Menilik Pro Kontra Penerapan Skema Power Wheeling dalam RUU EBET



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pro dan kontra mengenai penerapan skema power wheeling yang diatur dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) masih terus menjadi bahan perdebatan publik.

RUU ini, yang merupakan inisiatif dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), telah memasukkan skema power wheeling sebagai salah satu komponen penting dalam pembahasan.

RUU EBET dan Keberadaan Power Wheeling

RUU EBET, sesuai dengan Keputusan DPR Nomor 8/DPR RI/II/2021-2022, telah termasuk dalam daftar RUU prioritas untuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2022. Dengan demikian, RUU ini telah berusia lebih dari satu tahun dan berpotensi untuk disahkan oleh DPR periode 2019-2024.


Power wheeling, secara sederhana, adalah mekanisme yang memungkinkan transfer energi listrik dari pembangkit listrik swasta ke fasilitas operasi milik negara atau Perusahaan Listrik Negara (PLN) melalui jaringan transmisi dan distribusi PLN.

Dengan adanya skema ini, diharapkan pihak swasta, khususnya Independent Power Producer (IPP), bisa membangun pembangkit listrik dan menjualnya langsung kepada masyarakat menggunakan jaringan transmisi PLN.

Baca Juga: Kesepakatan Power Wheeling Masih Jadi Pengganjal RUU EBET

Pro dan Kontra Terhadap Power Wheeling

Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto, mengungkapkan kekhawatirannya bahwa skema power wheeling dapat mengurangi peran PLN dan berpotensi meliberalisasi sektor kelistrikan nasional.

Dalam sebuah webinar yang diselenggarakan pada Kamis (1/8), Mulyanto menyatakan, "Dikhawatirkan akan berdampak pada harga listrik." Kekhawatiran ini mencerminkan ketidakpastian mengenai bagaimana penerapan skema ini akan mempengaruhi harga dan aksesibilitas listrik bagi masyarakat.

Di sisi lain, Wakil Ketua Komisi VII DPR, Eddy Soeparno, berpendapat bahwa power wheeling diperlukan untuk mempercepat pengembangan sektor EBET. "Oleh karena itu, DPR akan tetap mencantumkan pasal tentang Power Wheeling di dalam UU EBET," jelas Eddy dalam sebuah wawancara.

Menurutnya, skema ini akan memberikan dorongan yang diperlukan untuk pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT).

Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development Indef, Abra Talattov, menilai bahwa skema power wheeling sebagai pemanis untuk investasi pembangkit EBT tidak memiliki urgensi yang signifikan.

"Tanpa adanya gula-gula pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik, pemerintah sebetulnya sudah menggelar karpet merah bagi swasta untuk memperluas bauran EBT sebagaimana yang dijaminkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030," ujar Abra.

Menurutnya, pemerintah sudah memberikan kemudahan bagi investasi tanpa perlu skema tambahan.

Baca Juga: Power Wheeling, Harapan Demi Pemanfaatan Listrik Hijau Lebih Masif Diatur di RUU EBET

Direktur Indonesia Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara, menilai bahwa skema power wheeling bisa memberikan manfaat bagi kelistrikan Indonesia, terutama dalam memenuhi permintaan listrik yang tinggi serta kebutuhan investasi.

Marwan menekankan bahwa investor perlu diberikan insentif, tetapi hal ini harus dilakukan dengan hati-hati. "Tidak berarti kebutuhan investasi ini dan cara memperolehnya dilakukan at any costs," tegasnya.

Menurut Marwan, skema power wheeling harus mematuhi prinsip-prinsip moral, keadilan, dan transparansi serta harus sesuai dengan konstitusi dan peraturan yang berlaku.

Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan, Bisman Bakhtiar, berpendapat bahwa skema power wheeling tidak layak diterapkan dalam RUU EBET. Bisman beralasan bahwa potensi kerugian negara dan kemungkinan kenaikan tarif listrik dapat menambah beban subsidi APBN.

Selain itu, penerapan skema ini bisa melemahkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan membuka celah bagi oligarki. "Pengaturan power wheeling dan RUU EBET merupakan pintu masuk untuk kembali ke sistem pengusahaan unbundling yang akan mengarah pada privatisasi, kompetisi, dan liberalisasi ketenagalistrikan," tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .