KONTAN.CO.ID - JAKARTA.
Fund manager asing mulai memberi perhatian lebih untuk saham PT Bumi Resources Tbk (BUMI). Salah satunya, BNP Paribas yang menjadikan saham BUMI sebagai saham pilihan di sektor komoditas batubara. Mengutip
Bloomberg, akhir pekan lalu, BNP menilai industri batubara Indonesia akan terimbas sentimen permintaan dari China dan India. Permintaan dari kedua negara itu bakal meningkat karena cuaca dingin yang tidak biasa. Produksi lokal kedua negara tersebut juga terbatas. Sehingga, harga komoditas batubara bisa terangkat dan mendorong prospek saham sektor ini seperti BUMI, PT Indika Energy Tbk (INDY), dan PT ABM Investama Tbk (ABMM).
Direktur BUMI Dileep Sirivastava mengatakan, kenaikan harga komoditas batubara saat ini memang menjadi salah satu pendorong kinerja keuangan perusahaan. Rata-rata harga batubara BUMI sepanjang 2017 ada di kisaran US$ 55–US$ 95 per ton. Dengan rata-rata harga tersebut, Dileep memperkirakan pendapatan kotor BUMI sepanjang 2017 mencapai US$ 4,8 miliar. Tahun ini, pendapatan kotor perusahaan ini diperkirakan naik 25% menjadi sekitar US$ 5,5 miliar hingga US$ 6,6 miliar. "Kami melihat harga batubara tahun ini bisa naik 5% ke level US$ 100 per ton atau bahkan lebih," ujar Dileep kepada Kontan.co.id, Jumat (9/2). Selain soal harga, kinerja BUMI juga bakal terangkat produksi batubara BUMI yang ditargetkan naik 10% menjadi 93 juta ton. Kenaikan harga batubara tersebut bakal mendorong pendapatan BUMI tahun ini lebih besar. Laba bersih BUMI juga diperkirakan bakal melesat. Dileep belum bersedia memberikan perincian laba bersih 2017. Namun, dia menggambarkan, BUMI pernah mencapai laba bersih tertingginya pada 2008. Saat itu, BUMI mencatatkan laba bersih US$ 372 juta. Tahun 2017, Dileep yakin laba bersihnya bisa mencapai kisaran torehan tersebut. "Tahun ini bisa lebih tinggi lagi," tambah Dileep. Produksi batubara Inav Haria Chandra, analis OCBC Sekuritas, menilai, fundamental BUMI saat ini sudah jauh lebih baik. Tapi memang, masih ada pandangan negatif terhadap emiten produsen batubara ini, akibat beban utang Grup Bakrie yang menggunung. "Tapi, sekarang risikonya mulai berkurang," kata Inav. Dulu, harga saham BUMI tercecer karena investor takut jika BUMI bangkrut akibat utang. Tapi nyatanya, BUMI berhasil menghindari kebangkrutan. Apalagi, saat ini proses restrukturisasi utang juga sudah dimulai. Jadi, menurut Inav, secara fundamental, BUMI sudah jauh lebih baik. "Persepsi investor juga sudah mulai berubah," imbuh dia. Harga saham BUMI juga dinilai masih menarik. Valuasi harga saham BUMI sudah sangat murah, dengan
price earning ratio (PER) sekitar 4,5 kali. Sementara, rata-rata PER industri batubara sekitar 9 kali. Sehingga, Inav melihat harga wajar BUMI seharusnya dua kali lipat dari harga saham saat ini. Ia juga menilai, BUMI sudah mulai memperbaiki
good corporate governance (GCG). Hal ini terlihat dari sejumlah perwakilan kreditur yang menduduki tampuk manajemen BUMI.
Dengan begitu, kreditur bisa memastikan secara langsung kalau bisnis dan proses pelunasan utang BUMI berjalan lancar. "Perwakilan kreditur bisa memastikan utang BUMI lunas," jelas Inav. Namun, volatilitas saham BUMI memang cukup tinggi. Sehingga, hal ini masih menjadi salah satu risiko. "Untuk itu, sekarang lebih baik
hold saham BUMI untuk jangka waktu yang lama," saran Inav. Akhir pekan lalu, saham BUMI ditutup melemah 4,46% ke level Rp 300 per saham. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati