KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Desember, secara tradisional, merupakan bulan yang menyenangkan bagi pelaku pasar di Bursa Efek Indonesia. Dari analisis saya terhadap
daily returns IHSG dari Januari 2000 hingga Agustus 2009, Desember dapat dinobatkan sebagai Bulan Terbaik, karena memiliki
daily return terbesar (0,27%). Kita semua tahu akhir tahun selalu jadi momen penting bagi perusahaan, yaitu saat tutup buku sebelum memulai lembaran baru di tahun buku berikutnya. Pelaku industri keuangan (
institutional investor), khususnya pengelola reksadana, akan meninjau ulang dan menganalisa kinerja portofolio mereka selama enam bulan terakhir. Berdasarkan peraturan Bapepam-LK, investor reksadana berhak mendapat laporan keuangan reksadana yang telah diperiksa akuntan publik sekali setiap 6 bulan. Ada dugaan sebagian besar pengelola dana (
fund managers) melakukan
window dressing supaya laporan tahunan ke investor tampak lebih cantik dari biasanya (lihat misalnya Meier dan Schaumburg, 2004; Kapugu dan Whardani, 2008).
Ini bisa dicapai dengan menjual saham yang dianggap pecundang (
losing stocks), saham yang kinerjanya jelek berdasarkan harga 3-6 bulan terakhir. Dananya dipakai membeli saham yang sedang bersinar atau popular (
top performer stocks) di peiode yang sama. Lewat
window dressing, pengelola dana akan terlihat cukup cerdas menginvestasikan dana pada
winning stocks. Sebagai taktik pemasaran, tindakan ini masuk akal. Investor baru akan berpikir
fund manager secara konsisten berhasil memilih saham berkinerja bagus. Tapi, dari sudut pandang memaksimumkan imbal hasil,
window dressing bisa kontra-produktif karena mendorong
fund managers menjalankan skenario
buy high, sell low. Apalagi jika setelah periode tutup buku berlalu
fund manager segera menjual saham-saham yang dipakai bersolek. Apa dampak
window dressing terhadap harga saham dan investor? Kecenderungan untuk melepas saham yang sedang merugi akan menekan lebih dalam harga saham tersebut. Apalagi jika investor institusi besar menjual saham pecundang secara serentak. Ini kesempatan ambil untung bagi
contrarian investor atau
trader yang biasanya membeli saham saat mayoritas investor menjual. Seperti ungkapan Nathan Rothschild, investor legendaris Inggris,
The best time to buy is when blood is running in the streets. Pada akhir tahun mereka akan membeli saham yang mungkin sudah
undervalued pada harga diskon, kemudian mengharapkan harga saham tersebut pulih saat tekanan jual dari
window dressing berkurang. Sebaliknya, harga saham yang berkinerja baik akan melambung makin tinggi ketika para
fund manager yang melakukan
window dressing mencoba memasukkan cerita sukses ini ke dalam portofolio mereka. Maka saham yang mungkin sudah
overvalued akan semakin kemahalan. Sekali lagi,
contrarian trader bisa mengambil keuntungan dengan menjual sahamnya saat kebanyakan investor membelinya. Mereka memperkirakan harga akan segera terkoreksi setelah periode
window dressing berlalu. Namun
contrarian bukan satu-satunya strategi yang dipakai pelaku pasar. Sebagian dari mereka mencoba menangguk keuntungan dari fenomena
window dressing dengan menerapkan
momentum investing. Ini strategi yang memanfaatkan kelanjutan (
continuance) dari sebuah tren harga di bursa.
Momentum investor atau
trader yakin kenaikan harga yang tajam dari sebuah saham akan diikuti oleh kenaikan berikutnya. Setiap kenaikan menjadi momentum bagi kenaikan berikutnya. Sebaliknya penurunan tajam harga saham akan diikuti penurunan lanjutan.
Momentum investor bermain pada saham yang harganya bergerak cepat. Akibatnya, berbeda dari
contrarian investing, momentum trader justru mengikuti arus dengan membeli
the winning stocks dan melakukan
shortselling terhadap
the losing stocks. Mereka akan memegang
the winners sampai kenaikan harganya mulai melemah (sinyal untuk menjual).
Seperti ujar Richard Driehaus, pelopor
momentum investing, "
Far more money is made buying high and selling at even higher prices." Strategi ini bisa memberi imbal hasil tinggi, terutama jelang akhir tahun. Penelitian Sias (2006), dengan menggunakan data periode 1984-2004 di pasar modal AS, mengindikasikan Desember merupakan surga bagi para
momentum trader. Momentum
profit pada Desember adalah yang tertinggi dibanding bulan lainnya (5,5% per bulan). Namun strategi ini juga amat berisiko. Bagaimana jika terlambat menjual dan ikut terbanting ketika harga mulai meluncur turun? Di akhir tahun, harga saham nampaknya lebih ditentukan
window dressing para
institutional investor berdana besar daripada aspek fundamental, seperti pembagian dividen atau proyeksi laba. Ini membuka peluang bagi pelaku pasar untuk menikmatinya. Siapkah Anda? Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Harris Hadinata