KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tensi politik menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) Tahun 2024 semakin memanas. Di tengah bayang-bayang sentimen global, pasar masih menerka, apakah Pemilu & Pilpres bisa menambah tekanan atau justru membuat pasar saham kian bergairah? Research & Consulting Manager Infovesta Utama Nicodimus Kristiantoro mengamati secara historis, masa kampanye hingga penyelenggaraan Pilpres cenderung membuat pasar lebih bergairah. Nico mencatat, musim kampanye - Pilpres 2009 membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melonjak 4,23%. Selanjutnya, terjadi kenaikan IHSG sebanyak 1,87% saat musim kampanye - Pilpres 2014. Sedangkan saat kampanye - Pilpres 2019, IHSG melejit 8,45%. "Melihat tren sebelumnya, Pemilu dan kampanye dominan meningkatkan minat pasar untuk investasi di saham domestik," kata Nico kepada Kontan.co.id, Minggu (22/10).
Financial Expert Ajaib Sekuritas Ratih Mustikoningsih menimpali, meski terjadi kenaikan pada tahun politik, tapi tidak sepenuhnya pergerakan IHSG dominan terdongkrak sentimen Pemilu & Pilpres. Pergerakan pasar saham juga bergantung pada kondisi ekonomi domestik dan global yang melingkupi saat momentum tersebut.
Baca Juga: Suku Bunga BI Naik Jadi 6%, Emiten Ini Diprediksi Untung Ratih mencontohkan lonjakan
return IHSG pada tahun 2014 terjadi lantaran pada tahun 2013 terdapat ketidakstabilan ekonomi eksternal akibat adanya
taper tantrum. Kala itu, terjadi
tapering off The Fed yang membuat derasnya
capital outflow, sehingga melemahkan nilai tukar rupiah. Serupa dengan itu, kekhawatiran pelaku pasar saat ini antara lain menyangkut depresiasi nilai tukar rupiah dan
out flow investor asing di pasar ekuitas domestik. Namun, otoritas telah merespons. Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan sebanyak 25 basis points menjadi 6%. Kebijakan ini diharapkan bisa meredakan kekhawatiran pasar atas kondisi tersebut. Sehingga bisa menjaga stabilisasi nilai tukar rupiah dan mengurangi derasnya arus modal asing yang keluar dari pasar keuangan domestik. Pengamat Pasar Modal & Founder WH-Project William Hartanto sepakat, Pemilu dan Pilpres menjadi katalis bagi pasar saham. Namun, sentimen eksternal dan domestik lainnya tetap punya peran yang signifikan. William justru melihat IHSG cenderung melemah sebelum Pilpres, dan akan menguat lagi setelahnya.
Baca Juga: IHSG Naik 0,12% di Sesi I Jumat (20/10), Saham BBRI Ikut Menguat Menurut William, pasar juga masih mempertimbangkan sejumlah katalis yang bisa mendorong penguatan IHSG. Meliputi musim rilis laporan keuangan, antisipasi terhadap
window dressing, serta kenaikan harga batubara menjelang musim dingin. Secara teknikal, IHSG bisa bertahan di atas
support MA200. Usai anjlok 1,18% pada Kamis (19/10) saat kenaikan suku bunga acuan BI, IHSG bisa berbalik menguat tipis 0,04% ke level 6.849,16 pada perdagangan Jumat (20/10). "Kemarin itu sudah jenuh jual. MA200 ini berperan sebagai
support penentu, jika kemarin masih ditembus juga maka sudah bisa dikatakan bahwa IHSG menuju
downtrend," ungkap William. Dalam perdagangan sepekan ke depan, William memproyeksikan IHSG menguat terbatas dengan
resistance di 6.920. Sedangkan sampai tutup tahun 2023, ada peluang menuju ke level 7.000-7.123.
Baca Juga: Bukan BREN, Ini Saham Dengan Persentase Kenaikan Terbesar Saat IHSG Turun 1% Sepekan Di tengah risiko global yang masih membayangi, Nico memprediksi musim kampanye Pilpres dapat menopang pergerakan IHSG. "Saya memprediksi IHSG masih sanggup menunjukkan tajinya di dua bulan terakhir 2023, seiring sentimen perputaran uang di musim kampanye yang diekspektasikan meningkatkan daya beli," terang Nico. Ratih sepakat, likuiditas yang bertambah di masyarakat berpotensi meningkatkan konsumsi. Dia memprediksi IHSG pada kuartal IV-2023 berpeluang kembali ke level 7.000. Apalagi dengan fundamental ekonomi yang masih solid, akumulasi pada saham berkapitalisasi besar (big caps) tetap menarik. Menurut Ratih, pelaku pasar bisa melirik saham di sektor perbankan serta sektor
consumer primer maupun
non-primer. Nico mengamini selain saham
consumer goods, sentimen kampanye juga identik dengan
bullish-nya saham perbankan, khususnya
big caps. Baca Juga: IHSG Tumbang 1,12% Sepekan, Investor Asing Jualan Saham-Saham Bank Besar Saham-saham Milik Tokoh Politik
Selain consumer dan bank, Nico juga menyoroti saham telekomunikasi dan media yang bisa terpapar sentimen positif dari momentum Pemilu & Pilpres. Di samping itu, sebagian pelaku pasar biasanya juga melirik saham-saham milik tokoh politik. Kondisi itu tampak terulang kembali, ketika saham PT Mahaka Media Tbk (
ABBA) dan PT Mahaka Radio Integra Tbk (
MARI) mengalami lonjakan cukup signifikan. Kenaikan harga ABBA dan MARI sejalan dengan spekulasi Erick Thohir hendak menjadi calon wakil presiden (cawapres) dari Prabowo Subianto. "Saham-saham milik tokoh politik identik juga dengan spekulatif atau memanfaatkan isu momentum berita. Ketika berita positif, maka akan naik signifikan dalam jangka pendek, begitu pula sebaliknya," ujar Nico. Dus, jika tertarik uji nyali mengoleksi saham-saham tokoh politik yang mengambil peran di Pemilu dan Pilpres, Nico mengingatkan agar cermat memperhatikan setiap perkembangan berita. "Contohnya saham ABBA dan MARI yang menguat karena terangkat isu Erick Tohir menjadi cawapres. Bisa jadi berubah gerak dan terkoreksi jika Erick batal menjadi cawapres," imbuh Nico.
Baca Juga: Kejutan di Pasar Menggoyang Gerak IHSG Sepekan Terakhir Selain Erick bersama ABBA dan MARI, ada sejumlah tokoh pemenangan Pilpres yang terafiliasi dengan emiten di Bursa Efek Indonesia. Dari komposisinya, yang paling banyak berada di kubu Ganjar Pranowo - Mahfud MD. Tengok saja nama tenar, semisal Ketua Tim Pemenangan Nasional (TPN), Arsjad Rasjid, bos dari PT Indika Energy Tbk (
INDY). Masih dari tim Ganjar - Mahfud, ada Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Sandiaga Uno, serta Ketua Umum Partai Perindo, Hary Tanoesoedibjo. PPP dan Perindo merupakan bagian dari pengusung pasangan Ganjar - Mahfud. Seperti diketahui, Sandi Uno merupakan salah satu nakhoda dari PT Saratoga Investama Sedaya Tbk (
SRTG). Sedangkan Hary Tanoe merupakan bos dari MNC Grup, yang memiliki emiten dengan multi sektor. William mengamati, respons pasar terhadap saham-saham milik tokoh politik akan berbeda. Bagi yang langsung masuk gelanggang capres-cawapres, pasar akan lebih tertarik. Contohnya pada Erick Thohir lewat kenaikan saham ABBA dan MARI.
Baca Juga: Dua Dampak Kenaikan Bunga bagi Emiten Berbeda dengan saham Grup Saratoga dan Grup MNC yang belakangan ini belum terpapar sentimen yang signifikan. "Namun jika di waktu yang akan datang ada nama mereka disebut untuk isu yang bersifat positif, penguatan harga sahamnya bisa jadi momentum
trading," sebut William. Sehingga, pelaku pasar bisa terlebih dulu
wait and see sebagai
watch list terhadap saham-saham milik tokoh politik. Nico mengingatkan, pelaku pasar tetap perlu mengombinasikan dengan analisa teknikal, momentum sektoral dan fundamental perusahaan. Nico mencontohkan saham ABBA dan MARI yang secara fundamental kurang kondusif, namun secara teknikal masih mengindikasikan
time to buy. Berbeda dengan INDY dan SRTG yang secara teknikal lebih mengindikasikan
time to sell. Namun, secara fundamental INDY lebih kondusif. Sedangkan SRTG masih dibayangi kerugian. Dus, jika ingin melirik saham-saham punya tokoh politik, jangan ragu untuk menerapkan
stop loss guna meminimalisir kerugian.
Baca Juga: IHSG Melemah 1,12% di Pekan Ini, Simak Sentimen yang Menyeretnya "Investor mesti pandai dan bijak dalam berinvestasi di saham yang pemiliknya tokoh politik. Jangan sampai salah langkah dan justru menambah kerugian untuk portofolio sendiri," terang Nico. Di luar saham-saham yang dimiliki oleh tokoh politik, menjelang momentum Pemilu dan Pilpres ini Nico menyarankan saham-saham bank, consumer goods dan telekomunikasi. Rekomendasinya adalah
BBCA,
BBRI,
MYOR,
ICBP,
AMRT,
TLKM, dan
EXCL. Sementara itu, Ratih mengusulkan
trading plan terhadap
ICBP (target harga Rp 11.400 dan
cut loss jika
break support Rp 10.200),
BMRI (target harga Rp 6.150 dan
cut loss jika
break support Rp 5.500),
MAPI (target harga Rp 2.050 dan
cut loss jika break Rp 1.780) serta
ACES (target harga Rp 850 dan
cut loss jika
break support Rp 720). Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati