KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mampu berbalik menguat 0,21% ke level 6.713,79 pada perdagangan Kamis (15/6). Namun, laju IHSG masih tertatih-tatih menjelang akhir semester pertama 2023. Posisi IHSG masih mengakumulasi pelemahan 2% secara
year to date (YTD). Gerak IHSG belum lincah, meski sejumlah sentimen berangsur cerah. Sejumlah analis pun menilai risiko investasi di Indonesia sudah minimal, tertopang oleh kondisi makro ekonomi yang masih menunjukkan daya tahan. "Dilihat dari gambaran besar secara top-down, risiko untuk berinvestasi di Indonesia seharusnya menurun. Terefleksi dari data-data makro yang relatif stabil dibandingkan negara-negara peers," ungkap Chartered Financial Analyst Head of Research & Fund Manager Syailendra Capital, Rizki Jauhari kepada Kontan.co.id, Kamis (15/6).
Sayangnya, faktor itu belum memberi dorongan signifikan, sehingga IHSG pun cenderung bergerak flat. Tapi, Rizki mengamati IHSG tidak sendiri. Sejumlah indeks saham di Asia mengalami kondisi serupa. Lantaran likuiditas yang masuk ke emerging markets masih cenderung lebih kecil dibandingkan periode sebelumnya.
Baca Juga: Turun 2% Sejak Awal Tahun, Begini Prediksi IHSG Pada 2023 Apalagi pergerakan IHSG ikut terseret oleh saham sektor komoditas yang menukik, mengikuti harga komoditas global yang sedang melandai. Presiden Komisaris HFX Internasional Berjangka Sutopo Widodo menambahkan, tahun politik turut menjadi pertimbangan yang krusial bagi investor. Suhu politik yang mulai memanas menjelang Pemilu dan Pilpres 2024 membuat sebagian investor jangka menengah - panjang cenderung berhati-hati atau wait and see. "Ada kekhawatiran di tahun politik ini yang menggeser
landscape investasi di Indonesia. Pergantian kepemimpinan menjadi salah satu aspek yang diperhatikan investor," ujar Sutopo. Catatan lainnya, neraca perdagangan juga menyusut tajam, kendati masih mampu mencatatkan surplus. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca perdagangan barang Indonesia pada Mei 2023 surplus US$ 440 juta. Terpangkas jauh bila dibandingkan dengan keuntungan neraca perdagangan April 2023 yang sebesar US$ 3,94 miliar, atau US$ 2,9 miliar pada Mei 2022. Surplus neraca perdagangan Mei 2023 juga merupakan yang terendah sejak Mei 2020. Pada saat yang bersamaan, sentimen global juga membayangi. Tren kenaikan suku bunga The Fed ditaksir masih belum berakhir dalam waktu dekat, menimbang target inflasi Amerika Serikat yang masih jauh dari 2%. "The Fed masih juga berencana untuk menaikkan suku bunga, sehingga hal ini dikhawatirkan semakin membawa ekonomi global menuju resesi yang lebih dalam, " kata Liza Camelia Suryanata, Head of Research NH Korindo Sekuritas Indonesia.
Resesi global akan terasa imbasnya bagi Indonesia, meski fundamental pertumbuhan ekonomi masih cukup solid di level 5%. Liza menyoroti karakteristik bursa Indonesia juga masih
commodity-driven. Ketika terjadi resesi, permintaan bahan baku mentah seperti barang tambang akan merosot.
Baca Juga: Cermati Saham-Saham yang Banyak Dilego Asing Saat IHSG Menguat Kemarin "Ketika dunia resesi maka nilai ekspor-impor kita terganggu. Indonesia masih bisa bergantung pada konsumsi masyarakat dan pemerintah," imbuh Liza. Liza optimitistis consumer & government spending bisa menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi tahun ini. Katalisnya adalah konsumsi saat masa kampanye tahun politik. Pada level masyarakat, kuatnya konsumsi terlihat dari bangkitnya sektor pariwisata dan banyaknya event atau konser.
Editor: Yudho Winarto