Menilik permasalahan dalam aturan CFC



JAKARTA. Lewat otoritas pajak Kementerian Keuangan (Kemkeu) akan mengeluarkan aturan controlled foreign corporation (CFC) lewat Peraturan Menteri Keuangan (PMK).

Aturan ini mencegah praktik manipulasi dengan tax planning yang matang atau sengaja melakukan transfer laba (profit shifting) yang diperoleh perusahaan ke negara dengan tarif pajak rendah (tax haven).

Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak Poltak Maruli John Liberty Hutagaol mengatakan, hal ini dilakukan dalam rangka otoritas pajak berkonsentrasi pada penerimaan. Pasalnya, aturan yang sekarang masih lemah sehingga kurang efektif mencegah praktik penghindaran pajak. Namun demikian, John enggan membeberkan apa saja poin-poin aturan yang masih lemah tersebut.


Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, problem aturan yang lama saat ini sesungguhnya bukan hanya ada pada PMK melainkan UU PPh.

Ia menyebutkan, kelemahan UU PPh Pasal 18 ayat 2 di antaranya bahwa objek hanya dividen. Seharusnya ini mencakup seluruh passive income, termasuk tainted income yang diperoleh dari penjualan harta dan pemberian jasa.

Kedua, batasan negara tempat CFC berdomisili juga perlu diperjelas, sehingga nanti semua tax haven sudah masuk kategori yang kena CFC. Ketiga, penyertaan 50% untuk keseluruhan, terlalu tinggi. Pasalnya, di beberapa negara, untuk WP Orang Pribadi bahkan penyertaan 10% ada yang sudah diwajibkan ketentuan CFC.

Oleh karena itu, tanpa mengubah UU, PMK akan kurang efektif karena ruang revisi sempit.

“Dengan kata lain, sejauh cakupannya hanya dividen, modus lain akan terjadi, yaitu penghasilan pasif lainnya, misal asuransi, penjualan harta, atau pemberian jasa,” ujarnya kepada KONTAN, Senin (13/3).

Dengan revisi pada tingkat UU akan lebih radikal dan komprehensif perubahannya. Namun catatannya, ini harus dilakukan dengan cepat karena pasca amnesti pajak, anti avoidence rules seperti ini harus kuat. “Jadi meminimalkan celah. Kalau kalau lack of time panjang, akan bahaya. Apalagi RUU KUP saja molor,” katanya.

Adapun menurut dia, potensi penerimaan apabila UU PPh sekaligus PMK direvisi akan besar sekali karena faktanya banyak sekali WP Indonesia menghindar pajak dengan skema ini. Seperti terkonfirmasi dari hasil pemeriksaan dan data misal Panama Papers.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Rizki Caturini