KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dalam berinvestasi emas batangan, investor harus sadar bahwa agar memperoleh keuntungan yang maksimal, maka
time horizon-nya harus jangka panjang. Jika terlalu pendek, investor justru bisa merugi karena dalam investasi logam mulia terdapat
spread antara ketika investor beli emas dan melakukan jual emas (
buyback). Sebagai gambaran, merujuk laman Logam Mulia, pada hari ini, Rabu (24/1), harga beli emas PT Aneka Tambang Tbk (
ANTM) sebesar Rp 950.000 per gram. Namun harga
buyback emas Antam berada di level Rp 853.000 per gram. Artinya terdapat selisih atawa
spread Rp 97.000. Dalam setahun terakhir, pergerakan
spread ini cukup beragam. Misalnya, pada akhir 2020 lalu, harga jual emas Antam sebesar Rp 965.000 dengan harga
buyback Rp 110.000 sehingga terdapat
spread Rp 110.000.
Baca Juga: Cek Harga Emas Siang Ini di Pegadaian, Rabu 26 Januari 2022 Lalu, pada akhir 2021, harga beli emas batangan Antam turun menjadi Rp 938.000 per gram. Begitu pun dengan harga buybacknya yang menjadi Rp 833.000 per gram. Kendati begitu,
spread justru menyempit karena hanya menjadi Rp 105.000. Dalam kurun waktu akhir 2020 hingga sekarang,
spread logam mulia tersempit terjadi di 3 Juni 2021. Saat itu, harga beli emas sebesar Rp 964.000 dengan harga
buyback Rp 875.000. Artinya spread-nya hanya Rp 89.000. Sementara untuk
spread logam mulia paling lebar terjadi di 5 Maret 2021. Saat itu harga beli emas Antam Rp 918.000 per gram dengan harga
buyback Rp 777.000 per gram. Alhasil,
spread pada hari tersebut sebesar Rp 141.000.
Baca Juga: Kinerja Diproyeksikan Lebih Solid, Simak Rekomendasi Saham Aneka Tambang (ANTM) Jika berkaca dari data pada periode tersebut, besar kecilnya
spread justru cenderung ditentukan oleh harga
buyback, ketimbang harga beli. Pasalnya,
spread terendah terjadi ketika harga
buyback menyentuh level tertingginya Rp 875.000. Sedangkan
spread paling lebar terjadi ketika harga buyback berada di level terendahnya Rp 777.000. Ketika harga beli mencapai level tertingginya di Rp 981.000 per gram pada 6 Januari 2021, selisihnya justru hanya Rp 108.000. Begitu pun ketika harga beli mencapai level terendahnya di Rp 903.000 pada 31 Maret 2021 dengan
spread sebesar Rp 119.000 saja. Analis DC Futures Lukman Leong mengatakan, naik turunnya
spread logam mulia tersebut sebenarnya mencerminkan volatilitas harga. Pasalnya, semakin volatile harga emas, maka semakin besar
spread-nya. Selain itu, mekanisme pasar juga mempengaruhi selisih harga dan buyback. “Namun untuk pasar emas fisik di Indonesia memang agak susah karena harga Antam dianggap sebagai acuan harga ritel emas nasional,” kata Lukman kepada Kontan.co.id, Selasa (25/1).
Baca Juga: Harga Emas Antam Naik Rp 3.000 Menjadi Rp 950.000 Per Gram Pada Hari Ini (26/1) Di satu sisi, dia menilai,
spread harga logam mulia tersebut sebenarnya masih terlalu tinggi. Menurut Lukman,
spread emas fisik idealnya tidak melebihi 5%, sementara untuk
spread harga emas batangan di Indonesia saat ini bisa berkisar di 10%. Senada, Research and Education Valbury Asia Futures Nanang Wahyudin menyebutkan,
spread tersebut memang belum ideal dan masih terlalu tinggi. Dia meyakini,
spread harga logam mulia sebaiknya berada di bawah Rp 50.000. Kendati begitu, angka tersebut dinilai sudah cukup baik karena terus membaik dan kini sudah di bawah Rp 100.000. “Secara sentimen, emas memang belum baik kondisinya karena kenaikan dolar Amerika Serikat serta yield US Treasury. Harga emas sendiri belum mengalami rally positif, sulit mengharapkan spread bisa kompetitif di tengah situasi seperti ini,” imbuh Nanang.
Baca Juga: Harga Emas Capai Level Tertinggi 2 Bulan karena Ketegangan Geopolitik Ukraina Sementara Presiden Komisioner HFX International Berjangka Sutopo Widodo juga menilai
spread logam mulia hari ini sebenarnya belum ideal. Pasalnya, pada hari Rabu, gubernur bank sentral AS akan menegaskan kembali soal kenaikan suku bunga yang sebenarnya dijadwalkan pada bulan Maret. Sutopo menyebut, panduan dari bank sentral sangat penting bagi prospek harga logam ke depan, karena tujuan dari kenaikan suku bunga adalah untuk meredam inflasi untuk kembali ke target bank sentral. “Seperti kita ketahui bola panas inflasi bergerak cepat di AS, Kanada, dan Eropa. Kenaikan inflasi terutama imbas dari harga energi dan macetnya rantai pasokan selama pandemi, apalagi ada beberapa negara yang baru-baru ini memperlakukan pengetatan kembali sehubungan dengan merebaknya Omicron,” kata Sutopo. Kemudian, dengan imbal hasil obligasi yang terkoreksi belakangan ini, sedikit banyak mendukung harga
buyback. Belum lagi ketegangan Rusia-Ukraina sedikit banyak menciptakan ketidakpastian geopolitik yang bisa mendukung harga
buyback.
Baca Juga: Simak Rekomendasi Saham untuk Sejumlah Emiten Tambang Terkait berapa lama idealnya investor berinvestasi di emas, Sutopo menilai idealnya memang jangka panjang dengan lebih dari 5 tahun agar untungnya bisa lebih maksimal. Sedangkan Nanang menyebut, investasi di logam mulia setidaknya perlu waktu 3 tahun, namun, agar lebih optimal memang secara jangka panjang, di atas 5 tahun.
“Kalau ingin mendapatkan
gain yang lebih baik, bisa jadikan emas digital sebagai alternatif.
Spread-nya lebih kompetitif sehingga nilai pembalikannya bisa lebih singkat dan tak perlu menunggu tiga tahun,” terangnya. Adapun, pada tahun ini Lukman memperkirakan harga emas spot akan ada di kisaran US$ 1.600 per ons. Dengan demikian, ia memproyeksikan harga emas logam mulia bisa berada di kisaran Rp 800.000 gram. Sedangkan untuk nilai
buyback-nya, bagi Lukman, angka idealnya ada di kisaran Rp 750.000 per gram.
Baca Juga: Begini Prospek Harga Emas di Tengah Kenaikan Inflasi AS Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati