Mengulur pasar kabel hingga keluar negeri



Walau tak setinggi perkiraan sebelumnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia selama 2014 yang ternyata hanya sebesar 5,02% tetap disyukuri oleh pelaku bisnis. Pertumbuhan sebesar itu cukup mengundang optimisme para pengusaha, termasuk para pemilik pabrik kabel.

Zaman modern menjadikan kabel sebagai komponen kehidupan sehari-hari yang tak terelakkan. Dus, potensi mengembangkan industri kabel sangat besar. Apalagi produsen kabel di Indonesia masih terbatas.

Akan tetapi, mendirikan pabrik kabel memang bukan perkara gampang. Meski masih luas, pasar kabel Indonesia didominasi oleh sejumlah pabrik kabel dengan skala industri besar.


Meski begitu Gatot Puguh Bayuaji, pemilik PT Central Wire Industrial (CWI), melihat masih ada peluang berbisnis kabel dengan skala usaha lebih kecil. Pabriknya yang berlokasi di Surabaya, Jawa Timur, sudah memproduksi kabel bermerek Yunitomo sejak 2003.

Produksi kabel di CWI tak hanya memenuhi permintaan dalam negeri. Pabrik ini juga mengekspor ke beberapa negara di kawasan Amerika Utara, Asia Pasifik, Eropa, dan Timur Tengah. “Untuk pasar Asia sendiri masih sudah dikuasai produsen Tiongkok. Masih sulit untuk ditembus,” ungkapnya.

Gatot menjelaskan kebutuhan kabel di Indonesia sangat besar, baik untuk rumahtangga maupun industri. Akan tetapi, saat ini, pasar kabel masih didominasi para pemain lama. Permintaan kabel yang dilakukan secara tender dikuasai pabrik besar tersebut.

Salah satu hal menarik, menurut Gatot, krisis finansial selalu menjadi momok bagi produsen kabel. Terbukti setiap terjadi krisis keuangan selalu menyulitkan industri kabel. Krisis kredit perumahan di Amerika Serikat (AS) pada 2008 juga dirasakan oleh pabrik kabel di Indonesia. Gelombang tsunami yang berepisentrum namun menyebar ke seluruh dunia itu memukul permintaan kabel dari dalam negeri maupun luar negeri. “Bagaimanapun produk kabel berkaitan langsung dengan kondisi di luar negeri karena bahan baku masih impor,” ucapnya.

Krisis tersebut menyebabkan harga komoditas dunia runtuh. Akibatnya, permintaan kabel pun berkurang drastis. Bisnis kabel sempat lesu selama dua tahun. “Penurunan permintaan sejauh ini terjadi pada 2008–2009, tapi setelah itu kami bisa bertahan dan permintaan terus tumbuh,” kata Gatot.

Sebagai perbandingan, sepanjang tahun 2006, kebutuhan kabel di CWI mencapai 24.000 kilometer. Sementara itu, pada tahun 2013, permintaan kabel Yunitomo melonjak menjadi sekitar 36.000 km per bulan.

Krisis finansial tidak lantas membuat perusahaan ini menjadi bangkrut. CWI beralih memenuhi kebutuhan pasar di luar negeri yang waktu itu memiliki prospek lebih cerah. Selain itu, sejak 2014, CWI mulai berekspansi dengan memproduksi kabel tahan api.

Menurut Gatot, kebutuhan kabel ada pada semua industri. Secara umum, ada tiga jenis kabel: kabel tanah yang dipendam, kabel udara, dan kabel rumahan. Tiga jenis kabel tersebut bisa dipecah lagi menjadi kabel tegangan tinggi dan tegangan rendah.

CWI khusus memproduksi jenis kabel tanah dan kabel udara tegangan rendah. Semua jenis kabel yang diproduksi memiliki bungkus pelindung. Gatot bilang, hingga kini ada 18 produk kabel yang diproduksi CWI.

CWI menetapkan harga yang beragam terhadap setiap produk kabel, dengan kisaran harga Rp 29.500–Rp 150.000 per meter. Untuk jenis kabel yang dipesan secara khusus, harganya bisa lebih mahal dari itu.

Gatot menuturkan, harga jual ditentukan oleh mekanisme pasar dan kebijakan Asosiasi Pabrik Kabel Listrik Indonesia (Apkabel). “Perbedaan harga produk kabel Yunitomo dengan produk kabel dari pabrik lain tidak mencapai Rp 1.000 per meter,” terangnya.

Sekarang, kapasitas produksi kabel Yunitomo mencapai 30 km per hari. Gatot bilang, selama 2012 dan 2013, omzet yang diraup CWI ada pada kisaran Rp 5 miliar–Rp 6 miliar per bulan. Adapun laba bersih dari usaha ini sekitar 10%–15%.

Dalam hal pemasaran, CWI menerapkan penjualan lewat distributor. Saat ini, CWI memiliki 18 distributor di seluruh Indonesia.

Adapun untuk menangani penjualan di luar negeri, CWI memiliki distributor sendiri yang dibagi tiap regional. Gatot juga bilang, pabriknya menetapkan minimal order untuk pembelian secara langsung ke pabrik, sebanyak tiga gulungan kabel. Tiap gulungan terdiri dari 3.000 meter kabel.

Butuh biaya besar

Anda tertarik menjajal usaha ini? Siapkan dana bejibun. Pasalnya, bisnis ini tidak bisa dimulai dari skala kecil-menengah. Gatot mengatakan, pembelian mesin untuk memproduksi kabel saja membutuhkan investasi miliaran rupiah. “Produksi kabel harus dalam skala pabrik,” ujar dia.

Gatot menambahkan, bahan baku pembuatan kabel pun harus diimpor dan dipesan dalam jumlah yang besar. Makanya, selama ini produsen kabel pastilah merintis pabrik dulu.

Gatot menerangkan, kualitas kabel di tiap pabrik dalam negeri hampir sama. Meskipun bukan pionir, tapi CWI memiliki produk yang cukup dibanggakan. Contohnya kabel tahan api Yunitomo yang tak akan meleleh jika dipanaskan hingga suhu 1.200º Celcius. Bahkan, pelindung kabel tetap utuh dan kabel tidak korsleting.

Hanya saja, ada produsen lama yang sudah merajai pasar sehingga pasar kabel sulit ditembus untuk pemain baru. “Pertempuran pasar di dalam negeri terlalu kuat,” ungkapnya. Sementara, persaingan untuk produk kabel masih lebih mudah diatasi.

Nah, kalau ada pemain baru, Gatot menyarankan untuk membidik pasar di luar negeri. Bahkan 85% dari total penjualan kabel Yunitomo berada di pasar luar negeri. Hal ini juga terjadi pada produsen kabel dari luar negeri yang berniat merebut pasar Indonesia. “Kami bicara sistem. Sekarang sistemnya seperti itu, produsen besar yang sudah lama yang menguasai. Jadi pemain baru pun harus pintar-pintar untuk mencari celah pasar,” cetus dia.

Kalau memang mengganggap terlalu repot untuk jadi produsen, Anda juga bisa memulai sebagai distributor kabel. Gatot menuturkan, sekarang lebih nyaman untuk jadi reseller atau distributor kabel. Akan tetapi, untuk jadi distributor juga membutuhkan modal besar.

Yang membedakan antara satu kabel dengan kabel lainnya adalah campuran bahan baku yang digunakan. Di samping itu, konsumen cenderung mencari kabel yang lentur tapi juga kuat. “Semakin lentur, semakin bagus kualitas kabelnya, tapi ini juga dipengaruhi oleh diameter kabel dan kekuatan bungkus kabel,” ujar dia.

Adapun bahan baku kabel terdiri dari karet, polietilena, PVC, dan beberapa bahan lain seperti aluminium. Gatot bilang, sebagian besar bahan baku harus diimpor. Namun, ada juga bahan yang bisa dibeli di pasar dalam negeri, seperti aluminium dari PT Inalum.

Mesin untuk membuat kabel pun juga diimpor. CWI mengimpor sebagian besar mesinnya dari Tiongkok. Gatot bilang, untuk kualitas lebih bagus, bisa juga mengimpor mesin dari Jerman. Mesin ini dibeli dalam bentuk rangkaian. Tiap rangkaian terdiri dari tujuh hingga delapan buah mesin.

Harga beli rangkaian mesin tersebut dalam kondisi seken bisa mencapai Rp 3 miliar. Walaupun dalam keadaan bekas, mesin masih beroperasi hingga 20 tahun. Mesin cadangan memang perlu, tapi menurut Gatot tidak perlu menyetok serangkaian mesin. Cukup membeli jenis mesin yang rentan rusak atau tidak tahan lama.

CWI memproduksi kabel sesuai pesanan. Cara pembuatannya dimulai dengan memasukkan semua bahan baku ke dalam mesin produksi. Nah, dalam rangkaian mesin itu, proses yang terjadi ialah tembaga dipilin sesuai ketebalan. Lalu, kabel yang sudah jadi harus dibungkus agar tidak timbul korslet-ing. Jika sudah terlindung, kabel siap untuk dikemas dalam gulungan dari bahan kayu.

Untuk kemasan kayu, CWI memiliki divisi sendiri yang memproduksinya. Gatot bilang, saat ini ada kemasan gulungan kabel yang terbuat dari plastik buatan China. Kemasan ini bisa digunakan berkali-kali. Namun harganya masih terlalu mahal. Dus, CWI membuat sendiri kemasan dari kayu rangon untuk menekan biaya produksi. Kekurangannya, gulungan kayu hanya bisa digunakan sekali. Selain itu, sumber kayu pun semakin menipis.

Sebagian besar proses produksi mengandalkan mesin. Namun, tenaga manusia masih dibutuhkan untuk mengangkat kabel untuk dikemas. Sisanya untuk tenaga pemasaran. Sekarang, total karyawan CWI berjumlah 230 orang.

Gatot melanjutkan, untuk merintis pabrik pembuatan kabel, modal yang diperlukan bisa mencapai Rp 11 miliar. Modal itu digunakan untuk menyewa tanah, membangun pabrik, membeli mesin dan bahan baku, serta mengurus perizinan.

Pabrik kabel setidaknya memiliki ISO 9001 tentang manajemen mutu dan ISO 14001 tentang keselamatan lingkungan. Pabrik CWI dibangun di lahan seluas 1,2 hektare.

Pria berusia 37 tahun ini juga menambahkan, agar bisa berjalan dengan lancar, bisnis ini butuh waktu hingga empat tahun. Dulu CWI sempat menargetkan akan mencapai titik impas usaha pada 2007. Namun, imbas krisis moneter membuat target itu mundur jadi 2018. “Sampai 2011, aset masih lemah, permintaan cenderung datar. Setelah 2011 baru permintaan melandai naik hingga saat ini,” ujar Gatot.

Yang baru harus jeli incar segmen pasar

Industri kabel di Indonesia tahun ini diharapkan bakal terus menjulur. Dasar prediksi itu adalah kebutuhan kabel dalam negeri sangat besar. Dus, peluang untuk masuk ke dalam bisnis kabel pun terbuka lebar.

Noval Jamalullail, Ketua Umum Asosiasi Pabrik Kabel Listrik Indonesia (Apkabel), menegaskan, permintaan kabel di Indonesia melimpah. Ia menuturkan, Pemerintah Indonesia masih harus mengembangkan banyak proyek infrastruktur. Agenda itu jelas membutuhkan kabel, baik kabel listrik maupun kabel telekomunikasi, yakni serat optik.

Menurut Noval, potensi bisnis kabel di masa mendatang sangat bagus. Apalagi saat ini PLN tengah menyiapkan proyek pembangkit listrik 35.000 megawatt. Proyek sebelumnya, yakni 10.000 MW, dikerjakan dalam jangka enam tahun. Nah, proyek baru ini diprediksi akan selesai dalam 10 tahun. “Dengan kata lain, setidaknya 10 tahun lagi, bisnis ini pasti terus berkembang,” tandasnya. Noval mengatakan proyek ini sangat membutuhkan kabel. Jadi, mau tak mau pabrik kabel yang sudah ada harus berekspansi. Artinya, ini juga membuka peluang baru bagi pemain baru di bisnis pembuatan kabel.

Saat ini, setidaknya ada total 82 pabrik kabel di Indonesia. Perinciannya, 11 pabrik memproduksi kabel telekomunikasi, 21 pabrik memproduksi kabel listrik dari bahan aluminium, dan sisanya 50 pabrik membuat kabel listrik dari tembaga.

Untuk pemain baru, Noval menyarankan untuk membidik segmen pasar yang tepat. Setelah itu, pabrik harus mengejar volume besar untuk efisiensi. “Sebaiknya ambil proyek pemerintah, misalnya Telkom dan PLN, baru bisa bicara tentang kualitas dan sertifikasi,” tutur dia.

Dengan permintaan yang tinggi, maka kapasitas yang jadi masalah. Tahun lalu, penjualan kabel mencapai 500.000 ton. Berdasarkan proyek pemerintah, diprediksi penjualan itu bisa naik 1,5 kali lipat. “Peningkatan ini juga melihat bentuk dan ukuran kabel yang dibutuhkan,” kata Noval.

Sebenarnya prospek bisnis kabel sudah mulai terlihat tahun lalu. Namun, proses pemilu menghambat anggaran turun. Dus, penjualan di pabrik kabel pun harus tertahan sementara. “Kontrak sudah ditandatangani tahun lalu, diharapkan anggaran bisa tahun ini sesuai dengan komitmen pemerintah,” ungkapnya.      

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi