Mengukir Rupiah dari Kerajinan Tembaga dan Kuningan



profil-slamethanafiPROGRAM pelatihan ala instansi pemerintah ternyata bisa juga berjalan efektif. Banyak pengusaha atau perajin yang sukses setelah mendapat sen-tuhan tangan ahli yang disediakan pemerintah ini. Salah satu contohnya adalah Slamet Hanafi, perajin barang tembaga dan kuningan di Boyolali, Jawa Tengah. Berkat pelatihan itu, Slamet bisa sukses membangun usaha kerajinan hasil tambang tersebut. Beragam hasil buah karyanya, seperti relief, kaligrafi, beragam jenis tempat lampu, vas bunga, atau kubah masjid sudah menghiasi beberapa tempat ternama. Misalnya, masjid emas di Depok maupun masjid di kompleks Istana Wakil Presiden. Bahkan, sewaktu pameran program kemitraan yang belum lama berlangsung, salah satu keluarga Cendana, Siti Hediati Soeharto, memesan sebuah kubah tembaga. "Beliau pesan satu dulu. Kalau bagus baru pesan lagi," tutur Slamet. Lelaki asli Boyolali ini memang sejak awal menekuni kerajinan tembaga dan kuningan. Malah, sewaktu masih remaja, ia sudah nyemplung di bisnis ini. Maklum, di sekitar tempat tinggalnya di Kecamatan Cepo-go, Boyolali, banyak tetangganya menekuni pembuatan perabot rumahtangga dari tembaga dan kuningan. Nah, kebetulan saat itu ada program pelatihan kerja dari Pemerintah Kabupaten Boyolali. Slamet pun tidak mau ketinggalan sebagai peserta pelatihan. Beruntung, sang pengajar, yakni Sunarno yang dosen sebuah perguruan tinggi seni di Yogya-karta, banyak membantu kemajuan Slamet. Selepas pelatihan, Sunarno langsung mengajak Slamet bergabung ke bengkel kerja kerajinan tembaga dan kuningan miliknya di Yogyakarta. "Terus terang saya banyak dapat ilmu di sana," kenang Slamet. Selama enam tahun lebih Slamet bekerja dan mengasah ilmu di tempat kerja Sunarno. Dengan bekal pengalaman panjang ini, Slamet lalu mempraktikkannya ke berbagai tempat kerajinan tembaga dan kuningan, mulai dari Yogyakarta, Cila-cap, hingga ke Jakarta. Bosan malang melintang sebagai pegawai, pada 1993 Sla-met memutuskan untuk pulang kampung. Saat pulang, ia membawa satu cita-cita: dia ingin mengembangkan kerajinan tembaga dan kuningan dengan beragam variasi. Maklum, saat itu warga desanya masih berkutat pada pembuatan alat-alat rumahtangga. "Saya ambil kesempatan ini," ungkap Slamet. Dengan modal tidak sampai Rp 1 juta, Slamet membuka bengkel kerajinan di rumahnya di Desa Tumang Keprabon, Cepogo, Boyolali. Di masa awal usahanya ini, ia baru merekrut dua pekerja. Agar mereka mampu menjadi perajin, Slamet pun melatih mereka lebih dulu. Usaha ini berjalan mulus. Maklum, Slamet sudah paham betul liku-liku pemasaran produk kerajinan ini. Sehingga, produk Slamet lancar merambah pasar Yogyakarta, Cilacap, dan juga Jakarta. Uniknya, Slamet malah jarang mendapat pesanan dalam bentuk satuan. Dia lebih sering mengerjakan proyek. Entah itu untuk hotel, masjid, hingga perumahan. "Waktu itu rata-rata omzet saya bisa Rp 100 juta per bulan," ujar Slamet. Namun, bisnis ini bukannya tanpa cobaan. Slamet pernah tertipu oleh rekanan yang tidak membayar hasil kerjanya. "Saya rugi mencapai ratusan juta rupiah," ucap dia. Pengalaman pahit ini membuat Slamet putar haluan. Saat ini Slamet lebih senang menerima pesanan dari pasar ritel. Nah, untuk menunjang pema-saran, Slamet mendaftarkan diri sebagai binaan PT Asuransi Ekspor Indonesia (ASEI). Slamet merasa bersyukur karena BUMN Asuransi mau meminjamkan duit sebesar Rp 25 juta. "Tujuan saya ikut program dari ASEI ini untuk pemasaran produk," kata dia. Langkah Slamet memang pas. Saat pameran mitra binaan BUMN itu, produk kerajinannya banyak mendapat perhatian. Kini, pelan tapi pasti, omzet bulanan Slamet telah meraih angka Rp 40 juta.
BUDI Prasetyo terbilang mitra PT Asuransi Ekspor Indonesia (ASEI) yang cukup sukses. Besar di keluarga seni membuat Budi memantapkan diri terjun di usaha kerajinan sejak 20 tahun lampau. "Mendiang bapak saya pernah bekerja pada pelukis Basuki Abdullah," kata pemilik Cheklie Art ini. Namun, pilihan Budi bukan menjadi pelukis, melainkan kerajinan kombinasi berbahan dasar kayu jati. Seperti, tempat tisu, bingkai foto, cermin, sampai hiasan lampu. Di sinilah insting bisnis Budi muncul. Ia melihat perabot rumah seperti tempat tisu yang biasa saja bisa menjadi produk bernilai jual tinggi. "Caranya tinggal saya buat dari kayu jati. Pasti eksklusif," ucap dia. Budi mengaku mengeluarkan modal sekitar Rp 5 juta saat awal usaha. Dari modal segitu, Budi bisa menjual beraneka produk, mulai dari harga puluhan ribu hingga jutaan rupiah. Dengan harga yang relatif premium, Budi pun memilih memasarkan produk eksklusifnya melalui berbagai galeri, seperti Sarinah. Tak cuma itu. Dia juga memasukkan produk ini ke hotel-hotel. "Di sana, produk kami diterima," kata dia. Ragam produk bikinan Budi ini rupanya menarik minat ASEI. Empat tahun silam, perusahaan ini langsung menawarkan jadi pemodal lewat program kemitraan. Budi jelas tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Maklum, Budi kerap mengalami kesulitan modal setiap kali menerima order. Berkat dana dari ASEI, roda bisnis Budi pun kembali lancar. "Saya sudah dua kali dapat modal kerja," kata dia. Keuntungan lainnya, Budi kerap gratis ikut pameran. Nah, di ajang pameran inilah Budi rajin berkeliling stan. Tujuannya bukan untuk beli barang, melainkan mencari ide membuat produk kerajinan yang lain daripada yang lain. "Saya sempat terpikir untuk memadukan tembaga dengan kayu jati," kata Budi, sambil melirik ke  produk buatan Slamet Hanafi. Menurutnya, dalam bisnis kerajinan, ide dan kreativitas harus rajin diasah. Kalau tidak, Budi tentu susah untuk meraih omzet Rp 120 juta per bulan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: