Mengukur kekuatan rupiah



Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup merah selama enam hari berturut-turut. Kemarin, (20/3), IHSG kembali turun 0,73% ke level 6.243,58.

Penurunan IHSG ini masih digerakkan oleh sentimen. Jika dicermati, sentimen rapat Federal Open Market Committee (FOMC) yang digelar The Federal Reserve (The Fed) pada 20 Maret–21 Maret ini masih menjadi fokus para pelaku pasar. Apalagi, probabilitas kenaikan suku bunga acuan The Fed terbilang besar.

Pelaku pasar ingin melihat, seberapa kuat dan seberapa sensitif mata uang rupiah menghadapi kenaikan suku bunga The Fed nantinya. Jika rupiah mengalami depresiasi usai kenaikan suku bunga The Fed di FOMC Maret ini, kemungkinan pertama yang terjadi ialah Bank Indonesia (BI) akan melakukan langkah intervensi. Jika intervensi yang dilakukan BI nantinya belum berhasil, potensi BI menaikkan suku bunga acuan makin terbuka.


Apabila hal tersebut terjadi, banyak skenario terkait fundamental ekonomi Indonesia yang akan berubah. Salah satunya, angka pertumbuhan ekonomi di level 5,3%–5,4% mungkin menjadi lebih sulit tercapai.

Kekhawatiran ini membuat pelaku pasar mengonversi surat berharga yang dimiliki ke dalam bentuk kas. Berkat kekhawatiran ini pula, investor menjadi kurang agresif. Saat investor asing mencatat jual bersih Rp 18,89 triliun sepanjang tahun ini, investor domestik juga terlihat tak buru-buru menyerap saham murah.

Selain itu, koreksi panjang pada indeks juga mendorong trader melepas margin mereka. Hal ini juga membuka peluang koreksi lanjutan untuk IHSG.

Terlepas dari efek sentimen tersebut, dapat dikatakan bahwa tak ada indikator fundamental ekonomi Indonesia yang berubah hingga saat ini. Karena itu, peluang pembalikan arah pada IHSG diprediksi bisa terjadi di minggu terakhir Maret, pasca rapat FOMC. Di Maret ini, support IHSG berada di level 6.080.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi