Menilik Potensi Minyak Jelantah untuk Biodiesel di Tengah Penurunan Produksi CPO



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penggunaan minyak jelantah atau Used Cooking Oil (UCO) sebagai substitusi bahan baku biodiesel dinilai sebagai langkah yang tepat di tengah potensi turunnya produksi minyak sawit atau Crude Palm Oil (CPO) dalam negeri. Berdasarkan data dari lembaga think tank Traction Energy Asia, potensi minyak jelantah di Indonesia sangat besar, dengan nilai hampir 1 juta kilo liter per tahun atau lebih tepatnya 933.200 kilo liter per tahun.  Besarnya potensi minyak jelantah tersebut dinilai bisa menjadi bahan bakar dari minyak nabati atau biofuel yang mendorong ekonomi sirkular. Dalam laporannya, Traction Energy juga menyebut harga UCO merupakan nilai ekonomi dari komoditas dagang yang bisa dimanfaatkan masyarakat. 

Baca Juga: Gapki Prediksi Kenaikan Harga CPO Bakal Berlanjut Hingga Tahun Depan Adapun saat ini, untuk mendukung Asta Cita atau delapan misi pemerintahan Prabowo-Gibran, salah satunya dalam kemajuan energi bersih, Indonesia tengah menggenjot mandatori biodiesel atau B40 yang akan diterapkan tahun depan. Mandatori ini berjalan dengan komposisi 60% solar dan 40% minyak sawit. Ketua Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (Paspi) Tungkot Sipayung mengatakan pemanfaatan  minyak jelantah untuk subsitusi CPO dalam bahan baku biodiesel merupakan langkah jitu, baik secara ekonomi, kesehatan maupun secara lingkungan. "Penggunaan UCO untuk bahan baku biodiesel sudah lama terjadi di seluruh dunia termasuk Uni Eropa (EU), China dan USA," ungkap Tungkot kepada Kontan, Selasa (12/11). Ia mencontohkan, di Uni Eropa misalnya 20-30 persen bahan baku biodiesel menggunakan UCO. Dari segi potensi, dengan Indonesia sebagai salah konsumen minyak goreng terbesar dunia, potensi UCO sangat besar. "Produksi terbesar adalah dari industri pangan khususnya food Service industri (horeca) seperti restoran ayam goreng, hotel, UKM kuliner, dan rumah tangga," tambahnya. Selain itu, menurutnya jika Indonesia berhasil memanfaatkan 1 juta kilo liter UCO digunakan sebagai bahan baku biodiesel, Indonesia bisa menghemat penggunaan CPO ke biodiesel. Sehingga beban industri sawit bisa lebih ringan karena fokus pada memenuhi kuota CPO pangan dan kuota CPO untuk ekspor. "Sehingga penggunaan biodiesel untuk pangan, oleokimia dan biofuel lain (bensin sawit, avtur sawit) tidak terganggu," ungkapnya.

Baca Juga: Perusahaan Sawit Optimalkan Kenaikan Harga CPO Kendala Pengembangan Biodiesel dari Minyak Jelantah Sayangnya, meski memiliki stok cukup banyak, pemerintah Indonesia belum bisa memaksimalkan penggunaan minyak sawit untuk biodiesel. Salah satunya, karena tidak adanya peraturan yang jelas. Ketua Umum (Ketum) Asosiasi Pengepul Jelantah Indonesia (APJETI) Matias Tumanggor mengatakan harga minyak jelantah di pasaran tidak terkontol akibat tidak adanya pengawasan pemerintah kepada pelaku usaha. "Harga (UCO) yang tidak terkontrol akibat tidak adanya pengawasan bagi pelaku usaha yang tidak terorganisir. Peran pemerintah tentu menjadi mutlak sebagai pembuat kebijakan agar penerapannya dapat maksimal," ungkapnya kepada Kontan, Selasa (12/11). Selain karena aturan yang belum ajeg, Matias bilang para pengepul minyak sawit masih terkendala terhadap akses dengan investor. "Belum adanya pabrikan selama ini yang bersinergi dengan kami. Dan ini akibat dari kurangnya sosialisasi terhadap investor," tambahnya. Adapun, terkait keberhasilan penggunaan minyak jelantah untuk biodisesel, Matias mengatakan pihaknya pernah melakukan uji coba yang bekerja sama dengan Balai Besar Pengujian Minyak dan Gas Bumi (LEMIGAS) di bawah Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).


Baca Juga: Sejumlah Emiten Sawit Berupaya Optimalkan Potensi Kenaikan Harga CPO Meski untuk kebutuhan komersil, uji coba penggunaan biodiesel 100% dari minyak jelantah atau B100 ini dilakukan pada tahun 2018 kepada armada truk, mobil kijang dan mobil doubel kabin itu sukses. "Kita uji coba tahun 2018, di Indramayu menggunakan armada truk, dan mobil pribadi jenis kijang dan double cabin. (Hasilnya) sukses dan kami telah menggunakan B100," ungkapnya. Meski telah mengantongi keberhasilan, dirinya mengakui test hanya berhenti di situ sehingga tidak ada pengembangan dan penelitian lebih lanjut terhadap penggunaan B100 dari minyak jelantah khususnya untuk diterapkan di masyarakat umum. "Dari tahun 2018, karena terhalang Covid-19," katanya. Terkait kendala pengembangan riset minyak jelantah, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) menambahkan uji coba yang prudent, lebih jauh terkait dengan mesin dan efektivitas pembakaran memang dibutuhkan penelitian lebih lanjut. "Memang harus melalui uji coba yang prudent terkait dengan mesin dan efektivitas pembakaran. Mesin-mesin mobil yang menggunakan B40 apakah sudah siap (menggunakan minyak jelantah)? Atau apakah akan dilarikan ke industri? Ini yang harus dipetakan, soal permintaan pasar," katanya saat dihubungi Kontan. Meskipun, dia mengakui bahwa masalah menurunnya produksi CPO dalam negeri dan bebannya untuk biodiesel bisa diringankan dengan menggunakan minyak jelantah.

Baca Juga: Gapki Prediksi Kenaikan Harga CPO Akan Berlanjut Hingga Tahun Depan "Penggunaan minyak jelantah yang memang cukup potensial penggunaannya. Soal pasokan, saya rasa limbah minyak jelantah dari rumah tangga dan restoran menjadi potensi paling besar. Di Indonesia, rumah tangga kita hampir setiap hari menggunakan minyak goreng, jadi sangat potensial," tutupnya. Sebagai tambahan informasi, mandatori biodiesel Indonesia saat ini masih bergantung pada campuran minyak nabati CPO.

Di tengah kebutuhan untuk biodiesel, dalam catatan kontan, Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono telah memproyeksikan produksi minyak sawit mentah alias Crude Palm Oil (CPO) sepanjang tahun ini akan turun sekitar 5% dibandingkan tahun lalu. Penurunan produksi CPO ini disebabkan oleh aktivitas agronomis sepanjang tahun 2022 dan 2023, seperti minimnya pemupukan dan faktor iklim.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .