KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penerbitan surat utang korporasi di Indonesia masih dibayangi sentimen risiko gagal bayar. Dalam laporannya, Fitch Rating memaparkan bahwa tingkat gagal bayar surat utang korporasi dalam negeri di tahun 2024 akan bergantung pada kemampuan kontraktor BUMN PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (WIKA) dalam memenuhi kewajiban pembayaran obligasi dan sukuknya. Dijelaskan, WIKA melewatkan pembayaran pokok sukuk senilai Rp 184 miliar dan memperpanjang jatuh tempo obligasi senilai Rp 331 miliar pada Desember 2023. Perusahaan memiliki obligasi dan sukuk yang jatuh tempo senilai Rp 1,5 triliun pada tahun 2024 di tengah proses restrukturisasi yang sedang berlangsung.
Total pokok obligasi korporasi domestik yang gagal bayar melonjak menjadi Rp 5,6 triliun hingga November 2023. Angka itu dua kali lipat dari jumlah di tahun 2022 dan lebih dari setengah dari puncak gagal bayar pada tahun pandemi 2020.
Baca Juga: Penerbitan Obligasi Korporasi Tahun Ini Diramal Tembus Rp 169,05 Triliun Associate Director Fixed Income Anugerah Sekuritas Ramdhan Ario Maruto juga menilai bahwa potensi gagal bayar obligasi korporasi datang dari sektor infrastruktur. Hal ini berkaca dari aktifnya emiten konstruksi, khususnya pelat merah menerbitkan obligasi dalam empat hingga lima tahun terakhir. Menurutnya, potensi gagal bayar emiten konstruksi pelat merah masih akan berlanjut di tahun ini. "Secara bisnis mereka belum pulih total karena mereka memiliki beban utang yang sangat besar," ujarnya kepada Kontan.co.id, Senin (15/1). Kepala Divisi Riset Ekonomi Pefindo Suhindarto menambahkan, secara makroekonomi ia mengekspektasikan untuk risiko gagal bayar di tahun 2024 lebih baik. Ini dengan asumsi ketidakpastian mereda dan suku bunga diturunkan. Menurutnya, penurunan suku bunga akan mengurangi tekanan pada
leverage keuangan perusahaan yang pada akhirnya hal ini juga akan memperbaiki memperbaiki risiko keuangan mereka. Selain itu, penurunan suku bunga juga akan risiko keuangan perusahaan. Lalu, penurunan suku bunga juga akan berdampak positif bagi prospek bisnis. Suku bunga lebih rendah akan memacu permintaan produk. Secara teori, penurunan suku bunga akan mendorong peningkatan konsumsi rumah tangga karena prospek pendapatan dan pekerjaan perusahaan membaik. Sebagai hasilnya, Pefindo mengharapkan akan ada perbaikan prospek bisnis dan keuntungan dari para emiten surat utang.
Baca Juga: Begini Prospek Penerbitan Surat Utang Korporasi di Tahun 2024 "Kondisi ini berpotensi untuk memperbaiki neraca perusahaan dan pada akhirnya menurunkan risiko gagal bayar," imbuhnya. Adapun sepanjang tahun 2023, setidaknya ada tiga emiten yang mengalami kondisi gagal bayar. Yang terbesar adalah PT Waskita Karya (Persero) Tbk (WSKT) dengan total nilai penerbitan sebesar Rp 4,71 triliun. Kemudian PT Ricobana Abadi (RICO) yang tidak mampu memenuhi kewajiban membayar pokok pada MTN I Tahun 2017 senilai Rp 400 miliar. Lalu PT Kapuas Prima Coal Tbk (ZINC) dengan nilai Rp 23 miliar. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tendi Mahadi