KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Hampir dua dekade, sengketa kepemilikan saham antara PT Aryaputra Teguharta dengan PT BFI Finance Tbk (BFIN) tak kunjung usai. Hingga kini, Aryaputra terus menuntut pengembalian 111.804.732 lembar saham miliknya yang dinilai dialihkan BFI secara ilegal. Mengurai sengkarut ini, kita perlu kembali ke pangkal masalah. Ketika BFI memberikan kredit kepada induk perusahaan Aryaputra, PT Ongko Multicorpora pada 1997, dan 1998 dengan nilai yang diperkirakan mencapai US$ 100 juta. Krisis moneter yang menghantam Indonesia pada medio tersebut turut membuat BFI limbung. Atas utang yang diberikannya, BFI kemudian minta jaminan kepada Ongko. 1 Juni 1999, diberikanlah jaminan saham BFI milik Ongko sebanyak 98.387.180 ditambah 111.804.732 saham BFI milik Aryaputra, sehingga totalnya 210.192.912 saham.
Mengikat kepastian gadai saham tersebut, BFI tandatangani perjanjian
Consent of Transfer dan
Irrevocable Power of Attorney to Sell Shares pada 7 Agustus 2000. Isinya masing-masing memberikan kuasa kepada BFI untuk mengalihkan dan menjual saham-saham yang digadai Ongko. Pangkal kemelutnya, akta gadai sedianya berakhir pada 1 Juni 2000, tapi sempat diperpanjang menjadi 18 bulan sehingga akta gadai akan berakhir pada 1 Desember 2000. Sebab, pada 1 November 2000, BFI mengajukan upaya sukarela Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Dari laporan keuangan BFI 2007, diketahui dalam PKPU tersebut BFI punya tanggungan sebesar DM 5,36 juta, US$ 160 juta, dan Rp 105 miliar. Pada 7 Desember 2000, proses PKPU BFI berakhir damai. BFI kemudian merestrukturisasi utangnya dengan ketentuan: 33% dari seluruh tagihan dibayar tunai kepada masing-masing kreditur. Tagihan senilai US$ 2,5 juta dikonversi menjadi pinjaman berjangka. Sejumlah US$ 157.740.000 dikonversi menjadi obligasi wajib konversi untuk menjadi 414.384.585 saham baru perusahaan. Dan 6,65% dari jumlah pinjaman yang direstrukturisasi ditukar dengan 41.818.700 saham. Dalam proposal perdamaian tersebut juga ditambahkan bahwa saham-saham milik Ongko dan Aryaputra kemudian dijual kepada Law Debenture Trust Corporation, dengan ketentuan 41.818.700 saham atau senilai 6,65% tagihan tadi jadi sumber pembayaran ke kreditur, 84.736.813 saham dijual kepada investor baru, dan 83.637.399 saham dijual kepada manajemen dan karyawan. Head Corporate Communication BFI Dian Fahmi menjelaskan, ikhtiar pengalihan saham tersebut dilandasi oleh akta gadai dan perjanjian-perjanjian turunannya, termasuk persetujuan oleh Aryaputra dan Ongko atas perjanjian perdamaian dalam PKPU BFI. "Seluruh pengalihan tersebut adalah bagian dari restrukturisasi hutang Perusahaan, di mana PT Arya Putra Teguharta merupakan penjamin atas hutang dari beberapa anak usaha Ongko Grup kepada Perusahaan dan tidak dapat dilunasi, sehingga pada akhirnya saham yang dijaminkan oleh APT tersebut dialihkan sesuai dengan Perjanjian Perdamaian yang telah diratifikasi oleh Pengadilan Niaga pada tanggal 19 Desember 2000," katanya kepada KONTAN. Pun Dian menambahkan bahwa sejatinya akta gadai tak berakhir pada 1 Desember 2000, melainkan 1 Desember 2001, dan hal tersebut disetujui oleh Ongko pada RUPSLB. Dari penelusuran KONTAN, Ongko memang menyetujui perpanjangan tersebut pada RUPSLB 27 Januari 2000, dan 22 Agustus 2000. Sayangnya, kata Fathan Nautika, kuasa hukum Aryaputra dari kantor hukum HHR Lawyer, persetujuan Ongko bukan berarti persetujuan Aryaputra. "Ongko memang pernah memperpanjang jangka waktu akta gadai, tapi bukan kami (Aryaputra) karena memang dasarnya Ongko dan Aryaputra adalah entitas yang berbeda. Lagipula, dalam akta gadai, Aryaputra bukan penerima kredit (obligor), kami hanya penjamin," katanya kepada KONTAN. Ini yang kemudian jadi dasar Aryaputra pada 2003 menggugat BFI mengembalikan saham-sahamnya. Perkara ini berlangsung hingga 2006 dengan keluarnya putusan peninjauan kembali 240/PK/PDT/2006 yang menyatakan peralihan saham oleh BFI adalah perbuatan melawan hukum. Eksekusi tak dapat dilaksanakan Meski telah keluar Putusan Mahkamah Agung 240/PK/PDT/2006 yang menyatakan peralihan saham adalah perbuatan melawan hukum, nyatanya hingga kini sengketa terus berlanjut lantaran keluarnya keputusan bahwa implementasi putusan alias eksekusi saham tak dapat dilakukan (
non-executable). "Sesuai dengan penetapan ketua PN Jakpus 26 Januari 2018, saat ini status terakhir dari kasus perdata ini adalah
non-executable," kata Dian. Kuasa hukum BFI Anthony Hutape pun menilai lantaran adanya ketetapan yang
non-executable ini, maka Putusan PK 240/PK/PDT/2006 beesifat merupakan amar putusan yang kabur. "Kami yakin rekan menyadari bahwa apabila suatu amar putusan pengadilan kabur atau tidaknjelas atau tidak memberikan secara terperinci apa yang menjadi hak dan kewajiban para pihak, serta apabila tidak menyebutkan secara jelas objek sengketa maka putusan tersebut adalah putusan yang tidak bisa dieksekusi," kata Anthony dalam keterangan resmi yang diterima KONTAN, Kamis (24/5). Menanggapi hal ini, Fathan kembali menyanggah. Dia menyebut ketetapan non-executable tak serta merta menganulir putusan tersebut. Lagipula ia menjelaskan, mengapa ketetapan tak bisa dieksekusi lantaran saham memang telah dialihkan terlebih dahulu. Dan komposisi kepemilikan saham BFI terus berlangsung sangat dinamis. "Sebenarnya Pengadilan Jakarta Pusat sudah keluarkan ketetapan untuk eksekusi, kemudian dieksekusi oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena penyimpan saham yaitu Chase Manhattan ada di Selatan. Tapi karena saham sudah dialihkan maka Chase Manhattan waktu itu bilang saham sudah tak ada di mereka," jelasnya. Dalam proses peralihan saham sendiri antara BFI dan Law Debenture, Chase Manhattan Bank memang menjadi safe keeping paying agent, kemudian ada pula Royal Bank of Scotland sebagai facility agent, dan Ernst & Young menjadi monitoring account. Ketiga pihak ini, memang jadi turut tergugat dalam gugatan Aryaputra sejak awal. Lantaran dinilai memuluskan peralihan saham dari BFI ke Law Debenture. Dan tak mengindahkan hak Aryaputra sebagai pemiliknsaham sah ketika itu.
Corporate fraud dan kepemilikan saham BFI Kuasa hukum Aryaputra Pheo Hutabarat dari kantor hukum HHR Lawyer menduga adanya tindakan corporate fraud atas peralihan saham milik Aryaputra. Sebab saat mengalihkan saham dalam proses homologasi PKPU ada ketentuan dikana oara petinggi-petinggi BFI kala itu Presiden Direktur Francis Lay Sioe Ho, Direktur Cornellius Henry Kho, dan Direktur Yan Peter Wangkar dapat saham total 60.827.199 sebagai bentuk bonus dan renumerasi karyawan atas 83.637.399 saham yang jadi ketentuan pola insentif dan renumerasi karyawan. Rinciannya Francis dapat 22.810.199 saham, sementara Cornellius dan Yan Peter masing-masing mendapat 19.008.500 saham. "Setelah saham 32,32% milik Aryaputra dikuasai secara melawan hukum oleh BFI melalui fronting companies, kemudian untuk sementara saham tersebut ditampung terlebih dahulu dalam jangka waktu belasan tahun oleh pihak ketiga yang mengaku investor, yang kami duga dalam hal ini adalah Trinugaraha Capital," papar Pheo. Salah satu indikasi yang disebutkan Pheo untuk memuluskan tindakan corporate fraud ini sendiri, dengan mempertahankan orang-orang lama agar skema ini dapat berlangsung mulus. "Sampai sekarang Francis masih menjadi Presiden Direktur BFI, harusnya kalau ada investor masuk direksi bisa berganti. Dan selama ini BFI tidak right issue, hanya stock split saja," jelasnya. Sementara dari penelusuran KONTAN atas laporan keuangan BFI Finance 2003-2017, struktur kepemilikan saham BFI memang sangat dinamis. Pada 2003 misalnya Law Debenture yang membeli saham BFI pada proses PKPU tersebut masih memiliki 12,28% saham di BFI. Sementara saham terbanyak dipegang oleh Bank of Bermuda dengan kepemilikan 15,30%. Tak bertahan lama, 2005 jadi akhir Law Debenture memiliki saham BFI dengan persentase 11,27%. Pemegang saham terbesar kala itu adalag HSBC Bank dengan 17,34% saham, dan Bank of Bermuda 14,03% saham. Pada 2006, kepemilikan saham lebih dari 5% yang tercatat berubah total dari tahun sebelumnya. Pun tak tercatat atas entitas maupun nama perseorangan melainkan melalui lembaga-lembaga kustodian. Mereka adalah Morgan Stanley + CO Int Ltd Client dengan 17,79%, Credit Suisse 17,44%, dua akun HSBC Fund Service masing-masing 7,02%, dan 5,50%, Chase Jakarta 5,08%, dan HSBC IT TST 5,08%. Hingga akhirnya pada 2011 konsorsium Trinugeraha Capital yang terdiri dari TPG Capital, Northstar Grup, dan pengusaha Garibaldi Thohir memborong 44,95% saham BFI senilai Rp 1,44 triliun atau setara dengan US$ 168 juta. Hingga 2017 posisi Trinugeraha capital terus kokoh jadi pengendali BFI dengan komposisi saham kepemilikan terakhir senilai 42,80% pada 2017. "Akhirnya saham-saham tersebut dilepas (
exit strategy) melalaui tender offer ke investor mancanegara," sambung Pheo. Aksi Korporasi Trinugraha Capital September 2017, Bloomberg melaporkan rencana Trinugraha Capital hendak melepas saham-sahamnya di BFI dengan nilai mencapai US$ 1 miliar. Dan terakhir pada 6 Maret 2018, Bloomberg melaporkan setidaknya telah ada 10 penawar yang berminat. "Trinugraha Capital Setidaknya sudah menerima 10 penawaran, dan targetnya pada pertengahan tahun sudah ada pemenang," kata sumber Bloomberg. Beberapa peminat tersebut antara lain Warburg Princus, Taiwan’s Cathay Financial Holding Co, Korea’s Shinhan Financial Group Co, Baring Private Equity Asia. Ini yang kemudian membuat berang Aryaputra, dan kembali menuntut kepemilikan sahamnya. Beberapa langkah hukum telah dilakukan Aryaputra melalui HHR Lawyer. Pada 16 Mei 2018, Aryaputra telah melayangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), dengan menggugat Menteri Hukum dan HAM, serta Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum lantaran memberikan pengesahan atas peralihan saham-saham BFI terdahulu. Pada waktu yang sama Aryaputra juga telah meminta Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan pengusutan atas hal yang sama. Sementara pada 18 Mei 2018, Aryaputra telah melaporkan Francis, Cornlelius, dan Yan Peter ke Kepolisian atas dugaan
corporate fraud tadi. Atas beberapa langkah hukum tersebut, Dian sendiri menjawab diplomatis. Pun mempersilakan OJK untuk mengusut peralihan saham tersebut.
"Kami mempersilahkan OJK untuk melakukan prosedur yang sesuai dengan ketentuan OJK," katanya. Sementara soal rencana aksi korporasi Trinugraha Capital, ia bilang bahwa sengketa dengan Aryaputra yang kini kembali mengemuka tak menganggu operasi bisnis BFI. "BFI Finance adalah perusahaan terbuka sejak lama. Apapun yang kami lakukan adalah sesuai dengan prinsip GCG. Jadi karena itu, kegiatan operasional Perusahaan akan terus berjalan sebagaimana mestinya," lanjutnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sanny Cicilia