Masalah ojek
online bukan masalah tarif, tapi masalah persaingan sempurna. Kenapa sekarang pendapatan sopir ojek
online menjadi sama dengan upah minimum regional (UMR)? prosesnya sederhana. Saat ojek
online baru berdiri, sistem transportasi ini sangat efisien, cepat, mudah, dan murah. Maka penumpang mulai berbondong-bondong beralih ke ojek
online. Sementara itu tukang ojek masih sedikit, penumpangnya sudah banyak. Sesuai dengan hukum ekonomi (saat permintaan tinggi dan suplai rendah, maka produsen akan untung besar), pendapatan rata-rata sopir ojek
online menjadi sangat tinggi. Tapi ada hukum ekonomi lainnya, pendapatan yang tinggi, akan menarik orang untuk masuk. Tingginya pendapatan rata-rata sopir ojek online saat itu, bahkan menarik pekerja kantoran alih profesi menjadi sopir ojek
online. Pekerjaan sopir dengan gaji manajer kenapa tidak. Maka berbondong-bondonglah orang menjadi sopir ojek online. Walaupun penumpang ojek
online terus tumbuh, tapi kalah cepat dengan pertumbuhan sopir ojek
online.
Yang tadinya mereka mudah mencari penumpang, mulai sulit mencari penumpang. Persaingan antar sopir ojek
online menjadi lebih ketat. Sampai akhirnya, pendapatan sopir ojek
online sama seperti pekerjaan
non skilled lainnya atau kurang lebih sama dengan UMR. Karena sudah sama dengan penghasilan rata-rata pekerjaan lainnya, maka tidak ada lagi orang pindah kerja secara besar-besaran menjadi sopir ojek
online. Jadi kondisi pendapatan sopir ojek
online saat ini adalah keseimbangan baru. Dan keseimbangan baru ini akan bertahan lama sampai ada sistem baru lainnya yang lebih efisien. Kalau pemerintah mengikuti aspirasi para sopir ojek online dengan meningkatkan tarif dari Rp 1.250-Rp 1.600 menjadi Rp 4.000, hal yang sama akan terjadi kembali. Penurunan jumlah penumpang akan terjadi tapi tidak terlalu besar karena dengan tarif Rp 4.000 ojek
online masih lebih efisien daripada taksi dan lebih cepat daripada angkot. Pendapatan sopir ojek
online akan meningkat lagi melebihi rata-rata penghasilan pekerjaan lainnya. Kemudian orang akan berbondong-bondong daftar menjadi sopir ojek online seperti yang terjadi sebelumnya. Alih profesi besar-besaran ini akan terus terjadi sampai pendapatan sopir ojek online sama dengan rata-rata pendapatan dari pekerjaan yang lainnya. Proses ini sama persis dengan proses sebelumnya. Jadi kenaikan tarif tidak akan menaikkan pendapatan sopir ojek
online secara permanen. Pendapatan rata-rata sopir ojek
online yang mendekati atau sama dengan rata-rata UMR adalah produk dari keseimbangan sistem. Tidak bisa dalam satu ekosistem ada suatu pekerjaan yang memiliki pendapatan jauh lebih tinggi dari pekerjaan lainnya sementara tidak ada barier untuk alih profesi. Ini tidak bisa dilawan. Pemerintah pun tidak akan bisa mengendalikan keseimbangan sistem alami seperti ini. Setiap intervensi pemerintah akan selalu kembali pada posisi semula. Akibat lainnya dari menaikkan tarif ojek
online adalah jumlah sopir ojek
online dan sepeda motor yang parkir di jalan-jalan karena menunggu penumpang menjadi lebih banyak lagi. Jumlah sopir ojek
online menjadi lebih banyak. Waktu tunggu mereka menjadi lebih panjang. Jalan-jalan akan makin dipenuhi oleh ojek online yang setengah pengangguran karena terlalu lama menunggu penumpang. Akhirnya ojek
online akan menjadi tidak efisien, sama seperti angkot, yang ngetem di mana-mana karena menunggu penumpang terlalu lama. Alternatif lainnya adalah sistem kuota atau pembatasan jumlah sopir ojek online di Tanah Air. Namun sistem penerapan kuota ini sulit. Saat ini ada dua pengelola ojek
online yang dominan setelah Uber diakuisisi oleh Grab (Grab dan Gojek). Bagaimana cara memberikan kuota pada keduanya? Dua-duanya sedang bersaing meningkatkan inovasi sistem dan layanan untuk meningkatkan okupasi pasar. Yang lebih banyak melakukan inovasi akan tumbuh lebih cepat. Ketika dibatasi kuota, maka mereka tidak perlu lagi membuat inovasi. Karena bukan inovasi yang menjadi dasar tumbuhnya bisnis mereka, tapi kuota. Sistem kuota secara pelan-pelan akan membunuh ojek online sebagaimana saudara tuanya, angkot. Selama puluhan tahun angkot sama sekali tidak berkembang. Tidak ada inovasi dan peningkatan layanan. Karena untuk meningkatkan okupasi pasar dan meningkatkan ukuran bisnisnya, pengusaha angkot tidak perlu membuat inovasi tapi cukup mengejar kuota trayek. Kuota dilanggar Itu pun kuota trayek banyak yang dilanggar. Banyak angkot ilegal. Banyak pihak yang menjual izin trayek (kuota) angkot. Sampai akhirnya jumlah angkot lebih banyak dari penumpangnya. Persaingan menjadi tidak sehat. Para sopir ngetem di mana pun di sepanjang jalan dan menciptakan kemacetan, hanya untuk bertahan hidup. Tarif angkot sebenarnya lebih dari cukup untuk membuat sopirnya memperoleh pendapatan yang layak dan para pengusaha angkot menghidupkan bisnisnya. Mereka juga tidak perlu ngetem di jalan-jalan. Itu kalau okupasi penumpang mereka terisi secara optimum. Okupasi yang optimum ini hanya dimungkinkan kalau jumlah angkutan kota dan penumpangnya seimbang, tidak berlebih seperti sekarang. Walaupun tidak seekstrim angkot, nasib ojek
online bisa saja ke arah over capacity kalau pemerintah menaikkan tarif. Kenaikan tarif tidak akan meningkatkan pendapatan sopir ojek online, namun hanya menambah jumlah ojek
online di jalanan dan menyebabkan over capacity, sebelum akhirnya bisa menimbulkan permasalahan baru.
Tidak ada yang bisa dilakukan dengan peningkatan pendapatan sopir ojek online. Sebab, pendapatan mereka adalah refleksi yang sebenarnya dari pendapatan minimum masyarakat kita atau yang kita formalkan sebagai UMR. Pendapatan rata-rata sopir ojek
online akan meningkat dengan sendirinya ketika UMR meningkat atau kesejahteraan ekonomi secara umum meningkat dan sebaliknya akan menurun dengan sendirinya saat kesejahteraan secara umum menurun. Yang perlu diatur dan dibuatkan regulasi oleh pemerintah adalah safety, standar minimum operasional, serta hubungan sopir ojek online dan perusahaan agar lebih berimbang. Selama ini yang menjadi keluhan para sopir adalah bonus untuk penumpang yang dibebankan kepada sopir. Harusnya ini menjadi biaya perusahaan. Perlu dibuatkan juga regulasi kewajiban minimum perusahaan kepada para sopir sehingga ada hubungan karyawan - perusahaan sebagaimana perusahaan lain. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi