JAKARTA. Bank Indonesia (BI) mencatat Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia per Mei 2017 sebesar US$ 333,6 miliar atau tumbuh sekitar 5,5% dari periode yang sama pada tahun 2016. Berdasarkan kelompok peminjam, posisi ULN sektor swasta meningkat dari US$ 161,6 miliar pada April 2017 menjadi US$ 165,2 miliar pada Mei 2017. Peningkatan ULN swasta pada akhir Mei 2017 tersebut terkonsentrasi di beberapa sektor, yaitu sektor keuangan, industri pengolahan, pertambangan, dan listrik, gas & air bersih. Kontribusi ULN keempat sektor tersebut mencapai 76,7% terhadap total ULN swasta. Bila dibandingkan dengan April 2017, pertumbuhan tahunan ULN sektor industri pengolahan dan sektor listrik, gas & air bersih mengalami peningkatan. Di sisi lain, ULN sektor keuangan dan sektor pertambangan masih mengalami kontraksi pertumbuhan.
Sementara posisi ULN sektor pemerintah dan Bank Sentral pada Mei 2017, tercatat US$ 168,4 miliar (50,5% dari total ULN) atau tumbuh 11,8% (yoy), lebih tinggi dari 9,2% (yoy) pada bulan sebelumnya. Pada April 2017, ULN sektor ini hanya sebesar US$ 167,87. Ekonom Samuel Sekuritas Indonesia, Lana Soelistianingsih mengungkapkan, peningkatan ULN swasta, khususnya di sektor keuangan dipicu oleh ketatnya likuiditas di dalam negeri. Ketatnya likuiditas tersebut membuat sebagian besar perusahaan melakukan aksi korporasi dengan menerbitkan obligasi. “Sektor keuangan sedang banyak mencari pendanaan, karena likuiditas di dalam negeri cukup ketat, ada keterbatasan pendanaan dari dalam negeri. Di sisi lain tabungan atau simpanan yang dihimpun juga tidak naik terlalu banyak. Sedangkan kebutuhan tinggi, itulah yang membuat harus pinjam dari luar negeri,” jelasnya pada KONTAN, Senin (17/7). Lana mengkhawatirkan, membengkaknya ULN di sektor swasta digunakan untuk refinancing atau restrukturisasi dari utang sebelumnya. Restrukturisasi adalah utang baru yang diterbitkan untuk membayar utang yang lama. “Kalau utang tersebut untuk modal kerja atau investasi, masih cukup aman. Jika refinancing atau restrukturisasi makin besar, itu yang agak bahaya. Karena misalnya saya utang, saya bayar utang lama menggunakan utang baru dengan jumlah yang lebih besar,” tutur Lana. Hasil survei BI per Mei 2017 menyatakan, ULN pada sektor swasta banyak meningkat untuk kegiatan refinancing dan kegiatan lainnya. Refinancing pada April 2017 sebesar US$ 19,38 miliar menjadi US$ 19,96 miliar pada Mei 2017. Sedangkan untuk kegiatan lain-lain membengkak dari US$19,57 pada April 2017 miliar menjadi US$ 21,59 miliar. Lana berpendapat kondisi ULN yang terus meningkat hanya akan memperpanjang supaya tidak terjadi default. “Misal saya utang, tapi tidak bisa bayar nih karena harga komoditas lagi rendah dan segala macam, tapi bagaimana lagi, pihak pengutang butuh memutar modal. Maka si pemberi utang akan menawarkan utang baru,” jelasnya. Ia bilang, utang untuk kegiatan restrukturisasi lazim dan wajar terjadi. Akan tetapi, jika restrukturisasi itu cukup besar, harus memperhatikan pula kemampuan membayar dari perusahaan tersebut, ada atau tidak. “Kalau restrukturisasinya karena harga pasar atau pihak eksternal, mungkin bisa berharap akan pulih. Tapi kalau efeknya di mana orang tersebut tidak bisa bayar, tentu harus dicermati apakah mengandung efek sistemik buat perekonomian. Efek sistemik inilah yang membahayakan,” ungkap Lana.
Belum lagi soal rasio utang jangka pendek berdasarkan jangka waktu sisa terhadap cadangan devisa pada kuartal I-2017 telah mencapai 45,66 %. Menurut Lana, kondisi tersebut sudah sangat mengkhawatirkan. Pasalnya, kondisi aman di kisaran 33% - 35% terhadap cadangan devisa. “Ekspor kita tidak bisa dikontrol karena harganya bergantung pada internasional. Memang kita harus memupuk cadangan devisa dalam jumlah besar. Karena cadangan devisa itulah yang untuk membayar,” ujarnya. Langkah lain yang bisa dilakukan adalah memastikan semua utang swasta itu dalam kondisi hedging. Maksudnya, ada jaminan atau asuransi pelindung nilai. Karena tidak ada yang bisa memastikan, kapan Rupiah akan melemah atau sebaliknya. “Asuransi yang menjamin si perusahaan itu membayar dengan kurs yang sudah disepakati dengan bank. Jadi tidak terpengaruh oleh nilai tukar. Minimal itu bisa menjamin dan tidak menyebabkan pembengkakan karena kurs,” kata Lana.
Editor: Yudho Winarto