Menilik Efek Pelemahan Rupiah terhadap Sektor Pertambangan



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pelemahan rupiah yang terus terjadi belakangan ini berpengaruh terhadap emiten di sektor pertambangan. Seperti diketahui, rupiah masih dalam tren negatif selama perdagangan pekan ini. Mata uang garuda kembali masuk zona pelemahan di kisaran Rp 16.400 per dolar Amerika Serikat (AS).

Berdasarkan data Bloomberg, Jumat (21/6), rupiah spot pekan ini ditutup pada level Rp 16.450 per dolar AS atau menjadi level terburuk sejak Maret 2020. Dalam sepekan, rupiah spot melemah sekitar 0,23% dan melemah sekitar 0,12% secara harian.

Emiten tambang batubara dengan produksi terbesar di Indonesia, Bumi Resources (BUMI) mengaku pelemahan rupiah memberikan tantangan signifikan terhadap profitabilitas dan daya saing industri pertambangan di Indonesia.


Direktur Independen merangkap Corporate Secretary BUMI Dileep Srivastava mengatakan, melemahnya nilai tukar rupiah meningkatkan biaya operasional pertambangan karena bahan baku dan peralatan yang digunakan dalam pertambangan diimpor dan dihargai dalam dolar AS.

Menurut Dileep, biaya yang lebih tinggi dapat mengikis daya saing ekspor pertambangan Indonesia dan biaya logistik dan transportasi termasuk biaya bahan bakar dan logistik yang terkait dengan nilai tukar.

Selain itu, depresiasi mata uang dapat memberikan tekanan pada neraca perdagangan Indonesia, karena ekspor menjadi lebih mahal sementara impor menjadi lebih murah. Hal ini dapat memperburuk defisit transaksi berjalan Indonesia.

Baca Juga: Rupiah Menggantung di Atas Level Rp 16.300, Ini Emiten yang Tertekan dan Untung

"Efek domino dari melemahnya rupiah juga dapat menyebabkan inflasi yang lebih tinggi, karena kenaikan biaya yang dibebankan kepada konsumen. Hal ini dapat mengurangi permintaan domestik untuk produk pertambangan," kata Dileep kepada KONTAN, Jumat (21/6).

Dileep menambahkan, secara keseluruhan pelemahan rupiah memberikan tantangan yang signifikan terhadap profitabilitas dan daya saing industri pertambangan Indonesia. "Menjaga stabilitas rupiah sangat penting untuk keberlanjutan jangka panjang sektor ini," tukasnya.

Sementara itu, PT Bukit Asam Tbk (PTBA) justru mengaku pelemahan perubahan kurs rupiah berpengaruh positif lantaran sebagian penjualan emiten pertambangan pelat merah ini ditujukan ke pasar ekspor.

Sekretaris Perusahaan PTBA Niko Chandra mengatakan, perusahaan senantiasa berusaha untuk cepat tanggap dan adaptif dalam menghadapi perubahan kondisi eksternal, termasuk fluktuasi nilai tukar rupiah. Selain penjualan ke dalam negeri, sebagian penjualan batubara PTBA ditujukan ke pasar ekspor.

"Maka perubahan kurs tersebut dapat berdampak positif bagi pendapatan PTBA," ujarnya Jumat (21/6).

Niko menegaskan bahwa PTBA terus memaksimalkan peluang ekspor secara terukur tanpa mengabaikan kebutuhan dalam negeri untuk mencapai target kinerja perusahaan agar semakin baik di tahun ini. Diversifikasi bisnis dilakukan secara terukur untuk meningkatkan pendapatan dr sektor energi.

 
PTBA Chart by TradingView

"Kami juga fokus dalam menjalankan praktik penambangan berkelanjutan sesuai dengan visi perusahaan, yaitu perusahaan energi kelas dunia yang peduli lingkungan," pungkasnya.

Adapun, Head of Corporate Communication PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO) Febriati Nadira menyatakan pelemahan rupiah tidak berpengaruh pada operasional Adaro karena  pinjaman dan sebagian besar biaya pendapatan dan atau pengeluaran operasional perseroan sudah dalam bentuk dolar AS sehingga secara tidak langsung merupakan natural hedging terhadap pergerakan valuta asing.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Anna Suci Perwitasari