JAKARTA. Tahukah Anda, di mana sesungguhnya sumber tambang duit? Jawabannya adalah di pasar saham. Mari kita lihat. Saat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menembus rekor baru ke posisi 4.311,31 pada perdagangan Jumat (5/10), total dana yang "tersimpan" di Bursa Efek Indonesia (BEI) nyaris Rp 4.000 triliun. Nilai ini berpaut sekitar Rp 1.000 triliun lebih tinggi ketimbang total nilai simpanan nasabah perbankan yang sekitar Rp 3.000 triliun per Juli 2012. Nilai pasar saham itu setara dengan 46% total produk domestik bruto (PDB) Indonesia tahun ini. Sebagai catatan, pemerintah memproyeksikan tahun ini nilai PDB Indonesia sekitar Rp 8.550 triliun.
Sayang, kendati amat besar, hanya segelintir orang yang bisa menikmati dan tahu manisnya madu pasar saham. Sebab, berdasarkan data BEI, hingga September 2012, total investor bursa saham hanya 355.241 orang atau 0,1% dari total penduduk Indonesia yang sekitar 238 juta jiwa. Pertumbuhan kelas menengah baru di Indonesia masih belum seirama dengan pertumbuhan investor di pasar saham (lihat infografik). Nah, dari sekian gelintir orang yang bisa menikmati sedapnya pasar saham, terselip nama Lo Kheng Hong. Saat ini, hampir 90% aset pria berumur 53 tahun itu tersimpan dalam bentuk saham. Hoki dan kisah Lo di pasar saham memang spektakuler. Lihat saja, tahun 2005, Lo membeli saham PT Multibreeder Adirama Indonesia Tbk (MBAI). Waktu itu, harga saham MBAI masih Rp 250 per saham. Tahun lalu, harga saham MBAI Rp 31.500 per saham atau naik 12.500%. "Keuntungan itu sudah saya realisasikan," ujar pria yang turut menjadi pembicara dalam seminar di Indonesia Financial Expo and Forum (IFEF) 2012 yang dihelat KONTAN, 5-7 Oktober 2012 kemarin. Lo juga pernah membeli saham PT Timah Tbk di tahun 2002 seharga Rp 285. Dua tahun kemudian, harga saham TINS naik 917,5% menjadi Rp 2.900 per saham. Begitu juga saat ia berinvestasi di saham PT United Tractors Tbk (UNTR). Dia membeli UNTR di harga Rp 250 per saham. Tahun 2004, dia menjual seharga Rp 1.350 per saham atau meraup capital gain 440% dari modal awal. Apa sesungguhnya rahasia kesuksesan Lo? "Saya hanya mau bersabar dan menghindari spekulasi," ungkapnya dengan nada merendah. Namun, dia mengakui tak asal membeli saham. Lo menerapkan beberapa kriteria sebelum membeli saham. Misalnya, dia selalu melihat manajemen si emiten saham. Dia hanya mau membeli saham yang dikelola oleh manajemen terpercaya dan memiliki track record baik. Bahkan, "Saya menempatkan kriteria ini di posisi pertama," kata Lo. Selain itu, dia hanya memilih saham emiten yang memiliki kinerja keuangan konsistensi dalam lima tahun berturut-turut. Dia juga mencermati masa depan dan kelangsungan usaha si emiten. "Saya juga membeli saham yang saya nilai sudah murah," kata dia. Begitulah kisah Lo, yang selama 23 tahun, dengan modal awal yang boleh dibilang sedang-sedang saja, tekun berinvestasi di saham. Kini, Kakek Lo memiliki sekitar 21 saham emiten. Sejumlah kalangan menaksir, nilai aset saham ayah dua anak itu sudah lebih dari Rp 1 triliun. Benarkah? Sayang, Lo merahasiakannya. Selain Lo yang sudah masuk investor kawakan, sejumlah orang juga makin serius mencoba peruntungan di pasar saham. Sebut saja Adrian Maulana, seorang selebriti yang mulai berinvestasi di saham tahun 2009.
Awalnya, dia membeli reksadana di tahun 2005. Ternyata nilainya naik 150%. Kenaikan itu memancing Adrian terjun ke dunia saham. Hasil investasi saham di putarkan lagi di saham. "Saya menyarankan membeli saham untuk jangka panjang, paling tidak, lima tahun," kata dia. Pengalaman sama juga dialami musisi Piyu. Pria itu mengawali investasi di tahun 2007, dengan membeli reksadana. Namun dia mengaku tidak puas dengan hasil investasi di reksadana. Tahun 2008, Piyu membeli saham PT Bumi Resources Tbk seharga Rp 775 per saham. Ia kemudian menjual di Rp 2.000 per saham. Kini, Piyu memilih menjadi trader. Menurutnya, trader tak hanya harus paham analisis teknikal, tapi juga harus mengontrol emosi. Sekarang, gitaris band Padi ini mengaku memenuhi kebutuhannya dari hasil trading saham. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Asnil Amri