KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono mengatakan hingga akhir tahun 2024, penyerapan produksi
Crude Palm Oil (CPO) dalam negeri akan lebih condong untuk mendukung penerapan Program Mandatori Biodiesel atau program campuran Bahan Bakar Nabati (BBN) berbasis minyak sawit dengan bahan bakar minyak diesel. Eddy mengatakan, konsumsi CPO untuk pangan pada Juli 2024 mengalami penurunan sebesar 4,7% atau menurun 40 ribu ton jika dibandingkan dengan konsumsi pada Juni 2024. Tak hanya pangan sebenarnya, penurunan juga dicatat Gapki dari konsumsi CPO untuk oleokimia yang turun 7 ribu ton pada Juli 2024 dibanding bulan sebelumnya. Sedangkan untuk biodiesel, tercatat kenaikan dari 898 ribu ton di bulan Juni menjadi 1.035 ribu ton di Juli 2024. Dan karena peningkatan konsumsi di sektor biodiesel inilah, total konsumsi dalam negeri naik 90 ribu ton, yaitu dari 1.940 ribu ton pada bulan Juni menjadi 2.030 ribu ton pada bulan Juli 2024.
“Untuk tahun ini, sampai dengan Juli penyerapan CPO untuk biodiesel sudah 6,4 juta ton, sedangkan pangan 5,8 juta ton. Sampai dengan akhir tahun 2024, dengan program B35 diperkirakan penyerapan biodiesel akan tetap lebih tinggi daripada pangan,” ungkap Eddy kepada Kontan, Kamis (26/09).
Baca Juga: Begini Prospek Kinerja Emiten Kawasan Industri Jika Realisasi Investasi Sesuai Target Terkait penyerapan di sektor pangan yang lebih rendah, Eddy bilang sebenarnya hal ini sudah terlihat sejak diberlakukannya B35 pada Agustus 2023 lalu. “Tahun 2023, konsumsi untuk biodiesel sudah melebihi sedikit dari kebutuhan untuk pangan. Tapi kalau untuk implementasi B40 Januari 2025 masih mencukupi (produksi CPO),” ungkapnya.
Antara Kebutuhan Mandatori Biodiesel, Pangan dan Ekspor Eddy Abdurrachman, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) mengatakan dengan kapasitas produksi CPO Indonesia yang saat ini tembus 50 juta ton lebih, pemenuhan terhadap pangan dan mandatori biodiesel khususnya B40 masih bisa dilaksanakan dengan baik. Namun, ia tidak memungkiri jika dalam beberapa tahun ke depan produksi CPO dalam negeri stagnan atau bahkan turun, sektor ekspor akan dikorbankan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan biodiesel. “Kita memang perlu adanya satu keseimbangan, memang produksi kita sekarang sudah mencapai 50-an juta ton (CPO) dan biodiesel sekarang 13 juta, untuk pangan 10 juta tambah oleokemikal 2 juta. Jadi sebetulnya masih bisa (memenuhi pangan dan biodiesel), tapi memang nanti kedepan akan terdampak ekspornya yang turun,” ungkapnya beberapa waktu lalu. Seperti paradox, Eddy bilang jika harus mengorbankan kapasitas ekspor maka akan berpengaruh pada penurunan pendapatan BPDPKS yang dihimpun dari Pungutan Ekspor (PE) CPO. Adapun dana tersebut dikelola lagi oleh BPDPKS untuk menutup selisih harga antara biodiesel dan solar, terutama saat harga minyak sawit untuk biodiesel lebih tinggi dibandingkan solar. Selain untuk subsidi biodiesel, dana PE CPO juga digunakan untuk pengembangan Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). “Padahal kalau melihat program-program kedepan ya biodiesel, PSR, itu kita dapet dana dari pungutan ekspor. Itu paradoxnya, disatu sisi kebutuhan meningkat terus, tapi penerimaan nanti cenderung turun,” tambahnya. Hal senada juga diungkap Eddy Martono, ia mengatakan bahwa saat ini konsumsi CPO untuk kebutuhan pangan masih tercukupi, dengan target produksi CPO hingga akhir tahun bisa mencapai 59,27 juta ton. “Kebutuhan pangan saat ini diangka 10,2 juta ton. Untuk implementasi B40 produksi masih mencukupi,” katanya. Meski begitu, Eddy bilang jika pemerintah ingin menambah persentase minyak kelapa sawit dalam program biodiesel misalnya menjadi B50, B60 atau seterusnya, maka pemerintah juga harus serius melakukan peningkatan produktifitas dalam negeri. “Yang utama harus dilakukan adalah untuk meningkatkan produktifitas atau intensifikasi karena ekstensifikasi sudah tidak dapat dilakukan,” ungkap Eddy. Sedangkan untuk target ekspor CPO tahun ini, Gapki ungkap dia menargetkan setidaknya kuantitas ekspor sama dengan tahun 2023 lalu dengan catatan minyak nabati lain tidak mengalami
over suplay. “Karena penyebab ekspor turun di semester-1 kemarin karena produksi minyak nabati lain seperti minyak bunga matahari, dan minyak kedelai produksinya cukup bagus,” ungkapnya.
Harapan Program PSR di Tengah Produksi dan Ekspor CPO yang Turun Produksi CPO yang menurun tercermin dari produksi pada bulan Juli 2024 mengalami penurunan sebesar 2% dengan nilai 3.617 ribu ton, dibandingkan produksi bulan Juni sebesar 3.691 ribu ton, demikian juga dengan produksi PKO turun menjadi 344 ribu ton dari 354 ribu ton pada bulan Juni. Sampai dengan bulan Juli, produksi tahun 2024 adalah 5,99% lebih rendah dari periode yang sama tahun 2023, yaitu dari 32.066 ribu ton menjadi 30.146 ribu ton. Mukti Sardjono Direktur Eksekutif GAPKI mengatakan selain penurunan produksi, Indonesia juga tengah mengalami penurunan ekspor. Total ekspor mengalami penurunan menjadi 2.241 ribu ton pada bulan Juli 2024 dari 3.385 ribu ton pada bulan Juni atau turun sebesar 1.144 ribu ton setelah naik pada bulan sebelumnya dengan 1.421 ribu ton. “Penurunan terbesar terjadi pada produk olahan CPO yang turun sebesar 648 ribu ton dari 2.237 ribu ton pada bulan Juni menjadi 1.589 ribu ton pada bulan Juli, diikuti CPO yang turun dengan 477 ribu ton menjadi 174 ribu ton. Penurunan volume ekspor menyebabkan penurunan nilai ekspor menjadi $1.976 juta dari $2.798 juta pada bulan Juni, meskipun harga rata-rata naik dari $1.011/ton di bulan Juni menjadi $1.024/ton cif Roterdam di bulan Juli,” ungkap Mukti dalam keterangan tertulis yang dikutip, Jumat (27/09). Menurut negara tujuannya, penurunan ekspor terbesar terjadi untuk tujuan India yang turun 490 ribu ton menjadi 293 ribu ton setelah naik 599 ribu ton pada bulan sebelumnya. Diikuti oleh China yang turun 255 ribu ton menjadi 488 ribu ton setelah naik 322 ribu ton pada bulan sebelumnya, Mesir turun 71 ribu ton menjadi 50 ribu ton setelah naik 81 ribu ton pada bulan sebelumnya, Pakistan turun 64 ribu ton menjadi 224 ribu ton setelah naik 156 ribu ton pada bulan sebelumnya dan Afrika yang turun 162 ribu ton setelah naik 184 ribu ton pada bulan sebelumnya. Untuk ekspor tujuan Uni Eropa (EU) juga terjadi penurunan sebesar 77 ribu ton menjadi 198 ribu ton pada bulan Juli setelah turun juga pada bulan sebelumnya sebesar 41 ribu ton. “Dengan produksi yang mengalami turun 2%, konsumsi dalam negeri yang naik 4,67% dan ekspor yang turun 33,79%, maka stok akhir Juli kembali turun menjadi 2.513 ribu ton dari 2.818 ribu ton pada akhir Juni,” tambahnya. Terkait produksi CPO yang cenderung turun Eddy Abdurrachman sempat mengatakan bahwa satu-satunya cara untuk menambah produksi dalam negeri adalah dengan menggenjot program PSR. Dimana total lahan PSR di Indonesia mencapai 81% dari total lahan sawit di Indonesia. “Kebutuhan semakin meningkat, kalau semakin meningkat menurut saya hanya ada satu cara yaitu kita tetap menggunakan lahan yang ada. Kalau ekstensifikasi nanti muncul isu deforestasi, satu-satunya adalah dengan PSR, untuk petani rakyat yang jumlah lahannya mencapai 81% dari seluruh lahan yang ada, 16,30 juta hektar itu,” katanya. Adapun, dalam perhitungan Gapki jika Indonesia serius menerapkan program PSR mulai tahun ini, dalam jangka waktu 2-3 tahun ke depan dengan target penambahan produksi 5 ton CPO per hektar per tahun maka Indonesia akan memiliki stok tambahan CPO hingga 81,5 ton. “Iya, utamanya dengan PSR, kalau kita kejar target 5 ton per hektar per tahun dengan luasan 16,3 juta hektar (lahan sawit) kita sudah mendapat 81,5 ton. Dan kalau memang ingin mencapai target produksi 100 juta ton, kita cukup menambah areal teregradasi itu sekitar 3 juta hektar saja,” ungkap Eddy.
Adapun, berdasarkan catatan Gapki secara total realisasi program replanting baru mencapai 331.007 ha sejak program ini diluncurkan pada tahun 2017. Padahal, PSR memiliki target luasan 180.000 hektar setiap tahunnya di 21 provinsi sentral penghasil kelapa sawit di Indonesia. Adapun beberapa alasan yang membuat petani enggan melakukan PSR adalah karena terdapat perkebunan kelapa sawit yang masuk dalam kawasan hutan. Sementara, program PSR hanya bisa dilakukan pada lahan petani yang bebas kawasan hutan. Kedua, karena rendahnya dana hibah untuk program PSR yang hanya mencapai Rp 30 juta per hektare (ha). Sementara, biaya
replanting sampai menghasilkan kembali memerlukan anggaran mencapai Rp 70 juta per ha. Asal tahu saja, untuk meningkatkan dana hibah tersebut pemerintah telah meresmikan Keputusan Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Nomor Kep-252/Dpks/2024 tentang Besaran Standar Biaya Dana Peremajaan Perkebunan Kelapa Sawit Yang Dibiayai Oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit
Sehingga besar anggaran program PSR menjadi Rp 60 juta per ha atau dua kali lipatnya dari biaya yang dikeluarkan BPDPKS sebelumnya. “Dengan ini, semoga pekebun jadi semangat untuk ikut PSR,” pungkas Eddy.
Baca Juga: Menilik Dampak Penerapan PMK 62/2024 Terhadap Kinerja Ekspor CPO Indonesia Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Sulistiowati