Menilik Potensi Bisnis Sertifikasi Bursa Karbon di Tanah Air



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Setelah Bursa Karbon resmi diluncurkan dan payung hukum telah terbit melalui Peraturan (POJK) Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon, bisnis sertifikasi bursa karbon menarik dan terbuka lebar bagi perusahaan-perusahaan yang menerbitkan sertifikasi bursa karbon, baik perusahaan lokal maupun internasional.

Seperti diketahui, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan payung hukum terkait Bursa Karbon melalui Peraturan (POJK) Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon. Beleid ini akan menjadi acuan perdagangan karbon melalui Bursa Karbon yang dilaksanakan oleh penyelenggara pasar.

Keberadaan Bursa Karbon menjadi salah satu langkah strategis yang dilakukan Indonesia menunjukkan komitmen untuk melengkapi ekosistem dalam mendukung kebijakan Net Zero Emmision (NZE) sekaligus memanfaatkan potensi perdagangan karbon secara internasional.


Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyatakan potensi bisnis karbon di Indonesia sangat besar dan banyak perusahaan yang dapat berpartisipasi dalam pengurangan emisi karbon. Selain itu, bisnis sertifikasi karbon dinilai menjanjikan bagi perusahaan-perusahaan atau yang menerbitkan sertifikasi karbon.

Baca Juga: Pengamat: Peluang Bisnis Sertifikasi Bursa Karbon Terbuka Lebar

Ketua Apindo Shinta Kamdani mengatakan, pemain di bisnis bursa karbon, baik pemain lokal ataupun asing, tentunya perlu memenuhi kriteria tertentu sehingga mereka bisa mendapatkan sertifikat karbon yang dapat diperdagangkan.

Ia menjelaskan, secara garis besar yg bisa diperdagangkan saat ini dari Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi Pelaku Usaha (PTBAE-PU) dan Sertifikat Pengurangan Emisi - Gas Rumah Kaca (SPE-GRK) dan terdaftar di Sistem Registrasi Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI). Tapi untuk asing yang ingin masuk, bisa juga tidak terdaftar di SRN PPI tapi tetap harus memenuhi persyaratan dari penyelenggara bursa (IDX) dan terverifikasi secara internasional.

Shinta menuturkan, mengingat bursa karbon baru diluncurkan pada 26 September 2023 lalu, sehingga terlalu dini untuk melihat apakah banyak asing yang datang.

"Namun, potensi karbon di Indonesia sendiri sangat besar. Banyak perusahaan yang dapat berpartisipasi dalam program pengurangan emisi karbon, di antaranya yang bergerak di sektor kelapa sawit, tambang batu bara, pengelolaan karet, sektor energi, dan lain-lainnya," kata Shinta saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (27/9).

Dari sisi pelaku usaha, PT Mutuagung Lestari Tbk (MUTU) atau emiten yang biasa dikenal sebagai Mutu International bersiap memanfaatkan potensi bisnis sertifikasi unit karbon.

Corporate Secretary Mutu International, Triyan Aidilfitri mengatakan, MUTU International adalah Lembaga Sertifikasi yang berperan sebagai Lembaga Validasi dan Verifikasi dalam mata rantai kegiatan perdangan karbon ini, sebelum Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE-GRK) diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan kemudian dapat diperdagangkan di Bursa Karbon.

"MUTU memanfaatkan potensi bisnis bursa karbon sebagai Lembaga Independen yang melakukan Validasi dan Verifikasi Dokumen Perusahaan dalam Rencana Aksi Mitigasi mereka menurunkan emisi gas rumah kaca," kata Triyan saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (27/9).

Triyan menjelaskan, kredibilitas lembaga yang berperan sebagai Validator dan Verifikator (LVV, Lembaga Validasi dan Verifikasi adalah melalui mekanisme Akreditasi oleh KAN (Komite Akreditasi Nasional).

Baca Juga: Apindo Ungkap Potensi Bisnis Perdagangan Karbon

Seperti diketahui bahwa Penyelenggaran Ekonomi Karbon telah ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 98 Tahun 2021, sedangkan Tata Laksana Penyelenggaraan Instrumen Nilai Ekonomi Karbaon (NEK)  diatur dalam Peraturan Menteri LHK Nomor 21 Tahun 2022.  

Regulasi ini mengatur mekanisme perdagangan karbon, mulai pelaksanaan hingga penerbitan Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE-GRK). Dengan demikian, jika suatu industri atau perusahaan yang memiliki potensi  pengurangan emisi karbon dan ingin memperdagangkan karbonnya di Bursa Karbon, harus memiliki SPE-GRK.

Triyan menuturkan setiap perusahaan atau industri yang ingin menjadi peserta dalam perdagangan karbon, dapat menyusun Dokumen Rencana Aksi Mitigasi (DRAM), yang kemudian DRAM ini akan dilakukan validasi oleh Lembaga Validasi.

"Saat DRAM sudah divalidasi, kemudian diimplementasikan, dan selanjutnya harus dilakukan pengukuran emisi aktual pada akhir periode yang akan diverifikasi oleh Lembaga Verifikasi," ujar Triyan.

MUTU akan mendukung dan berkontribusi terhadap Bursa Karbon dalam perannya sebagai Lembaga Verifikasi dan Validasi (LVV) Gas Rumah Kaca (GRK). Saat ini MUTU juga sedang berproses untuk melengkapi skema layanan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) dan Komite Akreditasi Nasional.

Sebagai informasi, MUTU telah memasarkan jasa LVV sejak tahun 2015 melalui skema voluntary market seperti program ISO 14064-2, Joint Credit Mechanisms, Carbon Offseting and Reduction Scheme for International Aviation (CORSIA), Social Carbon, Plan Vivo, serta menyediakan jasa sertifikasi skema-skema sustainability internasional lainnya seperti ISCC, FSC, FSSC 22000 dan RSPO.

Asal tahu saja, MUTU baru resmi melantai di Bursa Efek Indonesia pada 9 Agustus 2023 dengan harga penawaran Rp 108 per saham. Pergerakan saham MUTU melaju kencang pada pekan lalu.

Sementara itu, Direktur PT Radiant Utama Interinsco Tbk (RUIS) Soeharto Nurcahyono mengatakan, salah satu bisnis RUIS adalah sertifikasi dalam hal pengukuran, keakurasian angka-angka karbon atau emisi yang dihasilkan atau dikeluarkan.

"Secara tidak langsung, bursa karbon ini akan berdampak ke bisnis RUIS ke depannya karena kami memiliki kerja sama dengan beberapa perusahaan luar negeri yang memiliki pengalaman dalam bisnis sertifikasi karbon," kata Soeharto dalam Public Expose secara virtual, Rabu (27/9).

Adapun, Ekonom sekaligus Direktur of Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyatakan peluang bisnis sertifkasi bursa karbon cukup terbuka lebar meskipun perlu ada penekanan pada metodologi, dan integritas.

Baca Juga: Hari Kedua Bursa Karbon Meluncur, Transaksi Rp 0

Bhima mengingatkan bahwa kasus pada salah satu lembaga sertifikasi karbon Verra yang diungkapkan oleh berbagai studi bahwa 80% ternyata tidak mencegah deforestasi, perlu menjadi pelajaran bahwa lembaga sertifikasi perlu melakukan monitoring secara ketat. 

"Yang terpenting saat ini adalah standarisasinya dan menghindari konflik kepentingan antara penyelenggara dengan pelaku bursa karbon," kata Bhima saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (27/9).

Bhima menuturkan, Indonesia bisa belajar banyak dari sertifikasi karbon di Eropa dan Amerika Serikat, sehingga lebih menarik bagi pemain asing untuk membeli unit karbon.

Menurutnya, mungkin akan agak beda standarnya lantaran Indonesia menggunakan karbon sebagai efek, sementara bursa karbon tertua menggunakan sistem komoditas.

"Jadi ada adjustment atau penyesuaian," tutup Bhima.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .