Menilik Industri Rokok Nasional, Terpukul Kenaikan Cukai



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri rokok nasional masih dalam tekanan sepanjang 2023 berjalan. Hal ini tercermin dari realisasi penerimaan cukai rokok yang mengalami penurunan secara nasional.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyebut penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok tercatat sebesar Rp 89,95 triliun pada akhir Mei 2023. Hasil ini turun 12,45% year on year (YoY) dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu sebanyak Rp 102,74 triliun.

Pemerintah menilai koreksi ini sejalan dengan penurunan produksi rokok pada Maret 2023 yang dipengaruhi oleh lonjakan di basis produksi Maret 2022 akibat kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).


Baca Juga: Industri Rokok Elektrik Diprediksi Bakal Terus Tumbuh

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wachjudi mengatakan, hasil tersebut tak lepas dari terpuruknya industri hasil tembakau (IHT) dalam beberapa tahun terakhir.

Industri rokok kesulitan mengembangkan bisnisnya di tengah tren kenaikan tarif cukai secara agresif sejak awal pandemi lalu. Pada 2020, tarif rata-rata cukai rokok naik 23%. Tahun 2021 dan 2022 tarif rata-rata cukai rokok juga melonjak masing-masing sebesar 12,5% dan 12%. Sedangkan pada 2023, tarif rata-rata cukai rokok naik 10%.

Persentase kenaikan tarif cukai rokok pun melampaui angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional. Kenaikan tersebut juga sudah jauh melebihi daya tahan industri rokok nasional.

“Akibatnya terjadi penurunan produksi rokok, khususnya di segmen sigaret putih mesin (SPM) dan sigaret kretek mesin (SKM) yang tarif cukainya paling tinggi,” ujar Benny, Selasa (11/7).

Dalam catatan Gaprindo, produksi IHT mengalami penurunan dari 355,8 miliar batang pada 2019 atau sebelum pandemi menjadi 330,7 miliar batang pada 2022 atau rata-rata menyusut 2,42% dalam kurun waktu tersebut.

Produksi SPM yang berada di bawah naungan Gaprindo juga turun dari 15,2 miliar batang pada 2019 menjadi 10,5 miliar batang atau berkurang 11,55% per tahun. Pangsa pasar SPM ikut menciut dari 4,28% pada 2019 menajdi 2,18% pada 2022. Bukan tidak mungkin ancaman penurunan produksi dan penjualan rokok tersebut kembali berlanjut pada 2023.

Baca Juga: Asap Industri Rokok Makin Mengecil

Di samping itu, Gaprindo juga mengakui adanya peralihan atau shifting konsumen dari rokok bertarif cukai tinggi ke rokok jenis atau golongan tarif cukai yang lebih rendah. Hal ini pada akhirnya turut mempengaruhi penerimaan cukai rokok kepada negara. “Bahkan, tidak tertutup kemungkinan sebagian konsumen beralih ke rokok ilegal,” imbuh Benny.

Lantas, seluruh produsen rokok kini mencoba bertahan melalui berbagai upaya, misalnya menekan biaya produksi, melakukan inovasi lewat diversifikasi produk, dan mendorong kegiatan ekspor yang lebih masif.

“Jujur saja, upaya ini sangat berat dilakukan, terbukti dari data penurunan produksi dan pangsa pasar rokok SPM,” ungkap dia.

Beruntung, Benny bilang bahwa sejauh ini belum ada informasi pengurangan karyawan pabrik-pabrik rokok, khususnya di segmen SPM. Walau begitu, harus diakui bahwa fasilitas mesin produksi SPM berjalan tidak optimal seiring penurunan kinerja industri rokok.

 
 
 
 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .