Mengukur potensi reli harga minyak



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pelan tapi pasti, harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) semakin mendidih. Harga emas hitam ini menanjak seiring munculnya kekhawatiran pelaku pasar atas dampak sanksi larangan Amerika Serikat (AS) terhadap ekspor minyak Iran yang akan berlaku efektif pada 4 November mendatang.

Mengutip Bloomberg, harga minyak WTI kontrak pengiriman November 2018 di New York Mercantile Exchange (Nymex) berada di US$ US$ 75,42 per barel, Rabu (3/10) pukul 14.33 WIB. Ini merupakan harga tertinggi sejak Desember 2014 silam. 

Jika dihitung dari akhir tahun lalu, harga minyak WTI telah menanjak 29,18%. Sementara itu, dalam sepekan belakangan, harga minyak sudah terbang 4,6%. 


Pada 15 Agustus lalu, harga minyak WTI memang sempat menyentuh level US$ 64,24 per barel yang merupakan level terendahnya di kuartal III. Namun, sejak pertengahan September, harga minyak konsisten bertahan di atas US$ 70 per barel. 

Harga minyak Brent pun mencatatkan pergerakan serupa. Harga minyak Brent untuk pengiriman Desember 2018 di ICE Futures mencapai US$ 85,02 per barel, yang juga menjadi kenaikan tertinggi sejak Desember 2014 di level US$ 84,98 per barel. 

Analis Monex Investindo Futures, Faisyal mengatakan, harga minyak mulai mengalami tren kenaikan menjelang akhir kuartal III. Hal ini dipicu oleh terganggunya suplai minyak akibat berbagai konflik, salah satu yang paling berpengaruh adalah sanksi larangan ekspor oleh AS kepada Iran.    Presiden AS Donald Trump menekan negara-negara konsumen minyak AS untuk mengurangi impor minyak dari Iran supaya pemerintah negara tersebut mau melakukan negosiasi ulang terkait perjanjian nuklir. Sejauh ini, larangan tersebut tampak akan dipatuhi oleh negara-negara pembeli minyak dari Iran. “Para pelaku pasar kini mulai mengantisipasi sanksi AS ke Iran sebelum efektif di awal November ini,” kata dia.

Sebenarnya, negara-negara produsen minyak lainnya seperti Arab Saudi dan Rusia sempat menyerukan bakal menaikkan produksi minyak untuk menutupi kekurangan suplai dari Iran. Menurut sumber Reuters, Arab Saudi diperkirakan akan menambah pasokan minyak untuk menutup penurunan pasokan akibat sanksi Iran dari AS. Beberapa negara OPEC dan non OPEC mendiskusikan kemungkinan kenaikan produksi sebesar 500.000 barel per hari. 

Namun, pernyataan kedua negara tersebut belum juga terealisasi. OPEC dan produsen minyak lainnya mengatakan tidak akan menambah pasokan dalam jangka pendek.

"Ini menunjukkan bahwa pasar tidak yakin tentang kemampuan kelompok produsen untuk mengganti barel Iran," kata Tamas Varga, seorang analis di PVM Oil Associates Ltd di London.

Menteri Minyak Iran Bijan Zangeneh mengatakan, Trump bertanggung jawab atas kenaikan harga minyak. "Jika Trump menginginkan stabilitas pasar minyak, dia seharusnya menunda sanksi Iran," kata Zangeneh seperti dikutip Reuters.

Menurut Faisyal, baik Arab Saudi dan Rusia dinilai dapat menjadi kunci bagi pergerakan harga minyak mentah dunia di sepanjang kuartal IV 2018. “Kalau keduanya jadi meningkatkan produksi, harga minyak tak akan naik terlalu tinggi seperti sekarang,” ungkap Faisyal.

Analis Global Kapital Investama Nizar Hilmy juga mengatakan, efek dijatuhkannya sanksi AS ke Iran bisa membuat pasokan global terganggu dan berkurang 1 juta hingga 2 juta barel per hari.

Mengutip Reuters, pasar pun berspekulasi, jika pemangkasan itu terjadi, harga minyak bisa saja meroket hingga US$ 100 dollar per barrel. Hal ini mungkin sekali terjadi jika investor meragukan kemampuan Arab Saudi untuk menutupi kekurangan output dari dipangkasnya produksi Iran tersebut.

Proyeksi harga minyak

Di sisi lain, kenaikan produksi minyak di AS yang tidak diimbangi oleh permintaan domestik yang tinggi dari negara tersebut juga bisa menekan harga minyak. Produksi AS sendiri bisa meningkat karena tren kenaikan harga minyak justru menjadi katalis positif buat perusahaan tambang minyak di AS untuk ambil untung dengan cara menggenjot angka produksinya.

Di sisi lain, International Energy Agency (IEA) memperkirakan, permintaan minyak dari emerging market akan turun jika nilai tukar terus melemah. IEA memperkirakan permintaan minyak global tahun ini akan naik 1,4 juta barel per hari dan 1,5 juta barel per hari di tahun depan.

Dengan harga minyak sekitar US$ 80 per barel, impor minyak Asia akan mencapai lebih dari US$ 1 triliun per tahun. "Kami memperkirakan, hal ini akan menurunkan permintaan di Asia," kata Keisuke Sadamori, director of energy markets and security IEA kepada Reuters, Selasa (2/10).

Selain itu, menurut Nizar kesepakatakan yang terjadi antara Kanada, Meksiko dan AS terkait Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA) telah mengurangi isu perang dagang dan mendorong harga minyak. 

Selain produksi Rusia yang diprediksi berkurang, pasokan minyak global juga makin rendah karena ekonomi Venezuela masih carut marut. Nizar menyebut produksi minyak dari Venezuela telah berkurang 40%.

Nizar memproyeksikan hingga akhir tahun harga minyak WTI akan bergerak direntang US$ 65 per barel hingga US$ 85 per barel. "Saat ini kondisi jangka pendek overbought mungkin akan ada koreksi dikit tetapi tren masih bullish," kata Nizar.

Sementara itu, Faisyal memprediksi, harga minyak mentah jenis WTI akan bergerak di kisaran US$ 75 hingga US$ 78 per barel di akhir tahun nanti.

Hasil survey

Harga rata-rata minyak mentah WTI diprediksi US$ 68,81 per barel pada tahun ini. Hal itu merupakan hasil survei yang dirilis oleh Federal Reserve Bank of Dallas, Senin (1/10). 

Berdasarkan hasil jajak pendapat para eksekutif minyak dan gas (migas), rentang harga minyak diperkirakan US$ 55 hingga US$ 85 per barel, dengan harga spot WTI rata-rata US$ 69,79 selama periode survei, yang dilakukan dari 12-20 September.

Mayoritas responden atau 64% eksekutif migas mengatakan, mereka berharap pasar minyak global akan mendekati keseimbangan pada 2019. Sementara sekitar seperempat responden melihat pasar minyak mengalami kekurangan pasokan dan 10% dari mereka yang disurvei memperkirakan pasar kelebihan pasokan.

Lebih dari separuh responden survei mengatakan, mereka berharap bahwa kapasitas pipa minyak mentah akan cukup untuk meringankan kendala yang saat ini terjadi di Permian Basin, ladang minyak AS terbesar, pada akhir 2019.

Produksi di Permian di Texas Barat dan Timur New Mexico telah melonjak hampir dua kali lipat dalam tiga tahun terakhir, menjadi 3,4 juta barel per hari (bpd), mendekati output Iran. Namun, output yang membludak telah membanjiri jaringan pipa yang sudah ada ke pasar ekspor Gulf Coast.

Responden survei merupakan 110 perusahaan yang fokus pada kegiatan eksplorasi dan produksi serta 61 yang beroperasi di sektor jasa ladang minyak. 

Dampak ke rupiah

Kenaikan harga minyak ini tak pelak turut menghantam nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Rupiah menjadi tak bertenaga. Pada Rabu (3/10) nilai rupiah di pasar spot tercecer ke level Rp 15.083 per dollar AS, menjadi yang terburuk sejak krisis moneter Juli 1998. Nilai rupiah sudah melemah 11,27% sepanjang tahun ini. 

Ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro mengatakan, selain disebabkan penguatan indeks dollar AS, rupiah juga dipengaruhi harga minyak mentah dunia yang semakin perkasa. 

"Kenaikan harga minyak dunia bakal berpengaruh negatif pada neraca dagang Indonesia," kata Satria.

Analis Valbury Asia Futures Lukman Leong juga melihat, kenaikan harga minyak memberi tekanan pada kurs rupiah. Maklum, hal ini dapat membuat defisit transaksi berjalan kembali melebar.

"Mengingat kenaikan suku bunga AS, harga minyak yang lebih tinggi yang mungkin melihat defisit perdagangan yang lebih luas, dan dolar yang lebih kuat dalam beberapa hari terakhir, terbukti sulit bagi Bank Indonesia untuk mempertahankan rupiah di bawah Rp 15.000," kata Khoon Goh, Kepala Penelitian di Australia dan Selandia Baru Banking Group Ltd. di Singapura, seperti dikutip Bloomberg, Selasa (2/10).

Jika sentimen tak kunjung membaik, ia menilai nilai rupiah berisiko melemah lebih jauh hingga Rp 15.200.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Narita Indrastiti