Mengupas masalah likuiditas yang menimpa Asuransi Jiwasraya



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kasus gagal bayar industri keuangan kembali muncul. Kali ini masalah terjadi pada PT Asuransi Jiwasraya yang tengah terbelit masalah likuiditas. Alhasil, perusahaan asuransi milik negara ini menunda pembayaran polis yang jatuh tempo produk bancassurance asuransi jiwa yang berbalut investasi atau saving plan yang dijual bersama sejumlah bank sebagai agen penjual. 

Sedianya, produk saving plan ini akan jatuh tempo pada Oktober 2018. Direktur Utama Jiwasraya Asmawi Syam mengatakan, saving plan yang jatuh tempo dan tidak bisa dilunasi Jiwasraya saat ini sebesar Rp 802 miliar.   Setidaknya ada tujuh bank yang menjadi agen penjual produk saving plan milik Jiwasraya. Yakni PT Bank Tabungan Negara, Bank ANZ, Bank QNB, PT Bank Rakyat Indonesia, Bank KEB Hana, Bank Victoria dan Standard Chartered Indonesia. 

Beberapa bank sudah mendapat pemberitahuan dari Jiwasraya soal keterlambatan pembayaran polis asuransi yang jatuh tempo. Dalam surat pemberitahuan itu disebutkan, keterlambatan pembayaran terjadi karena pemenuhan pendanaan masih dalam proses. Atas keterlambatan ini, Jiwasraya memutuskan untuk memberikan bunga 5,75% per tahun.


Produk saving plan milik Jiwasraya ini mulai beredar di masyarakat sejak tahun 2013 dengan masa kontrak selama lima tahun. Produk ini juga dilengkapi opsi bagi nasabah untuk menarik keluar dana investasinya setiap tahun.

Nilai premi awal produk saving plan ini mulai dari Rp 100 juta. Namun, ketentuan nilai premi awal ini berbeda-beda tergantung kebijakan masing-masing bank sebagai agen penjual.

"Imbal hasil yang ditawarkan dulu sekitar 6,5% per tahun nett. Namun sudah diturunkan menjadi 6% nett sejak Juni 2018," jelas Hexana Tri Sasongko, Direktur Investasi dan Teknologi Jiwasraya.

Hexana bercerita, salah satu penyebab macetnya pembayaran dana nasabah yang sudah jatuh tempo lantaran penurunan nilai aset yang menjadi portofolio saving plan. 

Dari total dana kelolaan saving plan, sebanyak 75% berbentuk aset produk finansial seperti saham, reksadana, surat berharga negara (SBN), obligasi korporasi dan obligasi BUMN. "Dari portofolio dalam produk finansial itu, sebanyak 80% beredar di pasar saham dan reksadana," jelas Hexana.

Yang menjadi persoalan, Jiwasraya tidak bisa mencairkan asetnya di saham, yang saat ini sedang mengalami penurunan nilai aset akibat kondisi pasar yang tengah tertekan. "Sebagai BUMN, kami tidak bisa cut loss," terang Hexana.

Sementara dari total portofolio produk saving plan tersebut, sekitar 25% berupa tanah dan properti. Ini yang juga menyulitkan manajemen Jiwasraya memperoleh dana tunai guna memenuhi kewajibannya kepada nasabah. "Mengenai komposisi portofolio, ini sudah warisan dari manajemen lama," tutur Hexana.

Hexana mengatakan, sejak awal tahun 2018, net dana investasi baru yang diperoleh Jiwasraya dari produk saving plan ini sudah negatif. Artinya, praktis sejak Hexana beserta jajaran direksi baru Jiwasraya resmi menduduki jabatan di perusahaan ini per 27 Agustus 2018, tidak ada dana baru yang bisa mereka investasikan.

Belakangan, Jiwasraya memutuskan untuk menyicil pembayaran bunga polis yang jatuh tempo. Per 15 Oktober 2018, Jiwasraya telah membayarkan bunga atas 1.286 polis asuransi JS Proteksi Plan yang jatuh tempo sebesar Rp 96,58 miliar.  

Jiwasraya juga menyiapkan strategi untuk mengatasi gagal bayar pembayaran polis jatuh tempo. Asmawi bilang, untuk nasabah yang ingin memperpanjang masa jatuh tempo polis pokok, Jiwasraya mempersiapkan pembayaran di muka bunga roll over selama satu tahun sebesar 7%.

Sedangkan untuk pemegang polis yang tidak ingin melakukan roll over, Jiwasraya memberikan bunga pengembangan efektif sebesar 5,75 % p.a netto sesuai surat Jiwasraya kepada mitra bank tertanggal 10 Oktober 2018.

Peringatan OJK

Sejatinya, kasus kesulitan likuiditas yang dialami Jiwasraya tidak terjadi begitu saja. Bahkan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator jauh-jauh hari telah memperingatkan Jiwasraya terkait hal ini.

Deputi Komisioner Pengawasan Industri Keuangan Non Bank (INKB) II OJK Moch.Ichsanuddin mengatakan, sejatinya OJK telah mengendus potensi kendala likuiditas Jiwasraya sejak awal 2018 dari laporan berkala yang diserahkan ke OJK.

Berdasarkan analisis OJK, setidaknya ada dua poin yang menjadi perhatian. Pertama, soal tren kinerja investasi. Tahun ini kinerja pasar modal memang menurun dan berdampak pada hasil investasi industri asuransi jiwa, termasuk Jiwasraya. Di sisi lain, Jiwasraya memiliki portofolio saving plan yang menjanjikan imbal hasil cukup tinggi bagi nasabah.

Karenanya, OJK mengingatkan manajemen Jiwasraya untuk menjaga likuiditasnya agar kewajiban ke pemegang polis bisa terpenuhi.

Kedua, menurut Ichsanuddin perolehan premi yang masuk ke kantong Jiwasraya juga melorot. Imbasnya beban likuiditas Jiwasraya semakin berat lantaran pendapatan yang masuk tak mampu menutup selisih likuiditas.

Sepanjang 2017, total premi yang berhasil dikumpulkan Jiwasraya sebesar Rp 21,9 triliun. Tapi, hingga bulan keempat tahun ini, premi yang berhasil diraih baru sekitar Rp 3 triliun. "Bahkan sampai saat ini pun preminya masih belum sampai Rp 8 triliun," terang Ichsanuddin, Kamis (18/10).

Menurutnya, manajemen Jiwasraya juga sudah berupaya membenahi likuiditas. Sialnya kondisi pasar modal memang tidak mendukung. Padahal sebagai BUMN, Jiwasraya tak bisa seenaknya melakukan cut loss. "Kalau mereka cut loss bisa dianggap merugikan negara," katanya.

Terkait solusi yang ditawarkan Jiwasraya, OJK menyatakan akan memonitor kesepakatan yang telah dicapai bersama pemegang polis. "Sehingga masing-masing pihak memiliki kejelasan mengenai kewajiban yang jatuh tempo, dengan berbagai opsi yang dipahami dan disetujui oleh kedua belah pihak," jelas Riswindandi, Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank OJK dalam keterangan resminya Senin (15/10).

OJK mengingatkan kepada direksi Jiwasraya untuk lebih memperhatikan implementasi tata kelola yang baik, pengelolaan manajemen risiko yang lebih baik, serta melakukan kehati-hatian investasi yang didukung dengan pemanfaatan teknologi.

Jiwasraya juga harus senantiasa berkoordinasi dan melaporkan kepada regulator dan pemegang saham.

Perkuat pengawasan

Terungkapnya masalah likuiditas PT Asuransi Jiwasraya membuat fungsi pengawasan OJK turut dipertanyakan. Maklum saja, dalam hal ini lagi-lagi nasabah yang harus dirugikan.

Pengamat asuransi sekaligus Ketua Sekolah Tinggi Manajemen Risiko & Asuransi (STIMRA) Jakarta, Hotbonar Sinaga menyebut, sejak kelahiran wasit industri keuangan ini pada 2013 lalu, OJK memang sudah punya instrumen pengawasan terhadap lembaga jasa keuangan (LJK) termasuk asuransi, baik itu secara langsung, maupun tidak langsung.

Pengawasan secara langsung dilakukan lewat pemeriksaaan rutin atau bila ada laporan dari pihak terkait. Sementara pengawasan tidak langsung, dilakukan melalui sistem pelaporan semisal assesment manajemen risiko dan instrumen compliance lainnya.

Namun menurut Hotbonar, pengawasan terhadap manajemen LJK seperti jajaran direksi masih minim. Biasanya dilakukan sebatas mekanisme uji kepatutan dan kelayakan. "Yang sulit dicari tahu adalah integritas para eksekutif ini," kata dia, Minggu (14/10).

Menurut Hotbonar, regulator harus mewajibkan perusahaan lembaga jasa keuangan untuk mengimplementasikan whistle blowing system yang menyediakan mekanisme palaporan bila ada penyimpangan yang dilakukan oleh orang dalam. Sanksinya harus tegas dan membuat efek jera, semisal dengan penerbitan list of improper executives, yang diterbitkan secara berkala, misalnya tiap kuartal.

Hotbonar bilang, ini sangat penting lantaran fraud yang menyebabkan lembaga jasa keuangan bermasalah lazimnya dilakukan oleh direksi yang memikul tanggungjawab bila ada kerugian. 

Namun, harus dibedakan antara masalah karena faktor internal dan eksternal. Masalah karena kecurangan manajemen tentunya beda dengan masalah yang disebabkan kondisi ekonomi semisal kondisi pasar modal atau bencana alam.

Hotbonar bilang, harus diakui OJK juga kekurangan tenaga pengawas. Karenanya, ia menyarankan agar masalah ini segera dipecahkan dengan merekrut tenaga-tenaga baru yang berintegritas.

Sementara itu, Risza Bambang, perencana keuangan dan konsultan Aktuaria mengatakan, kasus kesulitan likuiditas Jiwasraya ini juga selayaknya menjadi momentum introspeksi dan evaluasi bagi industri dan regulator. "Terutama dalam mengaplikasikan prinsip-prinsip aktuaria," jelasnya.

Menurut Risza, model investasi berbalut asuransi seperti ini cenderung berhadapan dengan risiko turunnya bunga investasi jika keadaan ekonomi tidak kondusif.

Alhasil, dapat mengakibatkan perusahaan terancam kesulitan untuk membayar polis jatuh temponya kepada nasabah.

Kata Risza, meskipun perusahaan asuransi telah memiliki aktuaris, diperlukan evaluasi fungsi mereka sebagai Aktuaris Publik yang bertanggungjawab terhadap masyarakat luas, bukan semata kepada perusahaan asuransi yang membayar gaji dan kompensasinya.

“Para Aktuaris juga harus menyadari bahwa regulator mereka bukan hanya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tapi juga Kementerian Keuangan pada Biro Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (P2PK) yang memberikan lisensi Aktuaris Publik bagi Aktuaris yang memenuhi syarat,” terangnya.

Selain diperlukan tenaga pemasaran dan manajemen asuransi/bank yang lebih memahami moral hazard secara mendalam, menurutnya peran regulator sebagai pemberi izin produk untuk menganalisa lebih mendalam terkait kesesuaian produk dengan demand yang ada di masyarakat juga perlu diperhatikan.

“Perlu evaluasi bagi perbankan yang menjadi Point of Sales (PoS) dengan mengutilisasi jaringan cabang dan database nasabahnya, apalagi bank dapat komisi atas penjualan ke nasabahnya,” tuturnya.

Risza juga menekankan diperlukan kesadaran dari masyarakat dalam hal berinvestasi secara aman disamping melakukan investasi secara riil, yakni dapat juga melalui institusi keuangan yang menjual produk investasi.

“Yang paling penting adalah masyarakat tidak boleh naif. Jika mau investasi maka carilah produk perbankan, sekuritas, aset management, properti, logam mulia, saham. Jika mencari proteksi maka beli produk asuransi, dengan kata lain kalau ke perusahaan asuransi maka carinya adalah proteksi. Sehingga elemen terpenting atau yang utama dari produk asuransi adalah proteksi, sedangkan investasi hanya jadi bonus saja,” jelasnya.

Alternatif solusi terbatas

Hotbonar bilang, untuk menghadapi kesulitan likuiditas ini, perusahaan asuransi pelat merah tersbeut dihdadpkan pada alternatif pilihan yang sulit.

Menurutnya, jika benar rasio solvabilitas atau Risk Based Capital (RBC) perusahaan ini per Oktober mengalami minus 70%, artinya saat ini perusahaan dalam keadaan keuangan yang tidak sehat. 

Sejatinya, kata Hotbonar Jiwasraya masih berkesempatan untuk memperbaiki RBC lantaran hitungan RBC merupakan perhitungan tahunan.

Beberapa cara yang dapat dilakukan menurut Hotbonar diantaranya yakni; Pertama, Jiwasraya meminta pinjaman sub ordinasi dari pemegang saham yang diajukan kepada DPR melalui Kementerian BUMN. Dengan syarat, jika pinjaman dikenakan bunga maka bunga yang dikenakan harus lebih rendah daripada tingkat bunga pasar sekaligus ada jadwal pengembalian.

“Juga bisa diberikan catatan tambahan bahwa pinjaman sub ordinasi kepada pemegang saham akan dikembalikan jika perusahaan telah memenuhi standar RBC minimum dari otoritas yakni 120%,” katanya.

Kedua, meminta tambahan setoran dari pemegang saham atau istilah lainnya penyertaan modal negara. Sayangnya, dua alternatif ini butuh proses yang lama lantaran harus dimintakan persetujuan ke Kementerian BUMN dan ke DPR. Jika memilih alternatif ini, paling cepat Jiwasraya baru bisa mendapat kucuran dana dalam waktu setahun.

Ketiga, mengajukan pinjaman kepada pihak ketiga dengan konsekuensi bunga yang tinggi.

Keempat, perusahaan menjual aset. Ini dapat dilakukan oleh perusahaan dengan kepemilikan aset properti dalam jumlah besar. Dengan catatan mendapat persetujuan dari para pemegang saham untuk menjual aset agar mendapatkan setoran kas.

Namun, konsekuensinya adalah perusahaan harus membayarkan capital gain atau selisih antara nilai aset dengan harga jual aset yang dihitung sebagai pajak penghasilan.

Meski sebenarnya perusahaan dapat melakukan penjualan atas portofolio investasinya, namun Hotbonar tidak menyarankannya. Sebab, jika melihat kondisi pasar modal saat ini yang trennya menurun, peluang merugi justru akan dialami perusahaan.

Untuk perusahaan BUMN, upaya cut loss yang menyebabkan kerugian akan dinilai sebagai pelanggaran atas Undang-Undang tentang Keuangan Negara. Dengan kata lain menyebabkan kerugian negara.

“Saat ini alternatif terbaik untuk Jiwasraya serba terbatas, karena dihadapkan pada keadaan yang sulit,” katanya.

Alternatif yang bisa dilakukan untuk mengatasi produk yang mengalami mismatch, Hotbonar menyarankan untuk perusahaan melakukan penarikan produk.

“Perusahaan bisa melakukan penarikan produk yang menyebabkan mismatch. Selain itu bisa dilakukan renegosiasi kepada para pemegang polis melalui bank-bank yang bekerjasama lewat jalur bancassurance. Dengan kata lain melonggarkan beberapa persyaratan yang memudahkan perusahaan asuransi untuk membayar kewajibannya, bukan melakukan pembatalan polis,” jelasnya.

Peninjauan kembali kemudian dirasa perlu untuk produk perusahaan yang menyebabkan mismatch. Sebagai catatan, jika perusahaan asuransi memberhentikan penjualan produk asuransinya, perusahaan harus mendapatkan persetujuan dari OJK.

Selanjutnya, OJK sebagai regulator akan mewajibkan perusahaan asuransi yang mengalami kesulitan untuk merancang dan menjalankan business plan paling tidak untuk satu tahun hingga tiga tahun ke depan.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi