Menilik Nasib Emiten Komoditas Seusai Pilpres AS



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja emiten komoditas dinilai bakal terdampak dari hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) Amerika Serikat (AS) yang dimenangkan oleh Donald Trump. Kemenangan Trump ini akan berpengaruh pada sejumlah komoditas global.

Melansir trading economics, harga minyak bumi, harga batubara, dan harga nikel tengah tertekan. Harga minyak bumi ada di level US$ 67,29 per barel, turun 3,93% dalam sebulan dan 6,09% sejak awal tahun alias year to date (ytd). Harga batubara ada di level US$ 141,75 per ton, terkoreksi 3,83% dalam sebulan dan 3,18% secara ytd. Harga nikel ada di level US$ 15.492 per ton, turun 7,02% dalam sebulan dan 5,41% secara ytd. 

Disisi lain, harga emas dan harga minyak kelapa sawit alias crude palm oil (CPO) tengah bergerak naik sejak awal tahun. Harga emas ada di level US$ 2.592,63 per troi ons, turun 4,76% dalam sebulan tetapi naik 25,66% secara ytd. Harga CPO ada di level MYR 4.900 per ton, naik 13,93% dalam sebulan dan 31,69% secara ytd.


Analis Mirae Asset Sekuritas, Rizkia Darmawan melihat, harga komoditas seusai kemenangan Trump masih cenderung bergejolak. 

Untuk emas, ada kecenderungan peningkatan permintaan lantaran ketidakpastian pasar menyebabkan investor beralih mulai kembali mengoleksi logam mulia ini.

“Namun, saat ini harga emas sudah sangat tinggi, sehingga ekspektasi pertumbuhan harganya ke depan akan lebih rendah jika dibandingkan dalam setahun terakhir. Jadi, akan ada perlambatan pertumbuhan harga emas di tahun depan,” ujarnya saat ditemui Kontan beberapa waktu lalu.

Baca Juga: Emiten Jasa Tambang Getol Ekspansi & Cari Kontrak Baru, Simak Rekomendasi Sahamnya

Untuk minyak bumi, permintaannya kemungkinan masih tetap tinggi dalam beberapa waktu ke depan. Sebab, Trump kerap menyatakan dukungan terhadap penggunaan energi bahan bakar fosil.

Di waktu yang bersamaan, AS kemungkinan juga merencanakan pertambahan produksi untuk minyak bumi yang bisa menurunkan harga komoditas ini. Namun, Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) masih mendorong harga minyak bumi untuk tetap stabil.

“Sampai akhir tahun ini setidaknya harga minyak masih akan tertekan dan akan berdampak ke pendapatan para emiten sektor energi di dalam negeri,” ungkapnya.

Untuk nikel, ada kemungkinan terjadi penurunan harga ke depan lantaran kepemimpinan Trump yang bisa memberikan dampak negatif ke kinerja industri di China. 

“Namun, masih ada kecenderungan potensi positif untuk nikel, mengingat peran strategisnya dalam produksi baterai untuk kendaraan listrik, terutama di kawasan Asia Tenggara,” paparnya.

Untuk batubara, meskipun masih dinilai sebagai energi dengan harga yang murah, permintaan dari luar negeri berpotensi mengalami penurunan ke depan akibat produksinya yang dinilai mencemari lingkungan. 

“Harga batubara Newcastle di akhir tahun 2024 bisa dari di level US$ 135 per ton,” tuturnya.

Untuk CPO, masih ada kemungkinan untuk peningkatan harga setidaknya dalam beberapa bulan ke depan. Hal ini diakibatkan para produsen CPO Indonesia yang tengah melakukan penanaman kembali (replanting) secara besar-besaran. Sehingga, produksi CPO menjadi lebih sedikit, sementara permintaan masih cenderung sama.

“Kebutuhan CPO di dalam negeri juga masih tinggi, baik itu untuk konsumsi maupun biodiesel. Namun, volatilitas harga CPO ini juga dipengaruhi kondisi cuaca ke depan,” katanya.

Dengan sejumlah sentimen di atas, kinerja emiten komoditas energi pun dilihat masih menarik untuk dilirik para investor. 

Darma merekomendasikan hold atau trading buy untuk PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO) dan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dengan target harga masing-masing Rp 3.650 per saham dan Rp 2.500 per saham.

Melansir laporan keuangan, laba bersih ADRO dan PTBA kompak merosot per kuartal III 2024. ADRO mencatatkan penurunan laba bersih sebesar 2,47% secara tahunan alias year on year (yoy) ke US$ 1,18 miliar di akhir September 2024. PTBA mengantongi laba bersih Rp 3,23 triliun per kuartal III 2024, merosot 14,32% yoy.

Harga saham kedua emiten tersebut kompak naik sejak awal tahun. Saham ADRO tercatat sudah naik 55,46% ytd dan saham PTBA naik 11,48% ytd.

“Meskipun potensi pertumbuhan kinerja keuangannya bisa melambat, tetapi investor bisa memilih emiten dengan fundamental bisnis yang kuat disertai dengan pembagian dividen yang royal,” ujarnya.

Head of Investment Nawasena Abhipraya Investama Kiswoyo Adi Joe melihat, kinerja emiten sektor energi akan lebih prospektif ke depan di tengah masa kepemimpinan Trump sebagai presiden AS.

“Trump sendiri masih menginginkan sumber energi yang murah, yaitu komoditas minyak bumi, gas, dan batubara. Sentimen musim dingin juga berpengaruh ke harga ketiga komoditas ini, meskipun tidak terlalu besar dampaknya,” ujarnya kepada Kontan, Senin (18/11).

Baca Juga: Bisa Menguat Terbatas, Cek Proyeksi IHSG dan Rekomendasi Saham untuk Senin (18/11)

Kepemimpinan Trump pun dinilai akan memengaruhi secara negatif perekonomian dan kinerja industri China. Stimulus dari pemerintah China untuk menggerakan ekonomi domestik Negeri Tirai Bambu hanya akan meningkatkan konsumsi, tetapi tetap tidak berdampak signifikan ke kinerja industri manufaktur.

“Hasil produksi China untuk masuk ke pasar AS juga bisa jadi akan jadi sulit. Alhasil, belum tentu penjualan produksi manufaktur mereka bisa tinggi,” paparnya.

Kiswoyo melihat, kinerja CPO ke depan juga masih akan baik. Namun, hal ini didorong oleh permintaan domestik.

“Harga CPO juga tergantung dari harga minyak kedelai dan minyak biji bunga matahari. Jika kedua minyak nabati ini murah, kemungkinan harga CPO bisa terkoreksi dalam,” ungkapnya.

Permintaan untuk komoditas emas dinilai juga masih tinggi. Namun, hal itu juga dipengaruhi apakah sejumlah bank sentral memutuskan untuk beralih menyimpan emas sebagai cadangan devisa di tengah volatilitas pasar selama AS di bawah kepemimpinan Trump.

“Kalau para bank sentral memutuskan untuk beralih menyimpan emas sebagai cadangan devisa mereka, ada kemungkinan harga emas bisa naik lebih tinggi dari harga saat ini,” tuturnya.

Untuk emiten sektor energi, Kiswoyo menjagokan PTBA dan PT Resource Alam Indonesia Tbk (KKGI). Dia pun menyematkan rekomendasi buy on weakness untuk PTBA dan KKGI dengan target harga masing-masing di Rp 650 per saham dan Rp 2.900 per saham pada awal tahun 2025.

Untuk emiten produsen emas, rekomendasi buy on weakness diberikan kepada PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) dengan target harga Rp 2.500 per saham dan PT J Resources Asia Pasifik Tbk (PSAB) dengan target harga Rp 350 per saham.

Emiten sektor nikel yang menarik untuk dilirik ada PT Vale Indonesia Tbk (INCO) dengan rekomendasi buy on weakness dan target harga di Rp 4.000 per saham di awal tahun 2025.

Kinerja emiten CPO ke depannya juga bakal prospektif hingga tahun 2025, mengingat harga minyak sawit yang masih akan merangkak naik di tengah masa replanting

Hal itu pun tercermin dari kinerja para emiten CPO yang masih mencatatkan laba bersih hingga akhir September 2024 lantaran harga jual rata-rata alias average selling price (ASP) para emiten yang meningkat. Kinerja saham mayoritas emiten CPO juga ada di zona hijau sejak awal tahun 2024.

Misalnya, PT Triputra Agro Persada Tbk (TAPG) yang mengantongi laba bersih sebesar Rp 1,61 triliun per kuartal III 2024, naik 46,58% yoy. Saham TAPG pun terpantau naik 55,05% secara ytd.

PT Dharma Satya Nusantara Tbk (DSNG) mencetak kenaikan laba bersih 72% yoy ke Rp 868 miliar per kuartal III 2024. Kinerja saham DSNG juga melesat 115,32% sejak awal tahun 2024.

PT London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) mencatatkan kenaikan laba bersih 76% yoy menjadi Rp 803 miliar di akhir September 2024. Saham LSIP menanjak 20,79% ytd.

PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) mencatatkan kenaikan tipis laba bersih 0,07% yoy ke Rp 801,15 miliar pada periode ini. Sayangnya, saham AALI merosot 10,32% ytd.

Kiswoyo pun merekomendasikan buy on weakness untuk TAPG, DSNG, LSIP, dan AALI dengan target harga masing-masing Rp 1.000 per saham, Rp 1.350 per saham, Rp 1.250 per saham, dan Rp 7.000 per saham.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Putri Werdiningsih