KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah melakukan Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) terus mencari cara untuk mewujudkan program 3 juta rumah di tengha keterbatasan anggaran pemerintah. Salah satu yang tengah dikaji adalah perubahan skema komposisi pendanaan rumah subsidi dengan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) mulai tahun depan. Tujuannya untuk memperbanyak jumlah unit rumah subsidi yang bisa dibiayai. Komposisi pendanaannya diusulkan jadi 50% ditanggung pemerintah dan 50% didanai dari likuiditas perbankan. Sementara skema yang berlaku selama ini, perbankan hanya menanggung 25% pendanaan FLPP.
Rancangan skema tersebut dinilai tidak akan mengganggu likuiditas perbankan. Margin yang diperoleh bank tidak akan berubah dengan skema sebelumnya karena tenor KPR FLPP akan diperpanjang hingga 30 tahun dan bunga yang diterapkan bakal berjenjang. Pemerintah dan Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) telah mendiskusikan skema baru tersebut dengan perbankan perbankan. Hasilnya, perbankan tak keberatan asalnya bunga 5% hanya berlaku untuk 10 tahun pertama dan selanjutnya dikenakan bunga 6%-7%.
Baca Juga: Penyaluran KPR Bank Mandiri Mencapai Rp 67,3 Triliun sampai November 2024 “Perbankan tidak keberatan dengan skema itu. Secara hitung-hitungan,
cost of fund mereka masih masuk asalkan bunga yang ditetapkan berjenjang, setelah 10 talun bunganya yang dikenakan harus 6% atau maksimal 7%,” kata Direktur Pembiayaan Perumahan BP Tapera, Imam Syafii Toha, Jumat (20/12). Dengan keterbatasan sumber pembiayaan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), Imam mengatakan perubahan skema sumber pendanaan FLPP menjadi 50:50 akan menghasilkan jumlah KPR subsidie yang dibiayai lebih optimal. Dia menjelaskan, total ketersediaan dana APBN untuk FLPP tahun 2025 hanya mencapai Rp 28,27 triliun. Rinciannya, Rp 18,77 triliun daftar isian anggaran (DIPA) baru, pengembalian pokok saldo FLPP Rp 8,89 triliun, dan saldo avala Rp 607 miliar. Adapun kebutuhan dana APBN per unit KPR FLPP dengan skema 75%:25% mencapai Rp 128,5 juta, mengacu pada harga rumah FLPP tahun 2024. Dengan skema ini maka jumlah rumah subsidi yang bisa dibiayai tahun depan hanya 220.000 unit. “Sementara jika skemanya diubah menjadi 50%:50%, dana yang sama bisa membiayai rumah subsidi hingga 330.000 unit,” sambung Imam.
Baca Juga: Properti Bertabur Insentif, Bankir Optimistis Laju KPR Lebih Gesit Imam mengatakan, BP Tapera bersama seluruh bank pelaksana akan melakukan penandatanganan Perjanjian Kerja Sama (PKS) Penyaluran KPR FLPP Tahun 2025 pada 23 Desember 2024. Menanggapi itu, Kepala Divisi Kredit Pemilikan Rumah Bersubsidi PT. Bank Tabungan Negara Tbk (BTN), Budi Permana, mengatakan perubahan skema pendanaan KPR FLPP tidak mengganggu likuiditas perbankan. “Isunya sebenarnya hanya terkait margin bank. Kalau skemanya berubah jadi 50%:50%, margin bank akan terganggu lika bunga sepanjang tenor hanya 5%. Tapi kalau bunga dibuat
tearing, bunga maksimal 7%, bank tetap dapat margin sama seperti dengan skema lama,” tutur Budi. Ia menambahkan, saat ini yang jadi perhatian adalah kemampuan mencicil masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Karena itu, kata dia, untuk memastikan kemampuan mencicil saat suku bunga yang diterapkan berjenjang maka tenor KPR yang perlu diperpanjang. BP Tapera tengah menyiapkan agar proses akad KPR subsidi bisa dijalankan di awal tahun depan. Saat ini, dari total 4,3 juta aparatur sipil negara (ASN) di seluruh daerah yang sudah terdaftar, baru 1,5 juta ASN yang sudah melengkapi data pribadi. Sementara itu, Sekretaris Perusahaan PT Sarana Multigriya Finansial (SMF) Primasari Setyaningrum, mengatakan pihaknya telah menerbitkan surat utang sebagai sumber likuiditas pembiayaan perumahan.
Baca Juga: Dukung Program 3 Juta Rumah, Pengajuan KPR di BTN Properti Expo 2024 Capai Rp 800 M Sampai dengan November 2024, SMF merupakan penerbit obligasi sektor perumahan terbesar di Indonesia yakni sebesar Rp 25 triliun. Primasary bilang, SMF tidak hanya mengandalkan APBN untuk sumber dana pembiayaan perumahan, tapi juga dari pasar modal. Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Junaidi Abdillah berharap adanya alternatif sumber-sumber pembiayaan perumahan.
Ia mengatakan, sumber pembiayaan alternatif mutlak karena adanya keterbatasan fiskal negara. Menurutnya, masih banyak pos-pos yang harus mendapat perhatian fiskal lebih besar. “Oleh karena itu, pemerintah perlu lebih kreatif menghadirkan sumber pembiayaan yang tidak melulu mengandalkan APBN.” pungkas Junaidi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dina Hutauruk