JAKARTA. China menetapkan target pertumbuhan ekonomi tahun ini sebesar 6,5% dari target pertumbuhan tahun sebelumnya sebesar 6,5%-7%. Angka ini lebih rendah dibanding pencapaian pertumbuhan pada 2016 lalu sebesar 6,7% dan terendah dalam 25 tahun terakhir.Ekonom SKHA Institute Eric Sugandi mengatakan, jika pertumbuhan ekonomi China melambat, kinerja ekspor Indonesia ke Tiongkok juga bisa terganggu. Terutama, ekspor energi khususnya batubara, berbasis logam dan mineral, dan sumber daya alam lainnya.“Karena China adalah konsumen batubara dan
base metal utama di pasar dunia, pelambatan ekonominya bisa mempengaruhi volume permintaan maupun harga di pasar internasional,” kata Eric kepada KONTAN, Senin (6/3).
Adapun, di sisi lain, China juga akan berusaha lakukan diversifikasi negara tujuan ekspor jika Presiden AS Donald Trump memberlakukan kebijakan proteksionis terhadap China. Dalam hal ini, Indonesia mungkin akan ketambahan produk ekspor dari Tiongkok yang dialihkan dari AS ke negara-negara lain. Menurut dia, Indonesia juga harus lakukan diversifikasi tujuan ekspor, misalnya ke Rusia, Peru, dan Chile. Adapun kualitas produk ekspor, maupun daya saing produk ekspor perlu ditingkatkan, misalnya dengan memberdayakan dan memperbaiki layanan pelabuhan-pelabuhan domestik dan internasional. Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, kecenderungannya kredit rumah tangga di Tiongkok saat ini cukup mendominasi, sedangkan kredit ke sektor produktifnya lebih rendah. Selain itu, tren investasi swasta di sana juga menurun, “Jadi tahun ini kami memperkirakan, pertumbuhan ekonomi China 6,5%. Industri di sana juga sedang terjadi pelambatan atau deindustrialisasi seperti Indonesia. Sektor jasanya tumbuh lebih cepat dari industri dan konstruksinya,” ucapnya. Dampak dari berlanjutnya
rebalancing ekonomi Tiongkok, menurut Josua, secara langsung adalah permintaan batubara. Namun, ekonomi Indonesia dinilai tetap kuat, ditambah dengan harga minyak cukup terjaga sepanjang tahun ini, yaitu diproyeksi ada pada kisaran US$ 50-55 per barel. “Dengan ini diharapkan akan mendorong komoditas ekspor juga. Makanya meskipun ada potensi penurunan volume dari Tiongkok, diharapkan dengan harga yang stabil, volume yang turun itu bisa tertutup,” ucapnya. Adapun ia berpendapat bahwa industri bisa digenjot supaya meningkatkan bea ekspor dan bea keluar sehingga supaya penerimaan dalam negeri meningkat ke depannya. “Bukan hanya dari pajak internasional, PPh migas dan PNBP juga berpotensi naik seiring tren harga komoditas dunia,” katanya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menilai bahwa bila target hanya dipangkas menjadi 6,5% tidak besar dampaknya. “Kalau perubahan agak besar, 0,5%, akan ada pengaruhnya terhadap perdagangan,” kata Darmin saat ditemui di Gedung Kementerian Keuangan, Senin (6/3). Menurut Darmin, turunnya target pertumbuhan ekonomi Tiongkok ini memang cakupannya hanya antara Tiongkok dan Amerika Serikat, “Itu mestinya masih antara mereka dan Amerika Serikat mungkin ya,” ujarnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sanny Cicilia