Mengukur pasar fintech ASEAN



Masa depan pasar teknologi finansial atau financial technology (fintech) ada di kawasan ASEAN. Demikian hasil riset Deloitte dan Robocash Group yang dipublikasikan akhir 2018. Isi laporan itu mengklaim bahwa negara-negara ASEAN memiliki potensi pasar fintech terbesar hingga 2020. Rendahnya tingkat inklusi keuangan di Asia Tenggara menjadi faktor utamanya. Sementara, KPMG menyebut 73% penduduk ASEAN belum memiliki rekening di perbankan.

Riset tersebut juga menemukan bahwa penduduk ASEAN memiliki tingkat keterbukaan terhadap layanan fintech paling tinggi diantara regional lain, seperti Amerika Utara, Eropa, dan Amerika Latin. Kolaborasi kedua katalis ini akan memberikan peluang pasar yang luas bagi masuknya arus modal ke sektor fintech di Asia Tenggara.

Mengutip survei ASEAN FinTech Census 2018, total investasi fintech yang masuk ke negara ASEAN-6 (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam) selama sepuluh bulan pertama 2018 sebesar US$ 458 juta. Angka tersebut tumbuh 25% dari tahun 2017 yang mencapai US$ 366 juta atau meningkat drastis 19 kali lipat dari tahun 2014.


Indonesia tentu tidak luput di dalamnya. Indonesia tercatat sebagai peringkat kedua negara tujuan investasi fintech terbesar di ASEAN-6. Singapura dan Indonesia mendominasi jumlah pendanaan yang masuk periode yang sama 2018, masing-masing US$ 222 juta (48,5%) dan US$ 185 juta (40,4%).

Tidak bisa dipungkiri kesempatan pasar fintech Tanah Air terbilang salah satu yang paling memikat. Berdasarkan data bank dunia, posisi indeks inklusi keuangan Indonesia pada 2014 sebesar 36%, kalah jauh dari negara tetangga seperti Thailand (78%), Malaysia (81%), dan Singapura (96%). Asosiasi Financial Technology Indonesia atau Aftech menyatakan bahwa adopsi fintech Indonesia masih ada di kisaran 9% atau lebih rendah ketimbang rerata penduduk dunia yang mencapai 33%.

Tidak hanya itu, keterbatasan kemampuan dalam penyaluran kredit oleh perbankan menjadikan pasar Indonesia semakin seksi di mata pemain fintech. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperkirakan kebutuhan pinjaman bagi UMKM Rp 1.700 triliun per tahun.

Lembaga keuangan domestik hanya bisa memenuhi Rp 700 triliun. Praktis kekurangan pendanaan sebesar Rp 1.000 triliun menjadi ceruk pasar bagi fintech.

Meskipun jumlah pemain fintech legal saat ini sudah banyak, namun nilai realisasi pinjaman masih jauh dari kata cukup. OJK mencatat akumulasi jumlah pinjaman fintech per Desember 2018 baru mencapai Rp 22,67 triliun.

Ekspansi bisnis

Walau prospek di pasar dalam negeri masih banyak yang belum digarap, sejumlah pemain fintech sudah berancang-ancang untuk berekspansi ke negara ASEAN di 2019. Misalnya Kredivo, Investree dan Uang Teman. Menariknya, mereka memiliki kesamaan pilihan negara yang jadi target ekspansi, yaitu Thailand dan Filipina.

Dari perspektif upaya untuk mengakselerasi pertumbuhan dalam jangka panjang, aksi korporasi ini sudah tepat. Setidaknya ada dua alasan. Pertama, kompetisi fintech di pasar domestik sangat ketat sehingga mereduksi kans untuk bertumbuh secara eksponensial. Karakteristik industri ini menyerupai struktur pasar persaingan sempurna. Jumlah penjual dan pembeli yang banyak menjadi ciri utamanya. Artinya, dengan asumsi kondisi ceteris paribus pangsa pasar yang dikuasai oleh masing-masing pelaku fintech relatif terbatas.

Situasi ini kian mendesak tatkala sejumlah korporasi raksasa berbondong-bondong ikut memperebutkan kue fintech dalam negeri. Misalnya Sinar Mas Group melebarkan sayap bisnis fintech melalui PT Pasar Dana Pinjaman alias Danamas Juli 2017.

Tidak hanya itu, konglomerasi ini meluncurkan fintech terbaru, Finmas di bawah bendera PT Oriente Mas Sejahtera pada Februari 2019. Fintech ini terbentuk dari buah kerja sama dengan perusahaan fintech global Oriente.

Setali tiga uang, Astra Group melalui anak usahanya, PT Sedaya Multi Investama menjalin kerja sama dengan WeLab, perusahaan teknologi Tiongkok mendirikan PT Astra WeLab Digital Arta yang menjadi cikal bakal fintech Maucash. Mencermati lanskap peta persaingan tersebut, dapat disimpulkan kapasitas bisnis pemain fintech akan sulit membesar tanpa ada ekspansi ke pasar baru.

Kedua, Thailand dan Filipina tergolong memiliki probabilitas penetrasi tertinggi diantara negara ASEAN di luar Indonesia. Keduanya mempunyai kemiripan pasar dengan Indonesia dari sisi kebutuhan pinjaman, target pasar, serta terbatasnya akses keuangan.

Argumen ini turut didukung analisis dengan pendekatan besaran produk domestik bruto, jumlah pemain fintech dan total populasi. Bank UOB dalam laporan State of FinTech in ASEAN mencatat jumlah fintech di Thailand dan Filipina sebanyak 123 dan 111 pada 2017. Angka ini merepresentasikan 10% dan 9% dari total fintech di ASEAN.

Dengan kuantitas pemain yang relatif sedikit dan jumlah penduduk yang masif, tak heran tingkat persaingan di kedua negara tersebut ditaksir masih lebih longgar dibanding negara lain. Apalagi Thailand boleh dibilang sangat serius dalam mengembangkan industri fintechnya.

Thailand secara khusus telah mencanangkan strategi nasional yang dituangkan dalam program Thailand 4.0. Konsepsi, Thailand 4.0 diposisikan sebagai peta jalan transformasi jangka panjang Thailand menuju ekonomi berbasis nilai tambah, yang berfokus pada jasa dan penerapan teknologi. Sejumlah media internasional menyebut Thailand kini sebagai calon pesaing kuat Singapura dalam memperebutkan predikat The Next ASEAN Fintech Hub.

Di sisi lain, Filipina memang terkesan belum bisa lari sekencang Thailand. Bahkan mantan Gubernur Bank Sentral Filipina, Nestor Espenilla Jr sempat menyatakan 99% transaksi pembayaran di sana masih tunai. Kabar baiknya Bank Sentral Filipina meluncurkan Philippine EFT System and Operations Network (PESO Net) November 2017 dan Instant Payment (InstaPay) April 2018.

PESO Net ialah sistem kliring yang memungkinkan transfer dana secara elektronik dari akun individual lintas berbagai bank. Sementara itu, InstaPay ialah sistem pembayaran transaksi bernilai kecil yang diproses real time.

Sistem ini membantu pedagang untuk menerima pembayaran digital dari uang elektronik dan rekening bank tanpa melalui peralatan point of sales. Regulator Filipina berharap kehadiran kedua sistem ini akan mendorong adopsi pembayaran digital hingga 20% pada tahun 2020.

Mengamati tren yang tengah berkembang, ekspansi ke pasar ASEAN nampaknya akan menjadi kewajiban bagi setiap pemain fintech di masa depan. Peluang yang masih terbuka lebar memang menjanjikan sejumlah prospek yang menggiurkan.

Meskipun demikian, rencana pengembangan usaha tersebut bukan berarti tidak akan menemui jalan terjal. Isu terkait kebijakan pemerintah setempat, hambatan budaya lokal dan kompetensi SDM menjadi tantangan utama yang hendaknya diantisipasi oleh seluruh pemain fintech.♦

Remon Samora Analis Bank Indonesia, Provinsi Papua Barat

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi