpa basa-basi Abduh menuturkan, keuntungan dari bisnis furnitur batik ini bisa mencapai 60% hingga 70% dari harga jual. Lebih menyenangkan lagi, selain marginnya yang tebal, pemainnya masih dikit. "Di bawah 10 pemain. Di pameran kerajinan pun masih jarang sekali," papar Abduh. Soal pemasaran, pada awalnya Abduh hanya mengandalkan gethok tular alias pemasaran dari mulut ke mulut. Namun sekarang Abdul sudah memakai internet agar pasarnya bisa mendunia. "Pemasaran harus tepat karena furnitur tidak sama dengan kerajinan batik lainnya," katanya. Perihal proses produksi, Abduh menjelaskan bahwa proses pembatikannya sama persis dengan pembatikan bahan bahan kain. Perbedaanya hanya terletak pada komposisi kimia cairan lilin dan cairan pelorot. Sejauh ini dia baru berani membatik pada furnitur berbahan kayu jati. "Sebab, di kayu jati batik bisa menempel dan kualitasnya lebih bagus dibandingkan membatik pada kayu lain," tandasnya.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News