Mengukur Prospek Saham Emiten yang Untung & Rugi Akibat Investasi



ONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah emiten memetik hasil atas investasinya pada perusahaan lain. Sebagian berhasil menjadi pendongkrak laba bersih dalam kinerja kuartal III-2022. Tapi, ada juga yang bernasib sebaliknya.

Lonjakan signifikan dialami oleh PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTK) yang laba bersihnya meroket 2.454% secara tahunan (YoY) menjadi Rp 5,54 triliun hingga periode September 2022. 

Laba atas investasi neto EMTK menjadi pendorong dengan kenaikan 1.741,6% secara YoY menjadi Rp 5,06 triliun. Investasi pada saham tercatat di bursa mencapai Rp 1,76 triliun.

Dari sederet portofolio investasinya, EMTK memiliki saham di PT Bukalapak.com Tbk (BUKA) melalui PT Kreatif Media Karya (KMK) yang menggenggam kepemilikan BUKA sebanyak 24,63% per 30 September 2022.

Baca Juga: Ada Tekanan Ekonomi Global, OJK Minta Industri Keuangan Perkuat Modal dan Pencadangan

BUKA berhasil membalikkan posisi rugi menjadi laba dalam laporan keuangan per kuartal ketiga 2022. BUKA mencatatkan laba bersih Rp 3,62 triliun, dari sebelumnya rugi Rp 1,12 triliun pada periode yang sama tahun lalu.

Laba bersih BUKA turut ditopang oleh laba nilai investasi yang belum dan sudah terealisasi, dengan nilai Rp 5,13 triliun dari posisi nol per kuartal ketiga 2021. Pendorongnya adalah laba nilai investasi marked-to-market dari PT Allo Bank Tbk (BBHI).

Selanjutnya, PT Astra International Tbk (ASII) yang laba bersihnya melesat 55,84% menjadi Rp 23,33 triliun. ASII mencatatkan keuntungan nilai wajar atas investasi pada PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) senilai Rp 1,08 triliun.

Sebagai catatan, nilai tersebut merupakan keuntungan yang belum direalisasikan (unrealized gain). Penyesuaian nilai wajar atas investasi pada GOTO mengikuti pergerakan nilai sahamnya di pasar.

Baca Juga: Tersengat Sentimen Positif, Kinerja Emiten Ritel Diproyeksi Tumbuh pada 2023

Berbada nasib dengan PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (TLKM). Laba bersih perusahaan telekomunikasi plat merah ini malah merosot 12,14% secara YoY menjadi Rp 16,58 triliun. 

Penurunan laba bersih disebabkan kerugian yang belum direalisasi (unrealized loss) dari perubahan nilai wajar atas investasi sebesar Rp 3,08 triliun. Terutama investasi pada GOTO.

Analis Investindo Nusantara Sekuritas Pandhu Dewanto menyoroti, laba-rugi investasi dapat menjadi faktor penting yang membantu performa keuangan. Namun, hal ini bisa menjadi pisau bermata dua karena untuk perusahaan terbuka nilai wajar investasi dinilai berdasarkan harga di pasar.

"Sehingga bisa saja justru menjadi beban seperti pada TLKM. Fluktuasi pergerakan harga saham jangka pendek  tidak dapat dihindari, karena rata-rata horizon investasi mereka adalah untuk jangka panjang," terang Pandhu kepada Kontan.co.id, Kamis (3/11).

Baca Juga: Jadi Jawara di Bursa, IDX Energy Melesat 76% Sejak Awal Tahun 2022

Head of Research NH Korindo Sekuritas Indonesia Liza Camelia Suryanata mencontohkan unrealized loss investasi TLKM pada GOTO. Sebabnya, TLKM membeli saham GOTO dengan harga Rp 272 per lembar, sedangkan nilai pasar GOTO pada laporan keuangan kuartal ketiga 2022 berada di harga Rp 246 per saham.

Beda cerita dengan ASII yang sudah berinvestasi ke Gojek sejak tahun 2018-2019. "Tentunya pada saat nilai perusahaan masih jauh lebih rendah daripada saat TLKM baru masuk ke ekosistem Gojek tahun 2020," kata Liza.

Investment Analyst Infovesta Kapital Advisori Fajar Dwi Alfian punya catatan serupa. Investasi justru bisa menggerus laba jika minim memberikan kontribusi bagi pendapatan. Apalagi, mayoritas investasi belakangan ini tertuju pada perusahaan berbasis teknologi.

"(Investasi sektor teknologi) membutuhkan modal yang besar, serta jangka waktu yang cukup lama dengan tingkat risiko yang tinggi," ujar Fajar.

Baca Juga: 5 Petuah Warren Buffett Soal Investasi di Masa Sulit, Bisa Dicontek

Selain teknologi, Fajar melihat tren investasi emiten ke depan ada pada sektor berbasis new economy. Misalnya saja pada kendaraan listrik dan industri baterai yang ke depan punya prospek mentereng.

Pandhu melanjutkan, investasi yang dilakukan oleh emiten jumbo akan mempertimbangkan pengembangan ekosistem bisnis. Sekaligus sebagai transisi saat bisnis inti perusahaan sudah sulit berkembang.

"Misalnya beberapa emiten pertambangan yang berinvestasi di perusahaan nikel atau kendaraan listrik, karena dinilai sejalan dengan kebijakan pemerintah sehingga memiliki prospek yang baik," imbuh Pandhu. 

Sementara itu, Analis Sucor Sekuritas Paulus Jimmy memandang sektor berbasis digital-teknologi masih akan menjadi primadona. Sebab, sektor ini bisa lincah dalam membangun kerja sama strategis maupun penguatan ekosistem bisnis.

Meski begitu, Jimmy menyarankan pelaku pasar untuk lebih mencermati laju profitabilitas dari lini usaha utamanya. Terutama pada perusahaan yang bisnis utamanya bukan sebagai perusahaan investasi seperti BUKA.

Baca Juga: Lonjakan Laba Emiten Batubara Kembali Normal di Tahun Depan, Ini Prospek Sahamnya

Rekomendasi Saham

Pertumbuhan di bisnis utama juga menjadi perhatian bagi Liza. Sebagai contoh, Liza membandingkan kinerja TLKM dan ASII. Per kuartal ketiga 2022,  pendapatan bersih konsolidasi ASII masih bisa melesat 32% menjadi Rp 221,4 triliun.

Sehingga, tanpa memperhitungkan keuntungan nilai wajar atas investasi pada GOTO, ASII masih bisa meraih laba bersih senilai Rp 22,2 triliun atau tumbuh 49% secara YoY. "Artinya secara operasional  bisnis utama ASII lebih bertumbuh daripada TLKM yang cuma naik 2.67%," ujar Liza.

Meski begitu, Liza menilai saham TLKM masih menarik untuk speculative buy pada area Rp 4.050. Average up bisa dilakukan bertahap ketika tren harga sudah membaik hingga menembus resistance Rp 4.400 - Rp 4.460.

Secara teknikal, saham ASII juga bisa dilakukan speculative buy, menimbang ASII tengah menguji support jangka pendek di sekitar 6.375. Beda cerita dengan EMTK yang sahamnya melaju di awal bulan ini.

Baca Juga: Waktu Mepet, Masih Ada 18 Bank yang Harus Penuhi Kewajiban Modal Inti Rp 3 Triliun

Liza melihat saham EMTK akan mendapat momentum untuk break out resistance Rp 1.670-Rp 1.700. Pelaku pasar bisa melakukan buy on break dengan target menuju harga Rp 1.870-Rp 1.900.

"Secara umum, saham-saham teknologi tampaknya akan memperoleh panggung sebentar lagi menjelang IPO BELI (Blibli)," kata Liza.

Jimmy turut menyoroti saham teknologi. Tapi, dengan tantangan yang ada, Jimmy lebih menyarankan untuk hold. "Mengingat situasi makroekonomi yang cukup menjadi sentimen negatif buat perusahaan teknologi," imbuhnya.

Soal tantangan makroekonomi, Pandhu menjagokan saham ASII yang sudah teruji dalam menghadapi bermacam kondisi ekonomi. Apalagi dengan modal kuat sebagai perusahaan konglomerasi lintas sektor.

Pandhu pun merekomendasikan buy saham ASII dengan target harga hingga Rp 8.000 untuk 12 bulan ke depan.

Sedangkan Fajar mengingatkan posisi TLKM dan ASII yang masih berada dalam tren penurunan. Saran Fajar, wait and see untuk trading jangka pendek.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati