JAKARTA. Ketua Pelaksana Timnas Pengambilalihan Bisnis TNI (Timnas PAB) Erry Riyana Hardjapamekas belum juga memberikan angka pasti berapa nilai bisnis TNI yang sebenarnya dan berapa banyak aset TNI yang dikomersialkan. "Rencananya, September 2008 ini hasil rekomendasi dari Timnas sudah bisa diserahkan ke Presiden untuk ditindaklanjuti. rekomendasi tersebut juga mencakup draft Perpres tentang bisnis TNI," ujar Erry dalam keterangan pers Hari Senin (11/8) di Hotel Sultan. Menurut Erry, saat ini timnya telah membentuk empat kelompok kerja (pokja) yaitu Pokja Yayasan, Pokja Koperasi, Pokja Bidang Lainnya dan Pokja Khusus yang tugasnya menginventarisasi jumlah unit bisnis TNI baik yang tergabung dalam yayasan maupun dalam koperasi. "Saat ini Pokja Yayasan dan Koperasi telah berhasil melakukan inventaris dan verifikasi terhadap 1.139 unit bisnis dari jumlah 1.261 unit," terang Erry yang memperkirakan bisnis TNI lebih dari Rp 1,3 triliun. . Dalam kesempatan yang sama, Rizal Sukma, Deputi Executive Director CSIS yang mendampingi Erry dalam acara tersebut memperingatkan bahwa permasalahan reformasi bisnis TNI telah melebar ke masalah teknis dan hukum. Misalnya saja untuk SD dan TK di pulau terpencil yang diadakan tentara untuk memberikan pendidikan bagi anak-anak mereka dan umum, terbukti sangat membantu penyelenggaraan pendidikan di pulau terpencil. "Masalahnya kalau SD dan TK itu diserahkan ke Depdiknas, apakah Depdiknas siap menyelenggarakan pendidikan di pulau terpencil itu?" tukas Rizal. Lalu untuk Rumah Sakit yang dikelola TNI, apakah rumah sakit tersebut akan diserahkan ke Depkes atau di bawah Dephan. Masalah lainnya datang dari sisi hukum, di mana UU tentang yayasan memperbolehkan siapa saja untuk membuat yayasan. "Makanya kalau pengambilalihan ini tidak disertai dengan rekomendasi yang tepat, bisa berujung tuntutan ke pemerintah," lanjut Rizal. Rizal sendiri sebagai salah satu tim Pokja Khusus memberikan empat wacana skema pengambilalihan bisnis TNI. Pertama, untuk Rumah Sakit yang dikelola TNI, terlepas di bawah departemen mana atau tetap di bawah komando angkatan masing-masing, statusnya akan dijadikan Badan Layanan umum (BLU). Untuk aset TNI berupa tanah yang disewa oleh pihak lain, maka pemasukan sewa akan masuk ke kas pendapatan negara bukan pajak (PNBP). Kemudian skema ketiga adalah penarikan TNI-TNI aktif dari pucuk pimpinan perusahaan. Dan skema keempat adalah menertibkan koperasi TNI agar menjadi semata koperasi yang melayani simpan pinjam atau kebutuhan pokok anggota TNI dan keluarganya. Rizal juga berpendapat bahwa bisnis TNI sekarang bukanlah bisnis TNI dulu yang berkibar akibat campur tangan penguasa. "Kebanyakan bisnis TNI digunakan untuk kegiatan sosial seperti tunjangan kematian," imbuh Rizal. Rizal juga menolak mitos bahwa bisnis militer menghasilkan Rp 64 triliun per tahun untuk menutupi kekurangan anggaran pertahanan. Baik Erry dan Rizal merasa perlu dilakukannya upaya reformasi pertahanan dan budgeting pertahanan hanya berdasar pada anggaran negara semata. "Karena adanya gap antara jumlah anggaran dengan kebutuhan pertahanan bisa mendorong TNI melakukan bisnis," lanjut Erry.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Mengurai Bisnis TNI
JAKARTA. Ketua Pelaksana Timnas Pengambilalihan Bisnis TNI (Timnas PAB) Erry Riyana Hardjapamekas belum juga memberikan angka pasti berapa nilai bisnis TNI yang sebenarnya dan berapa banyak aset TNI yang dikomersialkan. "Rencananya, September 2008 ini hasil rekomendasi dari Timnas sudah bisa diserahkan ke Presiden untuk ditindaklanjuti. rekomendasi tersebut juga mencakup draft Perpres tentang bisnis TNI," ujar Erry dalam keterangan pers Hari Senin (11/8) di Hotel Sultan. Menurut Erry, saat ini timnya telah membentuk empat kelompok kerja (pokja) yaitu Pokja Yayasan, Pokja Koperasi, Pokja Bidang Lainnya dan Pokja Khusus yang tugasnya menginventarisasi jumlah unit bisnis TNI baik yang tergabung dalam yayasan maupun dalam koperasi. "Saat ini Pokja Yayasan dan Koperasi telah berhasil melakukan inventaris dan verifikasi terhadap 1.139 unit bisnis dari jumlah 1.261 unit," terang Erry yang memperkirakan bisnis TNI lebih dari Rp 1,3 triliun. . Dalam kesempatan yang sama, Rizal Sukma, Deputi Executive Director CSIS yang mendampingi Erry dalam acara tersebut memperingatkan bahwa permasalahan reformasi bisnis TNI telah melebar ke masalah teknis dan hukum. Misalnya saja untuk SD dan TK di pulau terpencil yang diadakan tentara untuk memberikan pendidikan bagi anak-anak mereka dan umum, terbukti sangat membantu penyelenggaraan pendidikan di pulau terpencil. "Masalahnya kalau SD dan TK itu diserahkan ke Depdiknas, apakah Depdiknas siap menyelenggarakan pendidikan di pulau terpencil itu?" tukas Rizal. Lalu untuk Rumah Sakit yang dikelola TNI, apakah rumah sakit tersebut akan diserahkan ke Depkes atau di bawah Dephan. Masalah lainnya datang dari sisi hukum, di mana UU tentang yayasan memperbolehkan siapa saja untuk membuat yayasan. "Makanya kalau pengambilalihan ini tidak disertai dengan rekomendasi yang tepat, bisa berujung tuntutan ke pemerintah," lanjut Rizal. Rizal sendiri sebagai salah satu tim Pokja Khusus memberikan empat wacana skema pengambilalihan bisnis TNI. Pertama, untuk Rumah Sakit yang dikelola TNI, terlepas di bawah departemen mana atau tetap di bawah komando angkatan masing-masing, statusnya akan dijadikan Badan Layanan umum (BLU). Untuk aset TNI berupa tanah yang disewa oleh pihak lain, maka pemasukan sewa akan masuk ke kas pendapatan negara bukan pajak (PNBP). Kemudian skema ketiga adalah penarikan TNI-TNI aktif dari pucuk pimpinan perusahaan. Dan skema keempat adalah menertibkan koperasi TNI agar menjadi semata koperasi yang melayani simpan pinjam atau kebutuhan pokok anggota TNI dan keluarganya. Rizal juga berpendapat bahwa bisnis TNI sekarang bukanlah bisnis TNI dulu yang berkibar akibat campur tangan penguasa. "Kebanyakan bisnis TNI digunakan untuk kegiatan sosial seperti tunjangan kematian," imbuh Rizal. Rizal juga menolak mitos bahwa bisnis militer menghasilkan Rp 64 triliun per tahun untuk menutupi kekurangan anggaran pertahanan. Baik Erry dan Rizal merasa perlu dilakukannya upaya reformasi pertahanan dan budgeting pertahanan hanya berdasar pada anggaran negara semata. "Karena adanya gap antara jumlah anggaran dengan kebutuhan pertahanan bisa mendorong TNI melakukan bisnis," lanjut Erry.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News