Menilik Langkah Grup Djarum Beli Klub Sepak Bola Asal Italia, Como 1907



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Grup Djarum kembali membuat gebrakan baru, kali ini bukan hanya di sektor bisnis tapi juga beririsan dengan sektor olahraga yaitu sepak bola. 

Beberapa tahun lalu, Djarum Grup yang dirintis oleh keluarga Hartono ini membeli Como 1907, klub sepak bola asal Italia yang berusia 112 tahun.

Setelah memastikan tiket untuk berlaga di Serie A musim depan diraih karena berhasil menahan imbang 1-1 lawan Cosenza Calcio dalam pertandingan pamungkas Serie B di Stadion Giuseppe Sinigaglia, Sabtu (11/05) dini hari WIB, muncul pertanyaan apa yang membuat grup konglomerat ini membeli klub yang bisa dibilang masih kurang terkenal di tanah air. 


Menjawab pertanyaan tersebut, pengamat pasar modal yang juga pendiri Avere Mitra Investama, Teguh Hidayat mengatakan langkah yang dilakukan Grup Djarum adalah langkah ekonomi jangka panjang.

“Jadi kalau dari sisi nilai ekonominya, apakah dapat keuntungan dari langkah membeli saham atau akuisisi klub ini keuntungannya ada, tapi tidak secara langsung,” ungkap Teguh kepada Kontan, Jumat (17/05). 

Baca Juga: Bisnis Sepak Bola Menjanjikan, Sejumlah Konglomerat RI Jadi Investor Klub Mancanegara

Ia menjelaskan, pendapatan dari klub bola biasanya berasal dari beberapa sektor. 

“Jadi kalau klub sepak bola itu pendapatannya ada tiga, yang pertama dari tiket pertandingan, yang kedua hak siar dan yang ketiga sponsor. Sebenarnya ada satu lagi yaitu dari merchandise. Jadi jualan baju, kaos, atau mercendais sejenis yang official. Tapi biasanya pendapatan terbesar, kalau dia bukan klub yang terkenal dia biasanya dari tiket saja,” ungkapnya. 

Teguh mengatakan, Como yang baru saja lolos ke Seri A, bisa dibilang klub yang tidak terlalu besar. Jadi sangat kecil kemungkinan mereka mendapat pemasukan dari hak siar atau sponsor. 

“Jadi dari hak siar, atau sponsor, itu biasanya hanya bisa didapat dari klub sepak bola yang benar-benar besar, terkenal yang fansnya tidak hanya dari kota atau negara klub itu berada. Como ini kan kecil, fansnya ya hanya di kota atau negara itu saja. Jadi gak ada (pendapatan),” tambahnya. 

Ia juga mengatakan, dari sisi ekonomi sudah pasti biaya yang harus dikeluarkan Djarum untuk akuisisi klubnya, bayar utang-utangnya, bayar fasilitasnya, beli pemain, bayar gaji pemain, transfer pemain dan seterusnya jauh lebih besar. 

“Jadi biasanya keuntungannya dari mengangkat nama Djarum itu sendiri di pentas internasional. Dan ini sebenarnya hal yang lazim dan sudah banyak dilakukan oleh konglomerasi tidak hanya dari Indonesia tapi di seluruh dunia. Contohnya di Inggris ada klub Manchester United atau MU, itu kan punya keluarga Glazer dari Amerika Serikat. Bukan dari Inggrisnya justru dari Amerika, nah itu kan jadi orang di dunia tau keluarga Glazer itu siapa,” ungkapnya.

Dengan adanya Como di serie A Italia, sehingga membuat orang Italia tau keberadaan Grup Djarum asal Indonesia. 

Baca Juga: Stadio Giuseppe Sinigaglia, Markas Como 1907 di Pinggiran Danau Como yang Ikonik

“Dan karena liga Italia ditonton di seluruh dunia, otomatis nama Djarum jadi mendunia juga. Itu yang sebenarnya dicari, jadi bukan keuntungan langsung dari operasional klubnya karena sebenarnya kalau dari operasional sebenarnya rugi,” ungkapnya.

“Memang yang mereka cari prestise, misal grup Djarum ini kan siapa yang gak tau di Indonesia. Mereka kalau bisa naik kelas menjadi brand global, dan cara yang paling bisa dilakukan adalah sepak bola. Karena sepak bola ini universal, banyak yang nonton,” tambahnya. 

Untuk dalam negeri, Teguh mengatakan sebenarnya sistem konglomerasi yang juga ikut berinvestasi di sektor sepak bola juga banyak. 

“Contohnya Bali United, ini kan klub liga satu, itu milik Glenn Sugita, itu konglomerat yang punya Multistrada Arah Sarana, itu perusahaan ban yang besar di Indonesia. Jadi memang ada yang akuisisi di dalam negeri, tapi kalau ada peluang di luar negeri ya diakuisisi juga,” tutupnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .