Mengurai rantai distribusi cabai rawit (1)



JAKARTA. Bulan Maret ini adalah bulan ketiga harga cabai rawit berada dalam kategori pedas bagi masyarakat banyak. Maklum sejak pergantian tahun hingga saat ini kenaikan harga cabai rawit ini tidak juga bisa ditangani pemerintah.

Berdasarkan pengamatan KONTAN di beberapa pasar tradisional, harga cabai masih bertengger kisaran Rp 150.000-Rp 160.000 per kilogram (kg). Menariknya, pemerintah sendiri heran dengan fenomena ini.

Saya juga heran, pergerakan harga cabai rawit ini liar sekali sejak awal tahun, sampai tembus Rp 160.000 per kg, ujar Spudnik Sujono, Dirjen Hortikultura, Kementerian Petanian (Kemtan) kepada KONTAN pekan lalu.


Karena tak mendapatkan penjelasan secara rinci dari lembaga pemerintah yang membawahi urusan pertanian, KONTAN pun mencoba menelusuri penyebab harga cabai rawit bergerak liar, hingga hingga lima kali lipat dari biasanya.

Ternyata pasar pun merasakan keresahan seperti yang dialami konsumen dengan lonjakan harga cabai rawit ini. Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi), Abdullah Mansuri mengatakan ada lima rantai distribusi cabai dari petani hingga konsumen. Ini menyebabkan harga cabai rawit mustahil turun dalam waktu dekat.

Abdullah bilang, upaya mengerek harga cabai rawit setinggi-tingginya didukung oleh cuaca buruk. Kondisi itu seolah-olah menjadi pembenaran bagi pedagang untuk menaikkan harga. Padahal, konsumen harus membayar biaya distribusi cabai lebih tinggi daripada harga cabai itu sendiri. "Setiap rantai distribusi mengambil untung antara Rp 10.000-Rp 20.000 per kg tergantung permintaan di wilayah tersebut," ujar Abdullah.

Pada saat cuaca buruk seperti saat ini, harga cabai rawit naik dua kali lipat di tingkat petani. Jika biasanya harga cabai rawit hanya berkisar Rp 30/000-Rp 40.000 per kg, maka harga dari petani saat ini sudah tinggi, bisa berkisar Rp 60.000-Rp 70.000 per kg.

Tengkulak kecil yang mengambil cabai dari petani mengerek harga dengan mengambil untung sekitar Rp 10.000 per kg. Dari tangan mereka, cabai lantas beralih ke tengkulak skala besar atau pengepul.

Dari tangan tengkulak besar, cabai rawit diangkut ke pasar induk di tiap-tiap daerah, dan ditampung oleh bandar atau pedagang besar. Tengkulak besar biasanya membidik keuntungan sebesar Rp 20.000 per kg. Angka itu sudah termasuk biaya transportasi.

Sesampai di pasar induk, cabai pun dialirkan kepada pedagang eceran yang membawanya ke berbagai pasar tradisional. Lagi-lagi, bandar besar di pasar induk mengutip keuntungan sekitar Rp 10.000 - Rp 20.000 per kg. Besaran margin yang diambil bandar besar bergantung pada banyak sedikitnya cabai yang pembelinya, yaitu pedagang eceran.

Dari tangan pedagang eceran di pasar, baru cabai rawit beralih ke konsumen. Tentu, harga yang harus dibayar sudah melangit karena tiap rantai distribusi mengutip untung.

Anton, seorang bandar cabai di Pasar Induk Kramat Jati Jakarta mengatakan kenaikan harga dipicu karena pasokan cabai yang masuk ke pasar induk saat ini sedang seret. Satu hari biasanya bisa ambil rata-rata 30 ton 40 ton, sekarang hanya tinggal 9 ton 12 ton," tuturnya.

Anton mengklaim membeli cabai dari pengepul besar dengan harga Rp 110.000-Rp 120.000 per kg, tergantung harga pasar. Anton menjual stok cabainya ke para pedagang eceran.

(Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dupla Kartini